1- Panggilan Kerja

1473 Kata
Selamat Membaca Bremm bremm Terdengar suara deru mesin motor dari luar. Dengan cepat Zara melangkahkan kakinya menuju pintu, dia tersenyum manis saat melihat suaminya turun dari atas motor. "Mas udah pulang rupanya!" sapa Zara Sambil meraih tangan suaminya. Di ciumnya punggung tangan suaminya itu. Angga suaminya, menyentuh lembut kepalanya. Lalu diciumnya kening Zara dengan sayang. "Iya mas pulang cepat hari ini. Oh ya ada yang ingin mas bicara kan denganmu," merengkuh bahu Zara dan mereka berjalan beriringan menuju ke ruang keluarga yang merangkap ruang tamu. Kini mereka duduk santai di ruang tamu. "Mas mau makan dulu, mandi dulu atau ngobrol dulu?" tanya Zara dengan senyuman manis yang merekah dari bibirnya. "Emmm, mau ini!" Angga tersenyum menggoda, dengan jari telunjuknya yang menyentuh bibir Zara. "Aishhh, genit!" pipi Zara merona karena malu. "Udah halal ini, masih aja malu - malu." Angga memeluk Zara dengan sayang. Cup Lalu bibirnya menempel di bibir Zara, setelah mengurai pelukannya. Sebuah ciuman lembut sebagai tanda kasih sayangnya pada isteri tercinta. Angga dan Zara baru menikah sekitar satu tahun, dan mereka belum memiliki anak. "Aku siapin dulu makanannya, ya mas," ujar Zara, setelah acara ciuman nya selesai. "Iya, mas lapar banget nih. Sepertinya energi mas terkuras habis, karena kamu hisap barusan. Hehehe," goda Angga dengan tawa menggodanya. "Ish, mas apaan sih!" Zara segera meninggalkan suami yang selalu saja membuat nya merona itu, sambil mengerucutkan bibirnya. "Habis kamu gemesin sih!" Angga tergelak sambil menatap punggung isterinya, hingga menghilang di balik pintu. Angga membuka ponselnya, memeriksa beberapa chat yang masuk ke dalam aplikasi chating nya. Ia pun membalas pesan - pesan itu. "Bagaimana cara ku menyampaikan pada Zara." Angga tampak sedang memikirkan sesuatu. Angga berjalan ke dapur, ada meja makan minimalis di sana. Angga memperhatikan Zara, isterinya itu sedang menata makanan di atas meja. "Selesai!" Ujar Zara senang. "Ayo mas makan dulu!" Ajak Zara. Angga membalas dengan senyuman manis. Zara menyendokkan nasi dan lauk untuk Angga. Hanya menu sederhana saja, sop sayap ayam, sambal dan kerupuk. Tak ada yang lain nya lagi. Zara dan Angga memang hidup sederhana. Angga hanya bekerja sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan. Meski, sebenarnya Angga seorang sarjana manajemen bisnis dengan nilai terbaik. Angga sudah bekerja di perusahaan itu sekitar 3 tahun, terhitung dari sebelum menikah dengan Zara. Mungkin, keberuntungan belum berpihak padanya. Mereka menikmati makanan dengan tenang, itu memang kebiasaan mereka. Saat makan, tidak ada yang boleh bersuara. Hingga, makanan pun selesai mereka habiskan. Angga beralih duduk di ruang keluarga sambil menonton acara TV. Sedangkan Zara membereskan bekas makan mereka. "Kemarilah sayang!" Angga melambaikan tangannya, saat melihat Zara menghampirinya. Dengan senyuman manis, Zara duduk di samping Angga. "Hem ada yang ingin mas bicarakan!" Angga mendesah, rasanya sulit untuk mengutarakan hal ini. Berat rasanya jika harus meninggalkan Zara sendirian di kota ini. Apalagi, di kota ini Zara tak punya siapapun. Dia berasal dari kota yang berbeda dengannya, namun jodoh mempertemukan mereka. Dan kini mereka bersama dalam satu ikatan yang suci, pernikahan. "Iya mas kata kanlah! Aku pun sama akan mengatakan sesuatu." Zara tersenyum hangat. "Kalau begitu kamu dulu," ujar Angga. "Nggak ah, mas dulu aja." Zara mengerucutkan bibirnya. "Aishhh, tuh bibir pengen di cium lagi ya!" Angga tergelak, merasa gemas dengan tingkah isterinya itu. "Mas, apaan sih. Aku seriusan loh!" Zara memberikan tatapan seriusnya. "Iya, ayo katakan ada apa?" ujar Angga, tangannya di lingkarkan pada pinggang Zara, dan dagunya menyandar pada bahu Zara kini. Angga memposisikan dirinya di belakang Zara. Memeluk Zara dari belakang. "Ya udah aku dulu!" Zara tersenyum ceria. "Hemm, mas tadi aku melakukan tes kehamilan. Dan ternyata aku positif!" Zara menggenggam tangan suaminya erat. "Apa? Hamil?" Angga membalikkan tubuh Zara. Kini mereka saling berhadapan. Angga menatap Zara dengan binar bahagia. "Jadi, kamu beneran hamil?" bertanya lagi, supaya yakin. "Iya mas, aku hamil," jawab Zara meyakinkan suaminya itu. "Alhamdulillah, mas senang. Mas akan jadi ayah!" Angga mencium kening Zara sekilas, lalu mencium perut Zara yang masih rata itu. Zara bahagia, melihat suaminya bahagia. Terlebih, ada janin di dalam perutnya. "Tapi..." Angga menjeda perkataan nya. Dia terlihat sedih. "Tapi apa mas?" Zara merasakan ada sesuatu yang salah. "Mas ada panggilan kerja, di perusahaan besar impian mas. Dan posisi yang akan mas dapat kan itu sebagai manager personalia," jawab Angga dengan bingung. Zara tersenyum lebar. "Mas, bukankah itu bagus! Mas akan mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik lagi dari saat ini. Mungkin, itu rezeki anak kita." Angga berfikir sejenak. "...." "Iya, benar katamu. Mungkin, ini rezeki anak kita. Saat dia hadir dalam rahimmu, saat itu juga mas dapat kerjaan baru." Angga membenarkan perkataan Zara. "Lalu, apa yang membuat mas resah?" Zara menatap suaminya lekat. Ada kesedihan dari sorot mata suaminya. "Mas sudah interview, dan mas di tempat kan di kantor pusat yang ada di kota J," Jawab Angga dengan lirih. Sesaat mata mereka saling bertemu. Ada kesedihan di dalam mata keduanya. Zara senang dengan pekerjaan yang di dapat suaminya itu, tapi juga sedih karena mungkin mereka harus berjauhan. "Apa yang membuat mas sedih?" Zara bertanya. "Mas harus tinggal di kota J, gak mungkin bukan bolak- balik ke sini. Butuh waktu kurang lebih empat jam naik motor menuju kota J." Angga mendesah, dia merengkuh bahu Zara dan mencium puncak kepalanya sayang. Zara diam sejenak, berusaha mencerna perkataan suaminya itu. "Apakah, aku gak boleh ikut dan tinggal bersamanya di sana?" Zara bergumam dalam hati, ada kesedihan di dalamnya. "Mas bukannya gak mau ajak kamu, Zara. Tapi, di sana mas akan tinggal di mes untuk sementara waktu. Mas akan mengumpulkan uang, hingga cukup untuk membeli rumah sederhana untuk kita." Zara menatap suaminya lekat, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Mas, tak akan mungkin membiarkanmu tinggal di mes. Biasanya tempatnya kecil dan pastinya kamu gak akan nyaman tinggal di sana," lanjut Angga. "Tapi, aku akan sendirian di sini. Hik hik hik," akhirnya, pecah juga tangisan Zara. Angga membawa Zara ke dalam pelukannya. "Kalau begitu, mas batalkan saja pekerjaan ini. Mas akan cari kerja di tempat lainnya, atau tetap kerja di tempat yang sekarang." Angga mengelus punggung Zara yang bergetar, tanda Zara masih terisak. Zara tak mau egois. Jika tak mengijinkan suaminya ke kota J, sama saja dia menghalangi kemajuan suaminya sendiri. Apalagi, pekerjaan kali ini cukup menjanjikan. Dan suaminya, sangat ingin bekerja di sana. "Tidak, mas. Aku tak akan menghalanginya, ini adalah pekerjaan yang kamu harapkan. Aku akan menunggumu di sini." Zara berkata dengan yakin. Meski, sebenarnya hatinya sakit. "Terimakasih Zara, mas janji akan pulang sebulan sekali. Dan akan selalu menghubungimu setiap hari." Angga tersenyum, matanya menatap lekat Zara. Cup Angga mendarat kan ciuman lembut di bibir isterinya itu. Zara membalasnya dengan penuh kasih sayang. * * Seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun mengetuk pintu rumah Arya, tetangga Angga dan Zara. Yang rumahnya tepat di depan rumah Angga dan Zara. "Ceklek" Nani, perempuan paruh baya berusia lima puluh tahunan yang merupakan art di rumah Arya membuka pintu. "Eh, non Eva!" dengan cepat bi Nani mempersilahkan Eva masuk. "Papa mana bi?" Tanya Eva antusias. "Mungkin di dalam kamar, non," jawab bi Nani. "Kalau gitu, aku langsung ke kamar papa ya." Eva setengah berlari menuju kamar Arya. Tanpa mengetuk, Eva langsung memasuki kamar papanya itu. "Papaaaa!" setengah berteriak Eva memanggil Arya, yang baru saja akan memasuki alam mimpi. "Va, kamu ke sini sama siapa? Ini kan sudah malam?" Arya terkejut. "Sendiri, naik ojek online!" dengan santai Eva menjawab. "Lain kali jangan begitu! Mama apa gak ngelarang?" Angga mendengus kesal. "Enggak, mama kan sibuk sama suami baru nya." Eva memang masih belum bisa menerima ayah tirinya. "Sudahlah, jangan di bahas. Ayo cepat tidur, sekarang sudah jam sepuluh malam." Arya melirik jam yang menempel di dinding kamarnya. Eva mengangguk, dan segera ke kamarnya. Arya dan Selin, mama Eva memang bercerai dua tahun yang lalu. Karena, Selin yang glamor tak tahan hidup sederhana dengan Arya. Yang hanya mengandalkan toko grosirnya untuk menyambung hidup. Tapi ternyata, kini semua berubah. Arya, bekerja keras. Rasa sakit hati di tinggalkan isteri dengan alasan materi, membuatnya sukses. Kini, dia memiliki beberapa cabang toko grosir. Belum lagi membuka resto di kota J. Bahkan, kini rumah yang dia tinggali adalah rumah mewah. Di kota J, pun dia memiliki rumah yang baru dia beli belum lama ini. Yang akan dia tinggali, jika ada urusan pekerjaan di sana sewaktu-waktu. Angga menatap langit-langit kamarnya, bayangan seorang wanita muda hinggap di benaknya. Setahun yang lalu, keluarganya menyodorkan sebuah foto gadis manis yang membuatnya luluh. Dia bersedia menikah lagi akhirnya. Namun, proses perjodohan itu gagal. Karena, gadis itu ternyata sudah memiliki kekasih, dan secara halus menolaknya. "Maapkan ibu, ternyata gadis itu sudah punya calon." Ibu nya mendesah, dia sedih sekali akan penolakan itu. Masih teringat jelas air mata membasahi pipi tua ibunya, saat pulang dari rumah gadis itu di kota b. Arya membuka laci yang selalu ia kunci rapat. Di ambilnya sebuah photo. Photo gadis itu, calon jodohnya dulu! Namun, tidak jadi. Arya tersenyum getir menyentuh photo wanita yang kini sudah menjadi isteri orang. "Ternyata dunia ini memang sempit!" gumamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN