"Udah, ayo kita kasih bunga ini pada Eno. Semoga dia di sana melihat kita. Dia pasti bahagia di sana. Aku harap dia bisa lihat kamu bahagia nanti." kata Vian, dia menoleh ke arah Ina. Spontan Ina menoleh ke arah Vian. Kedua mata mereka saling tertuju satu sama lain.
"Maksud kamu?" tanya Ina.
"Memangnya kamu mau hidup dalam bayangan Eno terus?" tanya Vian. "Kelak kamu juga akan menemukan lagi laki-laki yang akan buat kamu jatuh cinta lagi."
"Gak mungkin!" tegas Ina. "Aku tidak akan pernah melupakan Eno. Aku akan selalu sayang sama dia. Aku yang akan selalu mengingatnya. Tidak akan ada laki-laki lain di hatiku." tegas Ina, dia menghela napasnya kasar.
"Tidak mungkin kamu akan terus bahagia dengan kesendirian. Kelak kamu akan mendapatkan bahagia aku yakin itu." Vian penuh percaya diri mengucapkan hal itu. Dia yakin semuanya akan mendapatkan kebahagiaan dengan cinta barunya.
Sementara Ina hanya diam, dia meletakkan bunganya perlahan di pinggiran pantai. Hingga terbawa arus ombak kecil ke tengah laut. Dia hanya diam, dalam otaknya mulai terpikirkan. Apa dirinya akan menikah dengan laki-laki lain kelak nanti.
Ina duduk jongkok, dia hanya dian di pinggiran pantai menatap bunganya yang perlahan semakin ke tengah. Sembari menggerutu dalam hatinya.
Eno, apa aku kelak akan melupakan kamu? Enggak! Aku gak bisa. Aku tidak bisa melupakan kamu begitu saja. Kenangan kita begitu banyak. Selama hampir 7 tahun kita bersama. Tidak mudah melupakan begitu saja. Semuanya masih tersimpan di hati. Aku gak sanggup jika melupakan kamu. Ina memejamkan kedua matanya. Tak terasa butiran kristal kecil itu mulai menetes. Jatuh ke pasir.
Ina menarik napasnya dalam-dalam, dia mencoba menahan air matanya. Dia menarik dua sudut bibirnya. Terukirkan sebuah senyuman tipis di wajahnya.
"Ina, kamu gak papa kan?" tanya Vian.
"Iya, aku gak papa kok." ucap Ina. Dia mengangkat kepalanya. Mencoba tersenyum tipis di depan orang lain. Meski hati kecilnya masih menjerit, menangis, meratapi semuanya.
"Ya, sudah. Aku pulang dulu. Aku masih banyak urusan yang belum aku selesaikan. Kamu jangan sedih terus. Tetap semangat. Kamu juga berhak hidup." kata Vian, dia mengusap pundak Ina.
"Iya, makasih sarannya." kata Ina.
Vian memegang kedua lengan Ina. Dia menatap kedua matanya sangat dalam.
"Ina, jangan patah semangat. Kamu berhak bahagia." kata Vian. Sembari tersenyum tipis. Dia mengusap ujung rambut Ina, mengacak-acak rambutnya.
"Vian, kamu acak-acak rambutku." kesal Ina menguntupkan bibirnya. Vian melihatnya begitu lucu. Dia mencubit pipi cabi Ina saat dia marah.
"Jangan cemberut, aku pergi dulu. Bye.." ucap Vian.
"Vian.. Sakit tahu." teriak Ina kesal.
Vian hanya diam, dia terus berjalan pergi sembari tersenyum tipis. Sementara Ina, dia masih duduk jongkok. Dan, pada akhirnya dia duduk di pasir putih tanpa takut celananya kotor.
Ina, duduk diam menatap ke arah laut. Dia tersenyum tipis, melihat bayangan Eno seolah ada di depannya. "Eno, kamu melihatku?" tanya Ina.
"Maafkan aku!" ucap Ina, "Aku tidak bisa bersama kamu sekarang. Aku ingin bersamamu. Tapi kita berbeda. Seandainya dulu kamu pulang lebih awal. Mungkin tidak akan terjadi hal seperti ini. Kenapa kamu pulang di saat kuta akan menikah sebentar lagi. Sekarang semuanya sudah terjadi. Aku salah tidak mengingatkanmu sebelumnya." ucap Ina. Dia mengangkat tangannya, seolah ingin menyentuh Eno.
"Aku sangat merindukanmu. Aku sangat merindukanmu." kata itu yang terus terucap di bibir Ina air mata terurai membasahi pipinya. Entah sejak kapan air mata itu mulai jatuh. Bahkan dirinya tak sadar.
"Apa yang kamu lakukan?" suara seorang laki-laki seketika membuat Ina terdiam. Dia melirik ke belakang melihat sosok laki-laki yang biasa di lihat di pantai itu. Ina menyipitkan matanya. Mencoba mencermati apa benar dia laki-laki yang pernah dia lihat.
"Kamu laki-laki yang biasa disini?" tanya Ina. "Apa kamu juga kirim bunga lagi?" lanjutnya.
"Enggak! Aku hanya ingin melihat pantai. Barang-barang keluargaku belum ditemukan. Jatuhnya dekat pulau terpencil. Apa kamu gak berharap jika kekasih kamu masih hidup." tanya laki-laki itu.
"Tapi, semua barang-barang-barangnya sudah ditemukan." kata Ina. Dia tertunduk lesu, membayangkan apa yang terjadi pada dirinya. Beberapa detik kemudian, seolah bukan Ina. Dia mengangkat kembali kepalanya. Melayangkan senyuman padanya. Ina terlihat lebih tegar dari biasanya.
"Aku sudah ikhlas atas kematiannya. Mungkin memang itu semua adalah takdir. Tetapi, aku akan selalu ingat semua kenangan yang pernah kita jalani. Semua nya akan terus aku ingat. Tidak akan pernah aku lupakan." kata Ina. Dia menarik napasnya sesaat, lalu menghela napasnya begitu kasar. Dia berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Terlihat jelas dari raut wajahnya Ina berusaha menahan air matanya. Dia mendongakkan kepalanya. Memejamkan kedua matanya sejenak.
"Aku tahu bagaimana kehilangan orang yang kita sayang. Lupa? Tidak akan. Apalagi yang di jalan berdua terlalu jauh. Sakit? Iya, hati terasa sangat sakit. Aku juga tidak tahu kenapa? Rasanya ingin sekali terus disini. Meski hatiku sudah ikhlas." laki-laki di samping Ina itu mulai menceritakan tentang dirinya. Dia pikir laki-laki itu cuek dan tak banyak bicara. Dia pikir laki-laki itu sangat angkuh. Ternyata semua pikirannya salah. Laki-laki itu begitu banyak bicara saat dia di sampingnya.
"Maaf! Kalau boleh tanya padamu. Apa yang terjadi dengan istri kamu. Kenapa kamu dan dia tidak pergi bersama?" tanya Ina yang entah dirinya salah atau tidak bertanya hal seperti itu, dia tahu itu hal sensitif. Tidak boleh ditanyakan. Tapi rasa penasaran pada dirinya membuatnya ingin terus bertanya. Meski Ina merasa sangat lancang sekali mulutnya.
Laki-laki itu hanya diam, kedua matanya menatap sangat dalam lautan yang ada di depannya. Ina merasakan kesedihan dalam hatinya sangat dalam. Apalagi dia kehilangan istri dan anaknya. Pasti sangat sakit. Terlihat dari kedua katanya dia sengaja menahan air mata yang sudah mengumpul di kelopak matanya. Kehilangan dua orang yang dia sayang sekaligus pasti sangat menyakitkan.
Ina memperhatikan raut wajah laki-laki-laki itu dia merasa sangat kasihan dengannya. Dia kehilangan satu orang saja rasanya sudah ingin mengakhiri hidupnya. Apalagi kehilangan dua orang sekaligus. Pasti hatinya lebih hancur. Bahkan dirinya sangat kehilangan semangat hidupnya.
"Maaf, aku salah bicara tadi. Lupakan saja pertanyaanku tadi." ucap Ina, dia mengerutkan wajahnya. Melirik laki-laki di sampingnya. Benar-benar dirinya merasa bersalah.
Ina memalingkan wajahnya. Menepuk bibirnya 3 kali. Ina kamu kenapa bertanya seperti itu. Lagian itu privasi dia. Astaga. Aku malu padanya. Gerutu Ina dalam hatinya.
"Tidak, kamu gak salah. Aku ada masalah dengannya. Sudah, hanya itu aku tak bisa ceritakan yang lainya." jawab laki-kaki itu. Dia menghela napasnya, tersenyum simpul. Senyum yang menyimpan sejuta kesedihan dalam hatinya.
"Ini hari terakhirku melihat laut ini. Aku akan kembali lagi ke seberang. Aku akan pergi ke Jakarta. Mungkin aku juga tidak akan kembali kesini. Entahlah! Tapi aku merasa sangat berat jika meninggalkan tempat ini. Selama satu minggu dirimu aku sudah berada nyaman di pantai ini. Setiap lagi aku kesini. Sore hari aku melihat pemandangan sunset hotel. Terlihat jelas pemandangan laut yang indah tapi menyimpan luka." laki-laki itu mulai menunjukan jika kedua matanya tak bisa menahannya. Dia tertunduk, kedua matanya mulai berkaca-kaca.
"Kamu menginap di hotel dekat sini?" tanya Ina. Laki-laki itu hanya menganggukan kepalanya.