Eno? Ini kamu?

1173 Kata
"Eh.. Dia pergi begitu saja. Padahal dia belum bilang siapa namanya." gerutu Ina, dia menarik sudut bibirnya kesal. Ina kembali menatap ke pantai. "Kamu kenal dia gak?" tanya Ina, seolah ada Eno di depannya. Meski hanya bayangnya, dia berbicara pada lantai yang ada di depannya. Dengan nada kesal, bibir sedikit cemberut. "Dia sering kesini. Mungkin dia bilang namanya padamu. Atau, kamu kenal istrinya di sana? Bagaimana dia? Apa dia tidak suka dengannya. Cantik gak istrinya. Gimana dengan anaknya?" tanya Ina, dia tak hentinya terus menggerutu. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Dia penasaran dengan kehidupannya. Bahkan istri dan namanya siapa. Dia begitu baik, tapi Tuhan berkehendak lain. Semua yang disayanginya di merenggut begitu cepat. Tak hanya istri tapi juga anak-anaknya. Rasa kasihan terbesit dalam hati Ina. Dia berkacak pinggang menatap kedepan. Wanita cantik yang kini rambutnya mulai terikat satu sedikit ke atas. Dengan topi yang menutupi kepalanya. Matahari semakin terik, ina melirik sekilas pergelangan tangannya, jarum pendek sudah menunjukan pukul 10. Sudah mendekati siang. Terik matahari mulai menyentuh kulit putih Ina yang berdiri menatap ke pantai. "Eno, jika dia datang kemari. Tanyakan saja padanya. Siapa namanya. Aku lupa. Dan, kamu juga pasti tahu kesedihan di hatinya. Seperti yang di katakan padaku tak. Tapi, meski tidak semuanya. Dia baik gak? Tapi,tenang saja. Aku hanga tanha, jangan cemburu ya. Aku hanya ingin tahu saja. Soal hati kaki masih tetap mencintai kamu." ucap Ina, entah sejak kapan, kedua matanya mulai berkaca-kaca. Perlahan air mata itu mulai keluar dari kedua matanya . "Aku pulang dulu, aku lelah. Lain kali. Aku akan kesini lagi jika ada kesempatan." kata Ina, dia mengusap kedua matanya dengan punggung tangannya. Membersihkan air kata yang terus menetes. Ina dengan langkah ragu dia membalikkan badannya, kedua kakinya terasa sangat berat meninggalkan pantai itu. ** Keesokan harinya. "Ina, kamu sudah siap belum?" teriak Ratna dari lantai satu rumahnya. "Siap untuk apa bu." tanya Ina. "Ada Vian di bawah. Dia sudah menunggu kamu. Cepetan turun." kata Ratna semakin mengeraskan suaranya. Ina yang berada di dalam kamarnya dia terdiam. Dia bingung kenapa bisa ada Vian di rumahnya. Dia bahkan tidak menghubunginya hari ini. Ada apa dengannya. Ina teringat jam, dia menoleh dan menatap me arah jam dinding yang ada di atasnya. Tepat di dinding depannya. "Ina, gimana?" teriak Ratna lagi. "Iya sebentar bu!" teriak Ina. Sialan! Aku bahkan belum bersiap sama sekali. Ganti baju belum, mandi aja juga belum. Kenapa Vian datang sepagi ini. Dia bilangnya sore. Dan ini masih jam 9. Masih lama juga. Gerutu Ina dalam hatinya. Dia berdengus kes. Ina menoleh dia melihat "Vian, kamu sudah datang? Aku gak minta kamu kesini?" tanya Ina heran. Padahal dia hanya minta temani ke rumah Eno tidak meminta untuk dijemput sama sekali." ucap Ina heran. Vian hanya diam dan tersenyum. "Memang gak ada." jawab Vian. "Ayo, aku ajak pergi dulu. Besok kamu berangkat ke kota bersama denganku. Dan, aku akan kenalkan pada temanku. Hari ini dia datang kesini. Aku mau kamu kamu antar aku pergi ke bandara. Besok, dia juga akan kembali bersama dengan kita." Ina menghela napasnya lega. Dia sudah berpikiran negatif lebih dulu. Apalagi dirinya belum juga siap. Mandi, pakaian juga masih menggunakan baju tidurnya. Rambut yang acak-acakan namun di tali jadi satu. Dia pikir Vian akan ajaknya jalan berdua. Untuk menghilangkan penat. Ternyata bertiga dengan temannya. Apalagi saat Vian berbicara kemarin pagi, agar Ina melupakan Eno. Dia pikir jika Vian sengaja memintanya agar dia bisa suka dengannya. Ina menghela napasnya lagi. "Ternyata aku yang terlalu percaya diri." gerutu Ina dalam hatinya. "Ina, kamu diam? Mau gak?" tanya Vian. Seketika terlihat bayangan wajah Eno di wajah Vian. Ina menautkan kedua alisnya. Kedua ujung mata menyipit. Kening ikut berkerut terlihat garis halus dari keningnya. Ina sedikit mendekatkan pandangannya. Mengusap kedua matanya berkali-kali. "Eno..." Vian yang mendengar ucapan Ina, melihat tatapan aneh Ina, mencoba untuk menyadarkan dirinya. Mengibaskan telapak tangan kanannya di depan wajah Ina. "Eno... Kamu ada disini?" Seketika raut wajah Ina berubah sangat bahagia. Dia tersenyum lebar. Saat hampir ingin memeluk tubuh Vian, laki-laki itu memegang kedua lengan Ina. "Ina, kamu sadar gak sih. Aku Vian. Bukan Eno." Vian mengibaskan tangannya tepat di depan wajah Ina berkali-kali. "Eno.. Kamu Eno.." ucap Ina. Ratna ibu Ina yang melihatnya. Dia segera menghampiri Ina dan Vian. "Vian, apa yang terjadi?" tanya Ratna. "Ini tante, Ina dia mengira jika aku Eno. Sepertinya pikiran, hati dan jiwa Ina sudah mulai terganggu." kata Vian. Rana terdiam sesaat, dia menangis dalam hatinya melihat keadaan anaknya. Ratna memegang lengan Ina. "Ina.. sadarlah! Dia Vian bukan Eno. Kenapa kamu terus memanggilnya. Lihatlah, dia Vian. Bukalah mata kamu lebar. Sadarlah! Jangan seperti ini. Eno sudah tidak ada. Jangan terus mengingatnya. Dia tidak akan pernah kembali kesini ina." bisik Ratna. Sembari memeluk tubuh anaknya. Tak tahan butiran kristal itu jatuh menyentuh pundak Ina. "Enggak, Bu. Dia Eno. Lihatlah, Eno tiba-tiba kembali. Eno ada disini." "Sadarlah Ina." ucap Ibunya. Dia melepaskan pelukannya. "Tapi, bu. Lihatlah aku serius. Dia Eno. Dia Eno. Buka orang lain. Dia Eno. Bu. Kenapa Ibu tidak percaya denganku. Aku bicara apa adanya. Eno ada disini bu." Ratna menahan kesedihannya. Dia tahu perasaan anaknya sekarang. "Plaak!" sebuah tamparan keras mendarat di pipi Ina. Wanita cantik berambut panjang itu mulai tersadar dari apa yang dilakukannya tadi. "Tante!" Vian mencoba mencegah Ratna menampar Ina. Namun semua terjadi begitu cepat. "Kenapa ibu menamparku?" tanya Ina. "Harusnya Ibu yang tanya padamu. Kenapa kamu terus saja mengingat Eno. Dia Vian bukan Eno. Ibu gak habis pikir denganmu. Kamu bilang jika kamu bisa melupakannya. Kamu mulai bangkit kembali. Tapi kenyataanya apa? Kamu menganggap semuanya Eno. Mau sampai kapan kamu terus seperti ini Ina. Sampai kapan? Kamu juga berhak bahagia. Jangan siksa diri kamu dengan kenangan orang yang sudah tidak ada disini." Ratna mengeraskan suaranya. Membungkam bibir Ina yang semula ingin marah pada ibunya. Tetapi, dia mengurungkan niatnya. Saat mendengar ibunya berteriak dengan bibir gemetar menahan kesedihannya. "Kembalilah seperti Ina yang dulu. Ina yang selalu ceria. Ina yang selalu bahagia. Meski kamu belum mengenal Eno. Kamu dulu sangat ceria. Tapi, kenapa sekarang kamu buta karena cinta." Rata memelankan nada suaranya. Dia menghela napasnya, memegang tangan Ina. "Ibu mohon padamu. Lupakan Eno. Ibu mohon berbahagialah. Jangan ingat kembali dia. Ibu mohon, jika kamu sayang sama ibu kamu. Ikhlaskan dia. Jangan biarkan pikiran dan hati kamu ini mengganggu. Jadilah diri kamu sendiri. Kamu bahagia dengan versi kamu sendiri." Rata tak kuasa menahan air matanya. Dia menempelkan keningnya di bahu Ina. Isakan tangis ibu membuat Ina merasa sangat sakit. Ina memejamkan matanya, menggigit bibir bawahnya. Menahan air mata yang ingin segera keluar. Hati Ina terketuk saat ibunya terus memohon padanya. Bahkan menangis di depannya. Baru kali ini ibunya memohon serta menangis. Ina tak sanggup melihat ibunya seperti itu. Ina memeluk ibunya sangat erat. "Ibu, jangan menangis. Ina akan melupakannya. Jangan terus memohon padaku. Besok aku akan berangkat ke kota seberang untuk bekerja Ibu jangan khawatir. Aku akan coba melawan pikiranku untuk tidak mengingatnya lagi. Ada Vian juga yang pastinya akan bantu aku. Mungkin aku juga di sana akan pergi ke psikolog. Aku ingin konsultasi tentang ini. Ina juga tidak mau seperti ini terus, bu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN