Setelah kejadian tadi. Ina hanya diam, dalam perjalanan ke rumah Eno. Wanita berambut pa yang terikat itu terus saja melamun. Sembari memegang jemari tangannya. Cincin pertunangan itu masih melekat di jari manisnya. Ina terus memegang, memutar cincin itu di jari manisnya Sembari tersenyum dalam sebuah tangis yang menggebu dalam hatinya. Ina menghela napasnya, memejamkan kedua matanya.
"Aku tahu aku salah, tapi Kamu tahu sendiri. Tidak mudah melupakan orang yang di cintai hanya dalam hitungan hari. Apalagi jarak yang memisahkan adalah kematian. Rasa rindu pasti ada. Rasa kehilangan akan terus menghantui." ucap Ina. Perlahan dia membuka matanya.
"Mungkin ibu meminta aku melupakan dia. Tapi, ibuku tidak sadar bagaimana tersiksanya hatiku saat kehilangan dia. Bagaimana mental aku, bagaimana kondisi hatiku sekarang, hancur, aku bahkan tidak tahu harus apa. Seolah aku sekarang berjalan tanpa arah. Hatiku terasa mati. Hanya bayangan kosong di otakku yang terus menghantuiku. Aku bagaikan bunga tanpa daun." Ina menoleh ke arah Vian.
"Aku tahu perasaan kamu. Meski aku tidak bisa berbuat banyak membantumu. Kamu bisa melupakan dia atau tidak tergantung kamu sendiri. Tapi, suatu saat ada saatnya kamu akan melupakan semuanya. Tuhan itu adil. Dia memberikan kamu kesedihan yang amat dalam. Tapi, kelak kamu akan diberikan sebuah kebahagiaan yang takkan tergantikan." Vian, tersenyum tipis. Dia mencoba memberikan semangat padanya. Meski hanya sebuah ucapan yang bisa dia lakukan.
Ina terus mencoba mengatur napasnya. Dia berusaha untuk tetap tegar walau hatinya masih terasa rapuh. Tidak ada yang tahu bagaimana sakitnya hatinya saat ini. Tidak ada yang tahu jika dirinya terus menangis setiap malam, terus saja mengigau nama Eno. Berharap dia datang menemaninya.
Dipisahkan selamanya lebih sakit hati daripada harus dipisahkan karena perselingkuhan. Baginya dia bisa melihatnya setiap hari. Namun sekarang, dia hanya bisa melihat fotonya setiap hari. Dia bahkan tidak tau raganya dia hanya membayangkan wajahnya dalam pikirannya. Entah bertahan berapa lama hal ini akan terjadi.
Aku sayangnya, Ina terus memimpikan dia lagi dan lagi. Kehilangan paling berat dalam hidupnya. Raganya bahkan terasa mati dia berjalan dengan kaki. Tetapi, terasa kakinya sangat berat. Dia ingin melangkah melupakan semuanya. Namun, dirinya hanya bisa diam. Diam menatap sebuah kenangan yang tak terhitung jumlahnya.
"Oh, ya! Gimana dengan teman kamu. Dia belum nyampek juga?" tanya Ina.
"Pesawatnya delay. Mungkin sekitar 1 jam lagi. Dia sekarang masih di bandara. Biasanya perjalanan pesawat sekitar 1 jam lebih." kata Vian
"Di bandara?" tanya Ina. "Belum perjalanan?"
"Belum! Ya, sudah. Sekarang aku mau ke rumah Eno. Sebentar saja. Setelah itu kita jemput teman kamu. Ajak dia makan. Dan, setelah itu kita pulang."
"Baiklah! Mungkin memang kamu butuh menenangkan diri."
"Oh, ya! Besok kamu jemput aku saja." ucap Ina.
"Siap, bos. Tenang saja. Pasti akan ku jemput nanti." kata Vian.
"Oke.. Makasih!" Ina kembali menatap kedepan. Kepalanya terasa sangat berat. Dia berusaha untuk tetap tegar. Ina menyandarkan kepalanya ke belakang. Bersandar, sambil memejamkan matanya.
Hanya butuh beberapa menit lagi. Mereka akhirnya sampai di rumah Eno. Banyak sekali polisi dan beberapa orang di sana. Dia tidak melihat keluarganya di luar. Hanya beberapa wartawan yang sudah menunggu untuk meliput berita. Mereka sambil duduk, makan, dan ada yang sambil berbincang satu sama lain. Ina juga terlihat begitu datar. Dia mencoba untuk memberanikan diri menampakkan kakinya lagi ke rumah Eno. Ina membuka pintu mobil perlahan. Dia melangkah pelan. Lalu menutup kembali mobilnya.
"Gimana?" tanya Ina.
"Apa?" Vian mengerutkan keningnya bingung.
"Itu, gimana dengan apa yang kamu ceritakan. Semuanya sudah ada di rumahnya belum. " tanya Ina lagi.
"Sepertinya sudah, banyak mobil polisi juga disini."
Kedua mata Ina berkeliling melihat sekitarnya. Dan, benar saja banyak sekali polisi yang berjaga. Ina perlahan mulai melangkah kedepan mencoba untuk tetap tegar kali ini pandangan katanya lurus kedepan. Langkah Ina terhenti saat dia mengingat semua kenangan yang ada di rumah itu. Saat dirinya menginap di sana. Semua keluarganya begitu akrab padanya. Mereka sayang dengan Ina. Selalu memanjakan Ina. Apalagi adiknya. Dia selalu tidur bersama dengan Adiknya di kamar. Dan, Eko yang diam-diam datang saat adiknya tidur. Meski hanya mengecup bibir dan kening sejenak. Lalu pergi.
Semua kenangan terlihat begitu indah. Mereka begitu bahagia bersama. Ina kenapa kamu berhenti disini?" Bian menepuk pundak Ina satu kali. Menyadarkan Ina dari lamunannya. Ina membuka kedua matanya perlahan. Dia melihat dari arah pintu keluarganya yang menangis tersedu-wedi di ruang tamu. Mereka duduk di lantai sembari memeluk barang-barang Nek. Tangisan itu menggema seluruh ruangan. Kedua kaki dan tangan Ina gemetar, dia bingung apa sanggup diri masuk ke dalam. Entah sejak kapan, pipi Ina terlihat basah.
"Tante.. Sasa.. Om." Semuanya menatap ke arah Ina. Mereka saling diam, menatap, dengan wajah yang menunjukan kesedihan yang mendalam. Ina di paksa untuk selalu tegar sekarang. Kerutan tangis, suara ramai anak kecil. Dan, beberapa orang yang berbincang di luar. Suara yang sangat bising mengganggu telinganya. Ina mencoba untuk tetap tenang. Wajahnya begitu datar, dia mengerutkan telinganya. Sembari memejamkan matanya sejenak.
"Sebentar!" kata Ina pada Vian.
Ina yang sudah mulai merasa tenang. Dia membuka matanya. Dalam satu tarikan napasnya. Dia mulai melangkahkan kakinya. Meski masih gemetar, setiap langkah menunjukan rasa khawatir, takut, gugup, dan kesedihan yang selalu terbayang di benaknya.
Ina khawatir keluarganya akan menyalahkan dirinya nanti.
"Ina.. " panggil Ibu Eno. "Kemarilah!" Ina menoleh melihat Ibu Eno. Ina menelan ludahnya, dia mulai perlahan melangkahkan kakinya. "Ada apa?" tanya Vian.
"Kenapa aku melihat bayangan Neo di setiap ruangan ini. Kenapa?" perlahan air mata rekening kristal itu terus membasahi pipinya. Ibu Nek yang tahu Ina, dia bangkit dari duduknya. Di saat dia terus menangis menjerit, dia ingat calon menantu kesayangannya.
"Ina.. Bentar! Ada yang ingin aku berikan padamu. Jangan sampai kamu kepikiran nantinya. Eno sudah menyiapkan ini semua untuk kamu. Simpanlah, buat bekal masa depan kamu kelak. Aku tahu, ini sangat menyakitkan. Semuanya juga masih berduka. Tapi, aku sekarang berhak untuk mendapatkan kebahagiaannya. Carilah masa depan kamu. Mulailah kehidupan baru kamu."
"Hiks.. Tante.." Ina memeluk tubuh Ibu Eno.
"Setiap kesedihan pasti ada kebahagiaan. Dan, kebahagiaan akan berubah menjadi kesedihan. Hari ini kamu pasti melangkah sangat berat untuk melupakan. Tapi, langkah yang kamu tuju salah. Kamu selalu melangkah ke belakang. Tanpa menatap masa depan yang sudah ada di depan mata masa depan yang ada di depan. Saat duri-duri menancap di kakiku. Ingatlah, jika tidak selamanya. kehidupan menuju bahaya akan indah." kata Ibu Eno. Dia melepaskan pelukannya. Memberikan kota berwarna merah berbentuk hati yang terlihat sedikit besar. Ina menggenggam erat pemberian itu. Dia tersenyum tipis. Memeluk, sambil memejamkan kedua matanya. Senyum tipis terukir di bibirnya.
"Makasih Eno." kata Ina lirih.