Ina dengan tampilan rambut sederhana. Dia hanya pakai jepit biasa untuk mengikat rambutnya. Dia berjalan dengan santainya keluar dari kamar. Ina menarik napasnya dalam-dalam. Pikirannya masih dipenuhi dengan Eno. Apalagi saat tahu sahabatnya datang. Seolah mengingatkan semua kenangan bersama. Saat jalan-jalan bersama. Merasa sedikit tenang, Ina berjalan turun dari lantai dua menuju ke ruang tamu dengan langkah cepatnya.
Ina melayangkan senyuman tipis pada Vian yang duduk di sofa ruang tamu. Ternyata Ibu Ina sudah memberikan minuman padanya.
"Vian, boleh tanya?" Ina langsung memulai pembicaraan lebih dulu.
"Tanya apa?" Ina duduk di depan Vian. Mereka saling menatap. Wajah Vian terlihat datar. Dia tahu temannya itu pasti masih sangat sedih. Hanya saja dia menyembunyikan kesedihannya dibalik senyum palsunya.
"Apa ada kata terakhir dari Eno. Atau, sebelumnya Eno bilang sesuatu padamu, Kamu kan dekat dengannya. Kamu sering ke rumahnya." ucap Ina.
Senyum yang semula terlihat manis. Raut wajah Ina terlihat murung. Dia memainkan bibirnya. Menahan air mata yang sudah berdemo ingin keluar.
"Bukanya kamu yang lebih sering bersama dengannya." jawab Vian.
"Aku tidak tahu, aku bingung dia bahkan tidak bilang apapun jika dia mau kembali ke sini. Bahkan kamu mau nikah sama dia saja aku tidak tahu. Dia belum memberi tahuku" jelas Vian.
Ina memicingkan matanya. Dia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Vian. "Gimana bisa dia ngabarin kamu? Kamu teman baiknya."
"Kamu juga gak ngabarin aku. Kamu juga temanku."
"Aku kira Eno sudah ngabarin kamu duluan kalau kita mau nikah. Tapi, ya sudahlah! Lagian semuanya hanya mimpi. Pernikahan itu tidak pernah terjadi." Ina tersenyum paksa.
"Ya, mungkin Eno mengira jika aku tidak akan pulang jika kalian menikah."
"Tapi, memang benar, kan?" canda Ina.
"Apa kamu gak lihat sekarang aku disini."
"Kamu makan gak?"
"Gak usah! Kali ini aku udah kenyang."
"Kamu yakin?"
"Iya, baru saja pulang dari restoran."
"Sekarang gitu kerja di kota. Makanya di restoran. Gak mau di pinggir jalan lagi?" Goda Ina, dia bangkit dari duduknya. Dan, duduk di samping Vian.
"Eh.. Jangan-jangan kamu punya pacar sekarang?" Ina menaik turunkan alisnya bersamaan. Tersenyum menggoda Vian, sembari memukul lengan tangannya.
"Ngaku!"
"Nggak!"
"Seorang Vian tidak punya pacar? Tidak mungkin."
Tak lama ibu Ina berjalan menghampiri mereka. "Lagi ngobrol apa?" tanya Ibu Jan.
"Cuma bilang tentang pekerjaan Vian bu." jawab Ina.
"Sudah, ayo kita semua makan. Hari ini aku masak enak. Jadi, jangan menolak untuk tidak makan. Ayo makan semuanya." pinta Mama Ina.
"Maaf tante. Bukanya gak mau. Tapi, saya sudah makan tadi." ucap Vian dengan nada lirihnya.
"Yah, tante sudah masak banyak."
"Ayolah!" ajak Ina.
"Tapi, beneran aku sudah makan." ucap Vian terus menolak. "Aku sudah kenyang Ina. Gak baik juga sudah kenyang makan lagi." lanjutnya.
"Ya, sudah!"
"Bu, sudah nanti saja. Vian sudah makan." ucap Ina.
"Ya, sudah. Aku tutup dulu." ucap Ratih Ibu Ina.
"Iya, bu." Bu Ratih segera pergi meninggalkan Ina dan Vian sendiri.
Vian menatap ke arah Ina.
"Oh, ya! Ina. Sebenarnya aku datang kesini sekalian mau ajak kamu ke kota seberang. Bukanya kamu ingin bekerja di kota." ucap Vian
"Ibu kamu tadi juga bilang kamu ingin pergi ke kota. Apa kamu sudah dapat pekerjaan disana?"
"Belum, sih. Aku baru ingin cari kerja di kota."
"Aku punya teman di kota nanti. Kamu bisa kenalan sama dia. Di tempat dia ada lowongan pekerjaan. Jika kamu mau ikut dua hari lagi aku kembali. Aku mah pesan tiket pesawat dulu." Vian terlihat antusias untuk ajak temannya ke kota. Dia berharap Ina bisa melupakan Eno.
"Baiklah! Aku kau ikut, selama dua hari. Aku ingin pergi ke laut sebelum berangkat. Aku ingin berpamitan sama Eno nanti. Aku tidak mau dia mencariku disini.
Vian seketika terdiam. Dia bergumam dalam hatinya. Dia benar belum bisa melupakan Eno. Dia menganggap Eno masih ada.
"Ina, apa aku tak salah dengar. Eno sudah tidak ada. Dia tidak mungkin juga mencari kamu." jelas Vian. Dia memegang kedua lengan Ina. "Sadarlah, jangan seperti ini. Apa yang kamu harapkan tidak ada lagi. Sekarang mulailah hidup baru Ina."
Ina tertunduk, dia menangis terisak isak.
"Hiks.. Aku tidak bisa, aku berusaha melupakan tapi aku tak bisa." kata Ina dengan suara sedikit serak.
"Ina, kamu pasti bisa." tegas Vian.
"Aku tadi sudah coba biasa saja. Tapi, saat aku melihat kamu terlalu lama. Aku mulai ingat lagi saat kita bertiga makan bersama. Bercanda bersama. Dan, waktu begitu cepat mengambilnya." ucap Ina suara isakan tangis tak terdengar. d**a Ina terasa sesak. Dia hanya diam, tapi air mata terus menetes membasahi pipinya.
"Jadi salah aku datang hari ini? Baiklah aku akan pergi." kata Vian. Dia bangkit dari duduknya. Soal pekerjaan. Nanti, jika kamu sudah siap. Kamu hubungi aku. Kamu harus mulai melupakan Eno. Dan, mulailah hidup baru."
Vian berjalan pelan mendekati Ina. Menepuk kedua pundaknya. "Kematian Eno takdir. Jatuhnya pesawat juga tidak ada yang tahu. Semuanya takdir. Setelah kita pergi ke kota seberang. Semoga kamu bisa melupakan Eno dan mulai hidup baru disana." jelas Vian, dia tidak mau jika temannya Ina terus terpuruk karena cintanya sangat besar pada Eno. Dia memang sangat tampan, pintar, romantis, dia juga tidak pernah marah, selalu memanjakan Ina seperti ratu. Pantas saja, Ina tidak bisa melupakan dia.
Vian mengusap air mata di ke bawah mata Ina dengan dua ibu jarinya.
"Sudah, jangan sedih. Sekarang aku pulang dulu. Kamu jangan sedih lagi. Jika siap berangkat dua hari lagi. Hubungi aku." pinta Vian, dia tersenyum tipis pada Ina, mengangkat tangan kanannya. Mengusap ujung kepala Ina, mengusap rambutnya hingga berantakan.
"Makasih!" kata Ina.
"untuk apa?"
"Sudah mengingatkanku."
"Iya, sama-sama. Jaga diri. Bye.. Aku pergi." Vian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Ina. Wanita itu masih duduk di sofa menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menangis tersedu-sedu.
Ratih yang tahu hal itu. Dia segera memeluk Ina dari belakang. Meletakkan kepalanya di dadanya. Sembari mengusap lembut rambutnya. "Ada apa Ina, kenapa kamu terus saja menangis. Ikhlaskan saja." ucap Ina.
"Ina membuka kedua tangannya. Wajahnya penuh dengan peluh air mata.
"Aku belum bisa ibu. Kenapa sulit sekali aku melupakan Eno. Padahal kemarin aku bisa. Tapi sekarang aku teringat lagi tentangnya."
"Ina.. Sadarlah, Eno tidak akan mungkin kembali. Jadi sudah lupakan semuanya dan mulailah hidup baru. Jangan terpuruk dengan masa lalu. Kamu juga punya masa depan. Rumah masa depan kamu. Ini saatnya kamu mulai melupakan sedikit demi sedikit." ucap Ibunya dia terus membelai rambut ratih.
"Iya, tapi ma. Pusing banget kepalaku. Tiap hari aku mencoba menghilangkan semua tentangnya.
"Ina, meski kamu melupakannya. Eno akan tetap tertanam di hatimu. Jadi tenang, kamu tidak akan pernah melupakan tentang perasaannya. Tapi sekarang jangan lagi memikirkannya." Ratih memeluk anaknya sangat erat. Sembari terus mengusap bahunya.
"Bu apa aku benar bisa melupakan dia seutuhnya?"
"Ibu yakin kamu bisa, jika kelak kamu jatuh cinta dengan laki-laki lain. Kamu pasti akan melupakan semua tentang Eno." jelas ibunya.