3-Sehari Merawat Arya

1473 Kata
Zara pun memanggil dokter yang biasa dipanggil warga komplek jika sakit. Tidak butuh waktu yang lama, untuk dokter datang. Karena, memang rumah dokter itu masih berada di dalam satu kompleks yang sama. "Jadi pak Arya kenapa? " tanya Zara, pada dokter. "Tidak ada yang serius, hanya kurang istirahat mungkin sering begadang," jawab Pak Dokter. "Tuh denger kan pah, itu karena papa gak punya isteri jadi gak ada yang ngurusin! Makanya cepet nikah lagi!" ujar Eva sewot. "Emang kamu mau punya mama baru?" Arya tertawa kecil sambil bicara. "Mau, asalkan mama barunya kayak Tante Zara! Baik dan menyenangkan," celetuk Eva, dengan suara lantang. Eva langsung menutup mulutnya, sadar dengan perkataannya barusan. Takut, Zara marah mendengar perkataannya. Zara dan Arya jadi salah tingkah mendengar perkataan Eva. "Maaf tante." Eva memasang raut wajah bersalahnya. "Hem, iya gak apa-apa," jawab Zara dengan muka memerah karena malu. Arya menghela napasnya dalam-dalam, lalu memejamkan matanya. Sebenarnya, untuk mengusir rasa canggungnya. "Dasar bocah," kesal Arya dalam hati. Seharian Zara merawat Arya, karena Eva terus merengek memintanya agar merawat papanya itu. "Pak Arya ini makan buburnya, lalu minum obat nya," ujar Zara dengan canggung. Arya menoleh sekilas, dengan malas dia pun berusaha untuk duduk. "Aku lemas." Arya berkata dengan lirih. "Apa gak masalah kalau saya suapin." Zara berkata pelan dan tak enak hati. Arya mengangguk dengan senyuman tipisnya. Akhirnya, dengan terpaksa Zara menyuapi Arya. Arya mencuri-curi pandang ke arah Zara. Pesona Zara memang tak terbantahkan. Dia terlihat cantik dan keibuan, apalagi kini Zara sedang hamil. Membuat auranya semakin terpancar. Tanpa sengaja, Zara pun menoleh kearah Arya. Hingga pandangan mereka beradu saling bertatapan selama beberapa detik. Deg Jantung keduanya berdegup kencang. Zara segera memalingkan wajahnya, dia merasa malu dengan Arya. Pipinya sampai merah merona saking malunya. "Astagfirullah, jaga mata Zara!" dalam hatinya Zara meminta maaf pada suaminya, dan minta ampun pada Alloh. Berbeda dengan Arya, yang sengaja menatapnya kembali dengan lekat. Meski tak di pungkiri dirinya pun merasa gugup. Tapi, dia bisa dengan cepat menetralkan perasaannya dan mengatasi rasa gugupnya. "Ada apa?" tanya Arya, pura-pura tidak tahu. "Eng, enggak. Gak ada apa - apa ko," jawab Zara dengan gugupnya. Arya tersenyum tipis. Dengan cepat Zara menyuapkan bubur terakhirnya untuk Arya. "Selesai, buburnya sudah habis," ujar Zara merasa senang. "Hah, akhirnya aku bisa pulang juga!" gumamnya dalam hati. Bibirnya tersenyum lebar, sebuah senyuman yang manis di mata Arya. "Pak, ini obatnya di minum dulu," ujar Zara sambil menyodorkan obat, yang sudah di beli oleh Eva tadi ke apotik atas resep dokter. "Iya." Arya segera menerima obat dari tangan Zara. Saat mengambil obat, tangan mereka tak sengaja bersentuhan. Membuat Zara salah tingkah. Selama ini, dia tidak pernah berinteraksi dengan lelaki lain selain suaminya saja. Sehingga, bersentuhan dengan Arya membuatnya salah tingkah dan malu. Sementara itu, Arya biasa saja. Dia sudah sering bersentuhan dengan wanita mana saja. Namun, bukan berarti Arya duda nakal. Dia sama sekali belum pernah tidur dengan wanita mana pun selain mantan isterinya dulu. Sedangkan, untuk mengatasi kebutuhan biologisnya, Arya akan menyibukkan diri dengan pekerjaan. Itulah sebabnya, Arya super sibuk. "Maaf saya gak sengaja." Arya mengerti, kalau Zara merasa malu. "Hemm, I iya saya juga minta maaf pak," jawab Zara. Dia merasa risih. Arya segera meminum obatnya, lalu kembali merebahkan diri dan memejamkan mata. "Arya! Kata Eva kamu sakit ya?" terdengar suara seorang wanita paruh baya dengan lantangnya. Zara menoleh ke ambang pintu, tampak Eva berjalan masuk dengan seorang wanita paruh baya, mungkin neneknya. Pikir Zara. "Gak parah kok, bu," jawab Arya, sambil bangun lalu duduk dengan bersandar pada sandaran tempat tidurnya. "Mau gak cepat sembuh gimana, kalau perawatnya cantik begini!" Ibu Arya melihat kearah Zara di iringi senyuman ramahnya. "Maaf, saya hanya tetangga depan rumah pak Arya Bu," ujar Zara dengan sopan, sambil mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Tapi, ibu Arya malah memeluk Zara dengan erat. "Kamu ini kan..." Ibu Arya tak melanjutkan perkataannya, karena Arya segera memotong perkataannya. "Bu!" Arya setengah berteriak, dengan tatapan yang sepertinya memohon. Ibunya menghela nafas dalam-dalam, lalu mengurai pelukannya terhadap Zara. Dia menghampiri Arya. Sementara itu, Eva dan Zara saling pandang tak mengerti dengan arah perkataan Arya dan ibunya. "Ibu senang, kamu merawat Arya. Terimakasih ya, Arya itu sulit untuk di urus dan ngejengkelin. " Ibu Arya terkekeh. "Ibu bohong!" sahut Arya, tidak suka disebut menjengkelkan Zara tersenyum melihat interaksi ibu dan anak yang terlihat begitu dekat itu. Eva mendekati neneknya, lalu mencium punggung lengannya. "Eva lagi ada pr dari sekolah. Jadi mau ngerjain pr dulu ya." Eva pun pamit kepada nenek dan ayahnya, juga Zara. Tinggallah Zara, Arya dan ibu Arya di kamar. "Nak Zara, ibu mau ngobrol sedikit." menggenggam tangan Zara, dan membawanya ke sofa . "Bu jangan ngomong macem-macem!" Arya berteriak. "Uwiiih, yang lagi sakit kok bicaranya bisa teriak - teriak!" Ibunya tertawa. Arya hanya mendengus, jengkel dengan tingkah ibunya itu. Arya menajamkan pendengarannya, takut kalau ibunya bicara macam-macam. Zara dan ibu Arya sudah duduk di sofa, mereka saling berhadapan. Zara menatap bingung kepada ibu Arya, yang terkesan sok akrab seperti sudah mengenalnya sejak lama saja. "Nama kamu beneran Zara kan?" tanya ibu Arya meyakinkan. "Iya, Bu." Zara menjawab dengan cepat. "Kamu memang cantik dan terlihat sangat baik ya, sayang sekali..." tak melanjutkan perkataannya. Arya sudah berkeringat, takut ibunya mengatakan sesuatu yang justru akan membuatnya malu. "Sayang sekali apa?" Zara jadi penasaran. "Tak apa, kamu terlihat berisi apa kamu sedang hamil?" memegang perut Zara. Zara mengangguk pelan. " Iya Bu, baru mau dua bulan." Zara tersenyum. "Wah Allhamdulilah, semoga kamu di beri kesehatan dan kelancaran saat melahirkan nanti," ujar ibu Arya lembut. "Terimakasih, Bu." Zara tersenyum. "Suami mu apa tidak marah? Kamu merawat Arya, yang merupakan seorang laki-laki. Duda pula?" Ibu Arya menatap Zara penuh rasa penasaran, dan merasa tidak enak hati . "Hemm, sebenarnya suami saya sedang di luar kota. Dia kerjanya pindah ke kota lain." Zara menjawab dengan sedih. "Oh, kasihan kamu. Lagi hamil muda di tinggal sendirian. Arya, dulu saat isterinya hamil mana mau dia jauh-jauh. Dia terus mendampingi mamanya Eva," membanggakan puteranya. "CK, bu! Gak usah ngomong gitu juga kali!" Arya setengah berteriak. "Hei, kamu sakit boongan kayaknya Ar! Cuma ingin deket-deket sama Zara saja kali!" Ibunya balas berteriak. Zara hanya tersenyum melihat perdebatan antara ibu dan anak itu. "Apaan sih bu!" Arya memilih untuk membalikkan badannya, menunggungi sang ibu. Lalu memejamkan matanya. "Tuh lihat Zara, Arya sudah dewasa tapi seperti anak kecil saja. Suka merajuk!" berbisik di telinga Zara. Zara hanya tersenyum. Cukup lama, Zara mengobrol dengan ibu Arya. Hingga, akhirnya pulang. Karena, waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Rumah Zara Zara tidur sendirian. Malamnya dia terbangun karena memimpikan Angga suaminya. Dia menghela napasnya dalam-dalam, lalu mengambil air minum. Gluk Gluk Zara meneguk air putih dingin itu sampai habis. Tadi dia bermimpi, Angga sedang berjalan menggandeng seorang perempuan. Tapi, perempuan itu bukan dirinya. Membuat Zara, jadi sedih melihatnya dan seketika terbangun dari tidurnya. "Ada apa ini? Apa ini pertanda tidak baik? Aah tidak-tidak, aku tidak boleh berpikiran negatif." Zara berusaha menenangkan dirinya. Dia lalu menghubungi suaminya. Saat ini jam menunjukkan pukul setengah satu malam. Tut Tut Tak ada jawaban. "Kenapa aku harus menelponnya jam segini! Mas Angga pasti sedang tidur." Gumam nya. "Lalu, mulai merebahkan tubuhnya kembali di tempat tidur." Tiba-tiba saja terdengar suara ponselnya berdering. Dengan cepat Zara menerima panggilan itu, ternyata dari Angga. "Sayang, maaf. Tadi gak keangkat panggilannya!" ujar Angga dari sebrang sana. "Iya mas gak apa." Zara tersenyum ceria bisa bicara dengan suaminya, meski di telpon. Zara bisa mendengar suara nafas suaminya yang seperti terengah-engah, kecapean. "Mas habis ngapain, kok kayak yang capek?" Ada rasa curiga di hati Zara. Dengan cepat dia menepis pikiran buruknya itu. "Eng enggak, gak ngapa-ngapain. Ini tadi habis olahraga sebentar, heheh." Zara bisa mendengar nada bicara suaminya yang sedikit gugup. Zara sadar suaminya sedang berbohong. Angga paling tidak pandai berbohong. Hingga saat dia bohong, Zara akan menyadarinya. "Mas lagi bohong sama aku ya?" Zara to the poin. "Bohong! Ah tentu saja tidak sayang, kenapa harus bohong segala?" jawab Angga balik bertanya, berkata dengan cepat. "Mas, lagi dong!" Zara bisa mendengar suara seseorang yang sepertinya berbisik, dan itu adalah suara perempuan seperti nya. "Mas lagi sama perempuan lain?" Zara bertanya dengan suara lirih, hatinya sakit membayangkan suaminya tidur dengan perempuan lain. "Mana ada sayang!" Zara bisa merasakan kalau Angga sedang salah tingkah, meski tidak ada di hadapannya. "Mas!" Tut Tut Tut Belum selesai Zara bicara, panggilan langsung di tutup. Zara mendesah, hatinya dilanda kebimbangan. "Apa dia selingkuh dariku disana? Ah tidak-tidak, mas Angga sangat baik. Tidak mungkin dia seperti itu." lagi-lagi Zara berusaha menepis pikiran negatif tentang suaminya, Angga. Zara memutuskan untuk tidur kembali, terlalu banyak memikirkan sesuatu hanya akan membuatnya sakit kepala. Jadi, mendingan tidur saja. Pikirnya. * * Sementara itu di sebuah kamar, di kota B terdengar suara desahan dan deru nafas yang saling bersahutan. Siapa lagi kalau bukan Angga dan Nadya yang sedang memadu kasih. "Aaah, sayang!" desah Nadia sambil memeluk punggung Angga yang sedang mengungkungnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN