"Bu, aku boleh pergi sebentar?" Ina mencoba bertanya pada Ratih yang sedang sibuk mengoles selai di roti yang berada dalam genggamannya.
"Memangnya kamu mau pergi kemana?" Ratih melirik menatap anaknya Ina yang mulai melangkah mendekati dirinya.
Keesokan harinya. Ina sudah bersiap untuk pergi ke pantai. Tepat jam 8 pagi. Dia bahkan tadi bangun lebih awal. penampilannya kini terlihat sangat biasa. Hanya dengan celana jeans panjang. Dan, kaos yang sedikit kebesaran. Dan sepatu berwarna putih yang sedikit tinggi. Dia
Ina mengatupkan bibirnya. Dia mengedipkan kedua matanya Bertingkah seperti anak kecil yang lagi marah.
"Kamu mau pergi kemana," Ratih mengusap lengan Ina.
Ratu menarik kedua sudut bibirnya. Mengukirkan senyuman tipis. Kedua mata ikut menyipit. "Pergi ke pantai, Bu. Lagian aku mau pergi ke kita dua hari lagi jadi kau harus pamit pada Eno. Aku tidak mau jika Eno nanti mencariku." kata Ina.
Tatih menggelengkan kepalanya. Dia berdecak kesal. "Ina.. Ina. Mau sampai kapan kamu sadar. Eno sudah tidak ada, kenapa kamu selalu berharap jika dia masih ada. Jika kamu di kita. Aku tidak mau jika kamu terus ke pantai." ucap Ratih.
Ina terdiam sesaat. Dia berusaha untuk bangkit namun dirinya masih belum bisa sepenuhnya bangkit. Bayangan Eno masih melekat di otaknya.
"Ibu, tolong ngertiin Ina. Ina tahu Ina salah. Tapi, tolong. Ina tidak punya pilihan lagi. Ina hanya ingin ke pantai hanya untuk mengenang Eno. Ina sudah berusaha untuk tidak menangis. Tidak frustasi. Hanya saja kenangan Eno masih belum bisa Ina lupakan begitu saja." Ina berusaha menyakinkan ibunya. Dia menarik napasnya dalam-dalam, menahannya sejenak, perlahan ia keluarkan melalui sela-sela bibirnya yang setengah terbuka.
"Ina akan berusaha tidak akan sedih lagi. Ibu jangan khawatirkan Ina. Ina bisa jaga diri. Ina bisa kok berusaha untuk tetap tenang. Tidak akan melakukan hal nekat apapun hanya karena kehilangan seseorang. Ina masih punya iman yang kuat."
"Ina, ibu tahu. Tapi ibu tidak mau kamu terus larut dalam kesedihan. Ibu melihat kamu seperti itu. Hati ibu terasa sakit. Ibu merasa tak bisa menenangkanmu." Ratih meletakkan roti yang sudah di oles selai coklat di atas piring kecil. Dia fokus menatap ke arah anaknya.
"Duduklah dulu." Ratih menarik Ina untuk duduk lebih dulu di depannya.
"Ibu, kemarin aku bertemu dengan laki-laki saat di pantai. Dia terus membawakan bunga untuk istrinya dan anaknya yang meninggal dalam kecelakaan pesawat itu. Kasihan sekali dia kehilangan dua orang yang disayanginya. Yank aku sakit darinya Dia berusaha tegar di depan orang Bahkan aku melihat dia di pantai tidak menangis sama sekali. Padahal aku mengerti perasaannya pasti sangat hancur." Ina mulai menceritakan apa yang dilihatnya di pantai. Ina selalu jujur pada Ratih. Siapapun masalahnya dia selalu cerita pada Ibunya. Bagi Ina, ibu adalah teman curhat terbaik yang dia miliki saat ini. Ibunya juga yang selalu menenangkanku saat dia berantem dengan Eno. Dan, sekarang saat dia benar-benar kehilangan Eno untuk selamanya. Bahkan di saat hari pernikahannya. Dan, semua tidak sesuai dengan harapannya. Pernikahan batal. Dia juga harus menanggung malu. Dan, harus berduka. Bahkan dia tidak bisa melihat wajah Eno untuk terakhir kalinya.
Eno tidak di temukan sampai sekarang. Entah dia masih hidup atau tidak.
"Kasihan sekali dia. Apa dia juga orang sini." tanya Ibunya.
"Sepertinya bukan ma. Dia dari kita seberang. Mungkin dia disini hanya ingin mengenang istrinya." kata Ina.
"Ya, sudah kamu pergilah ke sana. Kamu bersama Vian ya. Aku tidak mau jika kamu kenapa-napa nantinya."
"Ibu... Aku bisa pergi sendiri." kesal Ina, mengerutkan bibirnya beberapa senti. Dia menghela napasnya kesal.
"Ina, ibu itu khawatir sama kamu."
Ina memegang kedua pundak ibunya.
"Khawatir apa ibu. Kemarin-kemarin aku juga sendiri. Aku tidak membawa teman sama sekali. Tapi, aku pulang dengan keadaan masih utuh kan bu. Ibu tolong jangan khawatir. Aku baik-baik saja." Ina bangkit dari duduknya. Dia mengecup pipi kanan dan kiri Ibunya, tak lupa kedua matanya melirik roti di atas piring.
Ina mengambilnya. Dan segera membalikkan badannya berjalan dengan langkah cepatnya.
"Ibu aku berangkat, rotinya aku ambil aku lapar." ucap Ina mengeraskan nada suaranya.
Ratih menggelengkan kepalanya. Dia tersenyum tipis melihat tingkah Ina yang masih sama saja seperti saat dia masih sekolah dan terburu-buru karena telat. Dia makan roti sambil jalan. Ratih mengingat kenangan masa remaja Ina. Dia tersenyum tipis merasa sangat merindukan masa itu.
**
Ina segera membawa mobil dia pergi menuju ke pantai. Ina gak lupa membeli bunga dulu di penjual bunga buket pinggir jalan. Ina menghentikan mobilnya, dan langsung mengambil bunga yang sama persis seperti waktu itu Eno belikan padanya. Ina tersenyum tipis memandangi bunga itu. Dia melihat bayangan wajah Eno dalam bunga itu.
"Eno?" ucap Ina lirih. Dia berusaha menahan air matanya. Dia teringat saat Eno pulang kerja dia datang ke rumah memberinya kejutan. Dan tak lupa memberinya bunga buket ini. Setiap saat Eno memberinya bunga. Eno tahu jika dirinya sangat suka bunga. Setiap bertemu Eno selalu mengatakannya bunga.
Melihat bunga seolah melihat Eno ada di dalamnya. Ina mengangkat kepalanya ke atas. Sia memejamkan kedua matanya. Ina berusaha untuk menahan air matanya.
Ina, kamu kuat. Jangan nangis. ina kamu pasti bisa berbaur dengan kenangan bersama Eno. Jangan terus terpuruk dalam kesedihan.
"Bu saya ambil ini, berapa harganya?" tanya Ina.
"150 ribu mbak."
"Ini uangnya, makasih!" ucap Ina. Dia segera pergi dari toko itu. Dan, kembali masuk ke dalam mobilnya. Ina meletakkan buket bunga itu di jok samping mobilnya. Dia mulai melanjutkan perjalanan menuju ke pantai.
Hanya 20 menit perjalanan menuju ke pantai. Ina segera turun dari mobilnya. Dia berjalan pelan menginjakkan sepatunya di pasir putih pantai. Tak lupa Ina memakai kaca mata yang dari tadi di atas kepalanya.
"Ina, kamu siap. Kamu pasti siap." kata Ina. Menguatkan dirinya sendiri.
"Ina, apa yang kamu lakukan disini." suara Vian seketika mengejutkan Ina. Dia menoleh ke belakang. Menatap Vian membawa bunga juga datang ke pantai. Mereka tidak janjian tapi datang bersamaan ke tempat yang sama.
"Kamu disini juga," tanya Ina.
"Iya, aku baru datang kesini. Aku juga ingin memberikan bunga pada Eno. Dia sahabat aku. Aku bahkan baru menjenguknya. Aku baru pulang kamu tahu sendiri. Aku langsung ke rumah kamu. Dan, sekarang aku ingin melihat pantai.
"Kamu sudah melihatnya. Dan, disini Eno mengalami kecelakaan pantai ini. Di tengah pantai ini. Mereka tidak bisa menemukan Eno. Bahkan hanya ada 3 orang yang tak bisa di temukan. Berita itu sampai sekarang masih ada di televisi. Aku malas sekali membuka tv. Aku malas melihat berita itu. Aku merasa marah, aku kesal, jika tahu mereka tidak bisa menemukan jasad Eno. Padahal aku ingin sekali melihatnya untuk yang terakhir kalinya jika memang dia tidak ada." ucap Ina panjang lebar. Dia tanpa sengaja menceritakan masalahnya pada Vian.
"Iya, aku tahu. Aku selalu mengikuti beritanya. Bahkan hanya barang-barang Eno yang ditemukan itu terlahir berita kemarin sekitar 4 hari lalu. Ponselnya dan kopernya Bahkan dia juga membawa kita merah, berisikan emas, gelang, dan cincin. Sepertinya itu yang akan dia berikan pada kamu di hari pernikahan. Ada juga Beberapa gram emas. Dan, juga terakhir. Dia membawa cincin berlian. Semuanya sudah ditemukan. Tetapi, semuanya masih diselidiki lebih lanjut. Semua itu ditemukan di tas Eno.
"Apa benar yang kamu katakan?" terus isi koper Eno gimana? Apa sudah dibuka? Dan, barang-barangnya gimana? Apa sudah diberikan pada pihak keluarga."
"Sepertinya belum. Baru beberapa hari kan. Semua masih di sana. Jika tidak besoknya lusa. Mereka memberikan semuanya pada pihak keluarga.
"Kapan kita berangkat ke Kita seberang?" tanya Ina.
"2 hari lagi. Memangnya kenapa?" tanya Vian.
"Jam berapa?"
"Kita berangkat sore. Soal kos sudah aku carikan kos yang sangat aman untuk kamu. Dekat dengan kerjaan. Dan, kos di dalamnya juga sangat bagus. Kamarnya juga luas. Cocok buat kamu."
"Kebetulan sore. Aku mau kamu temani aku pergi ke rumah Eno. Aku ingin melihat barang-barang Eno. Aku yakin jika Eno menyimpan sesuatu dalam tas kopernya." kata Ina.
"Baiklah! Aku akan temani kamu ke rumah Eno besok pagi jam 7." ucap Vian.
"Siap." jawab Ina penuh semangat.