Pagi nya
Angga sudah berdiri di samping motor nya, Zara memeluk suaminya dengan erat.
"Jangan menangis sayang, mas akan selalu pulang mengunjungi mu tiap bulan nya." memeluk Zara penuh sayang.
Zara mengangguk pelan. " Mas jangan lupa untuk selalu menelpon dan berkirim pesan pada ku ya."
"Tentu, sayang." mengecup puncak kepalanya beberapa kali.
Angga pun naik motornya.
Zara melambaikan tangannya.
Deru mesin motor mulai terdengar, Angga benar-benar pergi meninggalkan Zara.
Dari atas balkon rumahnya, Arya menatap Zara dan Angga yang saling mengumbar kemesraan.
Berpelukan, dan melepaskan rindu.
Arya bergumam. "Ck, seperti yang akan di tinggal jauh saja. Padahal kan cuma berangkat kerja!"
Arya segera masuk ke dalam kamarnya, tak mau berlama-lama melihat adegan mesra itu.
Entah kenapa.
*
*
Seminggu sudah Angga pergi, Zara hanya bisa melihatnya lewat vicall.
Setiap malam, Angga menghubungi Zara.
Untuk melepas rindu yang terpisah jarak.
Tok
tok
Terdengar suara pintu rumah Zara yang di ketuk.
Dengan cepat Zara membuka pintu rumah nya. " Siapa ya?" gumamnya pelan.
"Ceklek" Zara membuka pintu.
Tampak seorang gadis berusia sebelas tahunan berdiri di hadapan nya sambil tersenyum ceria.
"Emm, mau ketemu sama siapa ya?" tanya nya heran.
"Sama Tante dong, kan ini rumah Tante." jawabnya sambil tertawa kecil.
"Sama Tante?" menunjuk pada dirinya sendiri, bingung karena merasa tidak kenal.
"Iya, kenalin nama ku Eva. Aku anak nya papa Arya yang rumah nya di depan sana!" menunjuk rumah besar di depan rumah Zara.
"Oh, jadi kamu anak nya pak Arya ya? Ayo masuk!" Zara tersenyum, lalu mempersilahkan Eva masuk.
Eva mengangguk, dan mengikuti Zara ke ruang tamu.
"Gak usah sungkan sama aku, Tante. Papa bilang Tante lagi sendirian. Jadi nyuruh aku temenan sama Tante, biar aku juga akrab. Kan aku juga mau pindah ke rumah papa." ujar Eva panjang lebar.
Zara hanya manggut-manggut sambil sesekali tersenyum, menanggapi perkataan Eva.
Mereka pun mengobrol cukup lama.
Eva dan Zara langsung akrab dan dekat, seperti adik dan kakak saja.
Karena, usia Zara memang masih terbilang cukup muda.
*
*
Sementara itu, di tempat lainnya Angga suami Zara sedang pokus bekerja.
Dia duduk di kursi kebesarannya sambil menatap laptop.
Tok
Tok
Terdengar suara pintu ruangan nya di ketuk.
"Masuk!" ujar Angga, tanpa menoleh sedikit pun ke arah pintu.
Ceklek
Pintu dibuka dari luar.
Seorang wanita cantik masuk ke dalam ruangan Angga.
Dia terkejut saat menatap pria yang sedang pokus pada laptopnya.
Dia mengenal pria itu.
Setelah menutup pintu dengan rapat, wanita itu mendekati kursi Angga dan berdiri tepat di sisi kanan nya.
"Mas Angga! Ini kamu kan?" bertanya dengan nada suara yang bergetar.
Angga langsung menoleh ke arah sumber suara. Dia begitu familiar dengan suara lembut itu.
Mata mereka saling bertemu, dan bertatapan dengan intens.
"Nad! Nadia! Kamu kenapa bisa di sini?" bertanya dengan heran."
"Aku staf baru di sini," jawab Nadia, matanya masih menatap lekat Angga.
"Mas kamu tau, aku selama ini selalu menunggumu. Aku kehilangan jejak mu, kamu kemana saja?" Nadia menggenggam tangan Angga dengan erat.
Nadia adalah pacarnya dulu, mereka memang belum putus.
Jadi, Nadia masih mengharapkan Angga sepenuhnya.
Apalagi, Angga pernah berjanji pada orangtuanya untuk menikahi Nadia.
Tapi karena Angga kuliah di luar kota, mereka pun terpisahkan jarak.
Di tambah, Angga jatuh hati pada Zara. Membuatnya melupakan Nadia dan memilih untuk menikahi Zara.
Tak di sangka, mereka bertemu kembali di kantor ini.
Angga berdiri, dia bingung harus menjawab apa.
Dirinya, sudah menikah.
Nadia memeluk Angga penuh kerinduan.
"Mas, aku sudah siap menikah!" perkataan Nadia begitu membuat Angga terkejut.
"Nad, aku...," belum selesai Angga berkata, Nadia sudah membungkam mulutnya dengan ciuman yang mesra.
Replek, Angga mengimbangi ciuman Nadia.
Walau bagaimanapun, dia masih memiliki perasaan kepada Nadia.
Mereka pacaran cukup lama dulu, selama SMU.
"Aku tak pernah membuka hati ku untuk pria manapun, hanya kamu dan aku selalu menunggumu.
Usai bibir mereka lepas dari pagutan, Nadia berkata.
Angga menangkup kedua pipi Nadia. "Nad maafkan aku, aku sudah menikah dan isteriku sedang hamil muda."
Jawaban Angga membuat Nadia syok. Pria yang di tunggu nya ternyata sudah menikah.
"Hah, kamu bercanda kan?" rasanya tak percaya akan perkataan Angga.
"Tidak, aku tidak bercanda. Aku serius." Angga memalingkan wajahnya, tak tega melihat wanita yang pernah di cintai nya sedih.
Nadia menitikkan air matanya.
"Kamu tega pada ku, mas Angga! Aku setia menunggu mu dan kamu menikah dengan wanita lain!" Nadia terisak - isak.
Air mata nya membanjiri pipinya yang terpoles blush on itu.
Tanpa sadar, Angga merengkuh bahu Nadia dan membawanya ke dalam pelukannya.
"Maafkan aku, Nad," ucapnya lirih.
Nadia merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan Angga.
tangan nya merengkuh erat tubuh kekar pria yang di cintai nya yang kini sudah menjadi suami orang itu.
Cukup lama, mereka dalam posisi itu.
Hingga, Angga mengurai pelukannya. Kini mereka saling bertatapan.
Nadia menyadari, masih ada cinta di mata Angga untuk dirinya.
Nadia melingkarkan tangannya di leher Angga, mendekatkan wajahnya.
dan
Cup
Dia menempelkan bibirnya dengan lembut dan penuh kerinduan.
Angga tak kuasa menolak pesona dan kelembutan wanita yang di cintainya dulu.
Angga mulai terbuai.
Dan mereka saling menautkan bibir mereka, berpagutan dengan penuh kerinduan dan gairah.
"Aku rela jika menjadi yang kedua mas! Aku rela menjadi isteri keduamu," bisik Nadia dengan lembut dan sensual di telinga Angga.
Angga terdiam bingung harus menjawab apa.
"Setidaknya, kamu gak akan kesepian dengan adanya aku di sini. Aku akan mengurusmu dengan baik," selesai berkata, Nadia kembali menautkan bibirnya.
Deru nafas Angga bisa dirasakan Nadia.
*
*
Sebulan berlalu.
Angga masih rutin video call dengan Zara isterinya.
"Sayang kamu sedang apa?" tanya Angga, mereka sedang melakukan video call dengan Zara.
"Baik, mas. Kenapa mas gak pulang - pulang. Aku kangen, anak mas juga kayaknya kangen sama ayah nya deh." Zara berkata dengan manja menggoda suaminya.
Zara heran dengan reaksi suaminya itu, dia terlihat salah tingkah dan melirik ke suatu arah.
Apa ada orang lain di kamar suaminya itu? pikir Zara.
Zara memperhatikan background tempat suaminya video call.
Sebuah kamar tidur, dengan nuansa peach. Seperti kamar perempuan saja, yang membuat Zara berfikir negatif adalah dia bisa menangkap sesuatu dengan matanya.
Dia melihat benda mirip c*****************a di dekat bantal.
Meski, hanya tampak sedikit Zara yakin itu adalah milik wanita bukan milik suaminya.
"Jangan - jangan mas Angga!" Zara menggelengkan kepalanya, dia berusaha menepis pikiran negatifnya itu.
Kecurigaannya semakin besar, kalau dia perhatikan setiap video call pagi sepertinya suaminya itu hanya bertelanjang d**a dengan menutupi bagian bawah tubuhnya dengan selimut tebal.
Apa jangan-jangan dia telanjang? Pikiran buruknya kembali memenuhi otak Zara.
"Mas, tolong buka selimutnya!" ujar Zara, dia ingin membuktikan apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Apa? Buka selimut kenapa?" Zara bisa melihat raut wajah suaminya yang berubah panik.
Angga kembali melirik ke arah lainnya.
Meski pelan, Zara bisa mendengar suara seseorang yang sedang menahan tawanya.
Seperti suara perempuan.
"Semoga saja apa yang aku pikirkan itu salah! Mas Angga bukan pria nakal, dia pasti setia padaku." rasa cemas dan takut memenuhi hati Zara.
"Udah dulu ya sayang, mas mau mandi. Sebentar lagi ngantor. Nanti, hari Sabtu mas usahakan pulang oke Muaaach." Angga segera menutup panggilan nya setelah memberikan sun jauh.
Zara memeluk ponsel di dadanya, dia sangat khawatir.
Apalagi, suaminya itu tipe pria yang memiliki nafsu besar.
Saat di rumah dengannya, mereka bisa berhubungan setiap hari bahkan bisa lebih dari satu kali dalam semalam.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Zara.
Di bukanya pintu, tampak Eva tersenyum manis di depan pintu.
"Va, kamu rupanya, ayo masuk!" Zara tersenyum, Eva lah yang selalu menemani kesepiannya.
Eva, sering menginap di rumahnya.
"Gak usah tan, aku cuma mau minta tolong aja bisa kan?" memasang wajah memelasnya.
"Minta tolongnya apa dulu dong?" Zara tersenyum menggoda.
"Ini loh, papa sakit. Tante bisa bantuin urus papa kan? Aku mana tau harus apa," raut wajah Eva tampak sedih.
"Huuh, gimana ya. Tante gak enak aja, kita kan bukan muhrim." Zara menolak nya secara halus.
"Ayolah Tan, ku mohon. Kasihan papa!" Eva terlihat sedih dan hampir menangis.
Akhirnya, Zara terpaksa setuju.
Dia mengikuti Eva masuk ke rumah Arya.
Zara berdiri mematung di samping tempat tidur Arya, pria itu tampak terbaring dengan wajah yang pucat.
Dengan canggung, Zara menyentuh kening Arya.
"Va, kita bawa ke rumah sakit saja demam pak Arya cukup tinggi," ujar Zara dengan cemas.
"Gak usah, nanti juga sembuh sendiri," tiba-tiba saja Arya membuka matanya.
"Tuh kan, papa gitu terus tan. Papa selalu saja gak mau di ajak ke rumah sakit." Eva mengeluh.
"Kalau begitu tolong ambilkan Paracetamol. Kebetulan tante punya di dalam laci yang ada di kamar tante," ujar Zara kepada Eva.
"Iya, Tan." Eva segera pergi ke rumah Zara untuk mengambil obat.
Tinggal lah Arya dan Zara di kamar itu.
Rasa canggung menyeruak pada diri mereka masing-masing.
"Emmm, pak bagaimana kalau saya panggil kan dokter saja?" tanya Zara untuk mengusir canggungnya.
"Boleh. Asal jangan ke rumah sakit." Arya menjawab dengan lemah, lalu memejamkan matanya kembali.
Kepalanya berdenyut nyeri, dan badannya lemas.