Mengenang

1361 Kata
"Ma... Ina harap mama juga mengijinkan aku pergi, ya. Ina mohon pada mama." Ina berlutut di depan mamanya. Memegang kedua tangan mamanya. Mengevup punggung tangannya bekali-kali. Ina tidak akan pernah berhenti berlutut jika belum bisa dapat kata 'iya' dari mamanya. "Ina... Berdirilah!" pinta mamanya. "Enggak! Aku akan tetap berlutut sampai mama mengijinkan Ina pergi." Ratih hanya bisa menghela napasnya. Dengan terpaksa dan berarti hati, dia harus mengikhlaskan anaknya untuk pergi dari keluarganya. Apalagi di kota orang, dia belum kenal siapa-siapa. Dia masih sangat khawatir padanya. Meski berat, Ratih mencoba untuk menggantikan kepalanya hanya satu kali. "Beneran, ma? Boleh?" tanya Ina memastikan. Dia beranjak duduk di Sofa samping mamanya. "Iya.. Tapi, Tidak boleh buat masalah disana. Dam, jangan membuat ke dua orang tua kamu khawatir disini. Kamu harus selalu kirim pesan atau bahkan telfon setiap hatinya." "Oke... Siap ma!" ucap Ina. Wajah yang semula murung an sedih. Dalam hitungan detik kembali ceria lagi. "Makasih ya, ma!" Ina memeluk erat tubuh Mamanya. "Iya.. Iya..." jawab Ratih, membelai rambut panjang sepunggung milik Ina. *** Setelah berbicara banyak dengan ke dua orang tuanya tadi. Ina kembali ke kamarnya. Dia merasa sangat bahagia. Meski di hatinya sangat berat untuk pergi. Melupakan semua kenangan bersama dia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mungkin butuh waktu seumur hidup untuk bisa melupakan semuanya. "Eno,, Terima kasih. Kamu telah mengajarkan aku gunakan rasanya kehilangan. Sakit... Benar-benar sangat sakit. Kecewa, rasanya ingin menyudahi semuanya. Tapi... Aku sadar.. Memutuskan pernah menginginkan itu.." "Eno... Bahagialah di sana. Aku disini akan selalu ada untuk selalu berdoa padamu." Ina membaringkan tubuhnya. Menatap atap langit kamarnya. Entah sampai kapan, air mata ini berhenti. Sampai ada yang bisa membangkitkan semangat dia untuk hidup. Atau hanya untuk memberikan sebuah cinta yang pernah hilang dari hatinya. Ina terdiam sejenak. Dia tertegun mengingat kembali laki-laki tampan dan gagah yang pernah di temuinya di pantai tadi. "Siapa nama laki-laki itu tadi? Kenapa aku tidak mengingatnya? Apa dia juga punya keluarga yang berada di dalam kecelakaan pesawat itu?" Ina bangkit dari panjangnya. Dia duduk, mengusap wajahnya dnegan telapak tangannya dua kali. Dia menghela napasnya. Mencoba mengingat kembali. Sudah beberapa kali melihat dia dari jauh. Entah siapa dia, dari mana asalnya. "Siapa sebenarnya laki-laki itu? kenapa dia bisa membuat aku percaya setiap ucapannya. Dan, sekarang. Aku merasa apa yang di katakan laki-laki itu benar." Ina mengingat kembali laki-laki yang tiba-tiba datang dan menasehati dirinya. Hmm... Sepertinya aku belum pernah sama sekali melihat laki-laki itu disini. Apa dia dari kota lain? Dari penampilannya juga lebih keren. Dan, sepertinya dia orang kantoran." Ina duduk mengingat ingat kembali. Gimana saat dia memakai kaca mata hitam. Wajah yang begitu tampan. tiba-tiba memberikan harapan baru pada kehidupannya. Semula Ina hanya pasrah dengan keadaan. Hatinya mulai mati. Dia tidak bisa jika kehilangan Eno. Hati dan pikirannya di buatkan akan cintanya padanya. Jika dia selaku berat melepaskan Eno. Maka Eni juga tidak akan tenang disana. Sekarang, aku mengaitkan Eno tenang di alam sana. Semoga dia bahagia. Dengan bidadari pilihan untuknya. Ina menghela napasnya. Ina terdiam di kamarnya. Mencoba menghilangkan rasa sesak pada dirinya. Saat dia menatap semua foto Eno dan dirinya yang masih terpampang jelas. Menempel di dindingnya. Dan di atas mejanya. Foto yang masih lengkap, belum juga di album foto yang mereka miliki. Semua tertata rapi. bahkan kisah mereka juga ikut tertata dnegan sangat rapinya. Mereka tidak bisa dihilangkan begitu saja. Beberapa tahun pacaran. Dan, berujung pernikahan. Hingga maut memisahkan mereka untuk selama-lamanya. Ina tersenyum tipis. Bangkit dari duduknya. Dan, mulai melangkahkan kakinya dengan langkah dangat berat. Dia berjalan menyentuh setiap foto satu persatu. Mencoba mengingat kembali di saat mereka masih bersama. Di mana kisah mereka selalu ada di bayangannya. "Angelina.. Sini... Kita foto bersama." ucap Eno menarik tangan Ina, dan mulai melakukan berbagai pose dengannya. Dari pose lucu hingga imut. Ina tidak peenah bergenti terus tersenyum tipis. Saat dia mulai mengingat kembali kenangan itu. Dia kembali berjalan lagi, melihat foto mereka saat masih belasan tahun di sebuah kantin sekolah. "Ina... Ini apa?" Eno menunjuk tepat di rambut Ina. Ina segera mengusap rambutnya. Dan tidak apa-apa di sana. "Apaan, sih. Gak ada apa-apa." "Ini." Ini mengetuk tahu Ina. "Eno,.." Bayangkan percakapan itu masih tersimpan jelas di memori otaknya. Seakan sudah terukir selalu di memori otaknya. Ina berjalan lagi, dia meraih beberapa pigora di atas meja riasnya. Dan, di samping rahangnya. Lalu beranjak duduk di ranjang putih miliknya. Memeluk dua pigora tak begitu besar itu. Dia foto yang berbeda. Di mana saat Eno bersamanya. Bercanda berdua. Di setiap senyumnya. Membuat dirinya merasa bahagia. "Ina.. Ina... Cepat kemari..." "Ada apa?" tanya Ina. Jenis mengecil pipi Ina. "Hanya kasih kejutan kecil." goda Eno.. Mencubit ke dua pipi Ina gemas. "Eno..." Wajah Ina memerah malu. Memalingkan wajahnya. "Ina.. Apakah kita akan selaku bersama hidup bahagia seperti ini terus?" tanya Eno, memegang kedua tangan Ina mengusap lembut punggung tangannya. "Entahlah! Tapi, ku berusaha semaksimal mungkin jadi yang terbaik sampai kita menikah." "Iya.. Kita akan menikah, tapi kecuali maut yang memisahkan kita" Eno terdiam tertunduk seakan berat mengatakan hal itu. Wajah penuh senyuman itu hilang dalam hitungan detik. "Maksud kamu?" Ina menatap wajah Eno. "Lupakan! Kita makan di kantin, yuk." Eno merangkul pundak ina. Mencubit hidung mungil Ina berkali-kali ** "Eno.. Kisah kita masih mengantuk pikiranku. Kenangan indah bersama, percakapan kuta, aku masih ingat. Apa kamu kamu juga ingat semuanya? Apa kamu ingat jika kita pernah janji untuk bersama dan menikah lalu punya anak berdua?" Ina berbicara pada foto di depannya. Tawa, tangis, senyum berbagai ekspresi ada di wajah Ina. Saat dia mengingat semuanya. "Eno... Mungkin, kita tidak akan pernah tahu kapan cinta kita mulai berakhir. Tapi, bagiku sekarang. Cinta kita belum berakhir. Karena kamu masih ada di hatiku. Meski kamu tidak ada di depanku." Ina menyentuh foto Eno. Dan mulai membayangkan gimana saat Eno perhatian dengannya. Dia selalu merawatnya. Menjaganya, selalu ada saat dia butuh. Ina menjatuhkan tubuhnya, menatap atap langitnya ke sekian kalinya. Mengangkat tangan kanannya, ke dua mata tertuju pada punggung tangannya. Harapannya semakin menajam, seakan memberikan energi padanya. Sebuah cincin di jari nasibnya masih tersimpan jelas. Dia, tidak mau melepaskannya sama sekali. Seakan sangat berat jika harus membuang semua kenangan tentang dia. Ina mulai membayangkan lagi kesekian kali kisah mereka. "Eno.. Kamu pasti ingat gimana saat aku merengek minta ke taman bermain." Ina tersenyum tipis. ** "Ina... Apa yang kamu lakukan?" tanya Eno. "Eno. Temani aku!" Ina mengerutkan bibirnya. "Memangnya kamu takut apa, sayang." Eno, mengusap lembut ujung kepala Ina, manja. "Hmmm.. Temani aku ke taman bermain." "Dasar! Otak anak kecil." "Ayolah...." rayu Ina memohon mengedip-ngedipkan matanya berkali-kali. "Iya.. Iya.. Baiklah! Jangan memohon seperti itu. Aku tidak kuat melihatnya.," "Hehe... Baiklah, sayangku!" Ina tersenyum menunjukan gigi putihnya." Tok.. Tok... Tok.. "Ina.. Kamu di dalam?" suara Ratih mengejutkan Ina. Dia segera menghapus air mata yang entah sejak kapan keluar membasahi pipinya. Ina beranjak dari ranjang nya. Dan segera membalikkan foto Eno di atas mejanya. "Iya.. Ma, ada apa?" teriak Ina. Dia sendiri di depan cermin melihat kantong matanya, masih terlihat sama. Setidaknya tidak terlalu parah dia menabur sampai matanya memerah. Kali ini hanya sejenak mengingat semuanya. Air mata jadi sakit hidupku lukaku sekarang. "Ina... Keluar sebentar, nak. Mama mau bicara." ucap Ratih terus mengetuk pintu kamar Ina. "Bicara apa, ma?" Ina segera melangkahkan kakinya. Dia sendiri di balik pintu. Menarik napasnya dalam-dalam. Mengeluarkan secara perlahan. Tangan kanan Ina memegang kop pintu, begitu beratnya memutar. Meski terpaksa dia harus bicara dengan mamanya. Ina membuka pintunya. Mencoba tersenyum paksa di depannya. "Ada apa, ma?" tanya Ina lemas. "Kamu tidur?" tanya Ratih. Menyentuh rambut Ina yang berantakan. "Iya.. Ma, aku capek. Pikiran aku yang capek, aku ingin istirahat sebentar." "Tapi... Ada tamu di luar!" ucap Ratih. "Tamu? Siapa?" Ina membalikkan matanya sempurna. "Sepertinya teman kamu dulu." kata Ratih. "Teman?" Ina melangkah beberapa langkah keluar dari kamarnya. Menutup kembali pintu kamarnya. Ke dua bola matanya memutar mengingat kembali masal laju. Dari beberapa temannya, sampai teman Eno. Ada satu orang yang sangat akrab dengannya. Vian, iya dia adalah sahabat baik Eno. Dan sahabatnya juga. "Baiklah! Ina akan segera keluar!" ucap Ina. "Iya.. Cepatlah, kamu sudah ditunggu dia." "Iya.. Ma!" Ina kembali masuk ke dalam kamarnya. Dengan segera dia merapikan rambutnya. Meski tidak telah yakin jika itu dia. Ina mencoba untuk tetap menemuinya. Lagian yang dia cari adalah dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN