Mama.

1006 Kata
Seorang gadis dengan rambut sebahu berlari terengah-engah sambil sesekali menengok ke belakang. Tampak dari jarak yang cukup jauh, dua orang pria berbadan kekar dengan stelan jas dan kaos hitam sedang mengejarnya. "Berhenti," teriak keduanya saling bergantian. Napas mereka pun tampak tersengal. Mengejar gadis bertubuh mungil dan gesit cukup menyusahkan bagi mereka. Namun mau tak mau, mereka tetap harus menangkap gadis itu. Sebab, pekerjaan merekalah taruhannya. Langkah gadis itu sedikit lambat karena beban di bahunya. Ya, dia membawa sebuah ransel hitam yang terlihat cukup besar. Seperti seseorang yang sedang kabur dari rumah. Karena merasa kejaran dua orang tadi semakin mendekat, ia menarik topinya lebih dalam, kemudian menutup kepala dengan kupluk dari Hoodie yang ia kenakan. Setelah cukup lama berlari, ia tiba di sebuah persimpangan. Bingung hendak melanjutkan langkah ke arah mana. Sesaat pandangannya seolah menemukan sebuah tempat yang layak untuk bersembunyi. Dengan segera ia menuju tempat tersebut. Sembari menahan napas karena tempat yang berdebu, takut-takut kalau debu akan masuk ke rongga hidungnya dan membuatnya bersin-bersin, ia memantau keadaan sekitar dari celah yang ia gunakan untuk bersembunyi. Kedua lelaki bertubuh besar tadi berhenti tepat ditempat ia bersembunyi. Dengan perasaan tak karuan, ia menahan napas sembari berharap supaya tak tertangkap oleh kedua orang itu. "Ke mana larinya dia. Cepet banget," ucap salah seorang dari mereka yang bernama Beni. Sedang salah satu dari mereka tengah mengatur napas sembari menumpu pada kedua lututnya. "Kayaknya dia masih di sekitar sini. Sembunyi paling." Pria bernama Jojo itu menerka-nerka. Keduanya memperhatikan daerah sekitar yang terlihat tak begitu ramai karena masih ada beberapa orang yang terlihat berjalan kaki di sekitar tempat itu. Pandangan mereka tertuju pada sebuah tempat, lebih tepatnya tumpukan kayu yang disandarkan, dan ada beberapa tumpuk barang lain di atasnya. "Sstt." Jojo memberikan kode pada Beni dengan matanya. Menunjuk sebuah tempat yang ia curigai menjadi tempat bersembunyi gadis itu. Merasa sepakat dengan Jojo, Beni tersenyum miring. Kemudian mereka berjalan mendekat ke arah tempat yang mereka curigai. Sang gadis yang bisa menyaksikan bahwa keduanya semakin mendekat, hanya bisa memejamkan matanya dengan penuh harap, agar ia tak ketahuan. Semakin lama langkah Jojo dan Beni semakin dekat. Jantung gadis itupun semakin bertalu tak karuan. "Mau ngapain, Bang?" Tiba-tiba seorang pria menegur Jojo dan juga Beni. "Eh, enggak, Bang. Cuma mau nyariin kucing, tadi kayanya lari ke arah sini," sanggah Jojo mencoba berkilah. Lelaki dengan mengenakan kaos putih dan celana training itu berjalan mendekat. "Ini barang-barang saya. Dan dari tadi saya tidak melihat ada kucing di sekitar sini," ujar pria itu menghadang di depan Jojo dan Beni. Keduanya menoleh ke sekitar. Sadar jika keduanya menjadi pusat perhatian, mau tidak mau mereka harus pergi sekarang. "Oh, maaf, Bang, berarti kita yang salah," ujar Beni yang segera menarik lengan Jojo menjauh. Setelah keduanya terlihat cukup jauh, sang gadis menghela napas lega. Masih di dalam tempat berdebu, membuat sedikit debu masuk dalam hidungnya. Sehingga membuat hidungnya gatal dan tiba-tiba.... "Haaacyim." Ia mengusap hidungnya yang terasa sangat gatal. Sementara pria pemilik tumpukan kayu itu, terkaget saat mendengar suara bersin yang cukup keras. Ia segera mengintip dari arah samping. "Loh?" Ekspresi bingung tergambar jelas dari wajahnya. Sementara sang gadis hanya tersenyum canggung seperti orang yang kepergok mencuri. Sembari menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tak gatal, ia lantas segera keluar dari tempat itu. "Maaf, Bang. Cuma numpang ngumpet," ujarnya sembari membersihkan pakaiannya dari debu yang menempel. "Ngapain sembunyi di situ?" tanya lelaki itu yang masih saja terlihat bingung. "Saya dikejar debt colector," bohongnya. "Oh, jadi dua orang tadi debt colector?" tanya sang pria sedikit tak percaya. Tapi jika dilihat dari modelnya, bisa saja kedua lelaki tadi merupakan debt colector. "Iya, Bang. Kalo gitu saya permisi dulu. Makasih, Bang." Enggan ditanya lebih banyak, gadis bernama Alea Bilqis itu segera pamit dan berlalu. Alea berjalan santai sambil sesekali memperhatikan keadaan sekitar. Takut-takut jika kedua orang suruhan Papahnya itu akan kembali dan menangkapnya. Setelah dirasanya cukup aman, Alea beristirahat sejenak untuk melepas penat. Sekarang, ia justru bingung hendak pergi ke mana. Bagaimana tidak? Ia kabur dari rumah tanpa persiapan apa pun. Sekarang yang ia pikirkan, ia harus secepatnya menemukan tempat tinggal. Entah itu kost-kostan atau apa pun itu. Yang terpenting, ia bisa gunakan untuk berteduh. Tapi, sejenak pikirannya kembali gamang. Ia yang selama ini terlalu dimanja dan bahkan sama sekali tidak pernah mandiri. Bagaimana mungkin sekarang justru melarikan diri? Ingin rasanya ia kembali ke rumah orang tuanya, namun egonya kembali menolak. Lebih baik begini dari pada harus menikah dengan orang yang tidak dia kenali. Alea kembali melanjutkan langkah. Pertama-tama, ia harus menemukan mesin ATM untuk melakukan tarik tunai. Mengingat uang di sakunya hanya tersisa selembar uang berwarna hijau. Ditambah saat ini, perutnya terasa benar-benar lapar. Cukup lama mencari, benda yang dicarinya akhirnya ketemu. Alea segera masuk dan hendak melakukan transaksi. Namun, hingga beberapa kali mencoba, kartunya ditolak oleh mesin tersebut. Bahkan saat ia mencoba melakukan transaksi dengan kartunya yang lain. "Ah, sial. Semua kartuku diblokir." Alea mengacak rambutnya. "Rupanya Papah gak main-main. Masa iya harus balik ke rumah. Malu lah," gerutunya seorang diri. "Sekarang aku harus gimana? Masa iya harus hidup terlunta-lunta?" Alea merasakan air matanya seperti mencoba menerobos pertahanan. Tapi, memalukan jika mengingat dirinya melarikan diri atas kemauannya sendiri, namun sekarang harus menangis meratapi nasib. Hendak meminta tolong, pada siapa? Sahabatnya satu-satunya sekarang ada di Luar Negeri sedang melanjutkan study. Tok tok tok. Pintu kaca ruangan persegi itu diketuk oleh seseorang dari luar. Sontak Alea kaget dan merasa dirinya sudah cukup lama di dalam ruangan ini. Akhirnya ia kembali menguatkan hati dan beranjak keluar. "Lama banget sih, Mbak. Nggak tau kalo antri?" Baru saja langkahnya keluar, seseorang ibu-ibu sudah mengomelinya. Alea hanya menganggukkan kepalanya, dan dengan segera melipir dan menjauh dari Omelan ibu-ibu. "Sial-sial hidup gue." Kembali Alea mengacak rambutnya. Tiba-tiba ada seseorang yang menarik ujung Hoodie yang ia kenakan. Alea sontak menoleh, namun tak menemukan siapa pun. Saat hendak kembali berbalik badan.... "Mama,' suara seorang bocah mengejutkannya. Alea sontak menoleh dan melihat ke arah bawah. Balita berusia sekitar tiga tahun tengah menggenggam ujung Hoodie yang ia pakai, lalu mulut kecilnya kembali berucap, "Mama." Sontak Alea melotot tak percaya mendengar panggilan balita itu padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN