"Bagaimana?" tanya seorang pria paruh baya yang tengah duduk di kursi kebesarannya. Ia bertanya pada dua orang bodyguard yang baru saja tiba dari pengejaran sang putri.
"Maaf, Tuan, kami kehilangan jejak Nona Alea," jawab lelaki bernama Beni dengan wajah takut-takut. Takut kalau-kalau sang bos akan murka.
"Hah." Pria paruh baya itu memijat pelipisnya yang terasa nyeri. "Dua orang mengejar satu orang bertubuh kecil saja tidak mampu," ujarnya dengan menatap dingin pada kedua anak buahnya.
"Ampun, Tuan."
"Justru karena tubuhnya kecil, Tuan. Larinya juga gesit," jawab Jojo yang langsung mendapatkan senggolan dari Beni. Pria itu seketika menutup mulutnya rapat-rapat.
"Bodoh. Teruskan pencarian," titah sang bos sambil mengibaskan tangannya tanda ia memberi izin pada dua anak buahnya untuk pergi.
Kedua pria itu mengambungkuk hormat, kemudian berjalan keluar dari ruang kerja bosnya.
Selang beberapa menit, setelah kepergian dua orang anak buahnya, seorang wanita anggun masuk ke dalam ruangannya sambil membawa secangkir kopi untuknya.
"Gimana, Pah?" tanyanya setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja. Kemudian mengusap bahu suaminya dengan lembut karena melihat suaminya yang tengah memijat pelipisnya.
"Belum ketemu, Mah," jawabnya gusar. Ia kemudian meraih cangkir kopi itu dan menyesapnya perlahan.
"Mama khawatir dengan keadaan Alea, Pah. Selama ini dia tidak pernah mandiri." Gurat khawatir tergambar jelas dari wajah ayunya.
"Kita tunggu beberapa hari lagi, Mah. Papa juga sudah memblokir kartu debit milik Alea. Kita lihat, sampai berapa lama dia bisa bertahan di dunia luar tanpa uang dari Papah."
"Justru itu, Pah, Mama semakin khawatir, bagaimana jika terjadi sesuatu pada Alea." Mata wanita itu mulai berkaca-kaca.
"Mama jangan khawatir. Papa akan mencoba menghubungi teman-teman Alea. Tidak mungkin anak manja itu akan terlunta-lunta di luar." Lelaki paruh baya itu berdiri kemudian mengusap bahu istrinya dengan lembut dan menariknya dalam pelukan, mencoba menenangkannya.
***
Alea yang sempat terkejut, segera bisa mengendalikan dirinya. Ia berjongkok untuk menyejajarkan tinggi mereka.
"Adik kecil, aku bukan Mamamu," ujarnya berusaha selembut mungkin. Pasalnya, ia selama ini adalah sosok wanita slengean dengan suaranya yang cempreng. Senyumnya pun dipaksakan semanis mungkin.
"Mama." Balita itu menggeleng cepat dan tetap dengan panggilannya, ia justru memeluk leher Alea dengan erat.
Alea berusaha dengan lembut melepaskan pelukan bocah itu. "Orang tua kamu di mana?" tanyanya, setelah pelukannya terlepas. Ia berusaha melihat sekeliling, mencari keberadaan keluarga si bocah.
Balita itu kembali menggeleng.
"Aduh, anak siapa ini? Apes beut dah nasib gue," keluhnya.
"Kita cariin keluarga kamu bareng-bareng ya," ajaknya lagi yang segera berdiri dan menggandeng tangan bocah itu.
"Na mau. Mau sama Mama." Bocah itu enggan melangkah, dan tetap bertahan di tempatnya.
"Ayo," paksa Alea lagi.
"Hua, Sean mau sama Mama," teriak balita yang ternyata bernama Sean itu kencang, hingga mereka menjadi pusat perhatian.
"Aduh, kok malah nangis." Alea mulai terlihat panik. Ia menggaruk-garuk tengkuk yang tak gatal dan berusaha menenangkan balita itu. Apalagi orang-orang di sekitar justru menatap aneh pada mereka.
"Hei, siapa kamu? Kamu mau menculik anak saya?" teriak seorang pria yang terlihat rapi dengan kemeja berwarna abu-abu. Dengan tergesa lelaki itu mendekat ke arah keduanya dan segera menarik lengan balita itu, dan mengangkatnya dalam gendongannya.
Alea yang terkejut, sempat terperanjat, kemudian segera berdiri. "Bu bukan." Ia melambaikan kedua tangannya mencoba menjelaskan.
"Banyak orang jahat dengan penampilan seperti kamu. Padahal sebenarnya pedagang manusia." Tatapannya dingin dengan segala tuduhan ia lontarkan untuk Alea.
Mata Alea membola saat mendengar tuduhan dari lelaki yang ia perkirakan adalah ayah Sean. "Bapak jangan asal nuduh. Bocah ini duluan yang mendekati saya." Mendengar tuduhan lelaki yang tidak dikenalnya, Alea seketika naik pitam. Ia berusaha membela diri.
"Ka...." Lelaki itu mengacungkan jari telunjuknya karena merasa tak terima dengan pembelaan diri Alea.
"Mama," panggil bocah itu yang seketika memutuskan ucapan si lelaki.
"Sean, dia bukan Mama." Dengan lembut lelaki itu mencoba menjelaskan.
Bocah bernama Sean itu menggeleng.
"Kan sudah saya bilang, dia yang mendekati saya lebih dulu." Alea kembali membela diri. Sementara lelaki itu hanya menatapnya tajam.
"Bisa jadi karena kamu yang sudah mengajarinya," tuduh pria berjas hitam itu lagi.
Alea semakin tak habis pikir, kenapa lelaki itu terus menerus menuduhnya. "Terserah," serunya ketus. "Emang Om gak kenal gimana anaknya, hah? Saya pergi, bye." Dengan cepat Alea berbalik dan hendak pergi.
Mendengar panggilan Alea terhadapnya, mata lelaki itu membola. "Emang saya setua itu?" gumamnya pelan.
"Hua, Mama." Sean menangis kencang saat melihat Alea menjauh. Sementara gadis itu mencoba untuk tidak peduli. Toh bocah itu sudah menemukan keluarganya.
Melihat Sean yang terus menangis, perasaan lelaki itu sedikit gamang.
"Tunggu." Mau tak mau, akhirnya ia memanggil Alea untuk kembali. Terpaksa ia menurunkan egonya kalau keadaan sudah seperti ini.
Mendengar panggilan itu, Alea membalikan badan. "Ada apa lagi, Tuan?" tanyanya dengan memutar bola matanya malas.
"Ikut saya sebentar," ajaknya dengan datar.
"Ke mana?" tak langsung menurut, Alea justru menyilangkan tangannya di depan d**a.
"Ikut saja." Ia berjalan terlebih dahulu yang mau tidak mau akhirnya diikuti juga oleh Alea.
Melihat sikap lelaki aneh itu, Alea menjadi sangat kesal. Ia bahkan mencibir sebagai tanda kesalnya.
Mereka masuk dalam sebuah restoran yang terdekat.
"Pesanlah dulu." Lelaki itu menyodorkan sebuah buku menu pada Alea.
"Nggak laper," tolak gadis itu ketus. Namun sedetik kemudian, terdengar suara nyaring dari perut Alea.
"Sayangnya perutmu nggak bisa bohong," ujarnya datar.
Dengan wajah sebal, Alea meraih kasar buku itu. Dengan terpaksa ia menerimanya. Perutnya tak tahan lagi. Ia memang lapar, ditambah sedang tak memiliki uang.
Setelah membaca deretan menu, ia memesan beberapa menu. Bukan tak tahu malu, hanya saja ia sengaja.
Waiters segera mencatat pesanan mereka. "Mohon di tunggu sebentar ya, Kak," ujarnya ramah.
Setelah kepergian waiters itu, sang lelaki menatap selidik pada Alea. Yang ditatap justru merasa risih.
"Siapa nama kamu?" tanyanya membuka suara.
"Alea," jawab gadis itu singkat. Ia bahkan enggan bersitatap dengan lelaki di hadapannya.
"Saya Azam, ayahnya Sean."
"Nggak nanya," ujar Alea ketus. Ia sudah terlanjur kesal. Dipilihnya untuk membuang muka, melihat ke arah lain sembari bertopang dagu.
Azam tak menanggapi. "Bagaimana Kamu bisa bertemu Sean?" Ia justru menanyakan hal lain.
Alea membuang napas kasar. Ia menurunkan tangannya, kemudian menatap pria di hadapannya. "Kan tadi saya sudah bilang, dia yang mendatangi saya duluan," jawabnya sembari menekan setiap ucapannya dengan bahasa yang putus asa.
"Benarkah itu, Sean?" tanyanya memastikan.
Sean yang sedang memegang sebuah mainan hanya mengangguk.
Melihat jawaban sang anak, ia membuang napas lelah. "Baiklah, saya minta maaf karena sudah menuduh kamu."
"Hemm," jawab Alea malas.
"Kalo boleh tahu, kenapa Sean bisa memanggilmu Mama?"
Alea hanya mengangkat bahunya acuh.
"Kamu bisa jawab dengan baik?" Lama kelamaan, ia kesal juga melihat sikap Alea.
"Saya tidak tahu, Tuan yang terhormat."
"Baiklah, setelah ini, saya akan mengantar kamu pulang. Kamu boleh kasih tahu alamat kamu."
Mendengar itu, Alea jadi gugup. Itu hal yang paling ia hindari, yaitu pulang. "Ti tidak perlu, Tuan."
"Tidak apa, anggap saja itu bentuk pertanggungjawaban saya." Azam memaksa.
Otak Alea berpikir keras. Alasan apa yang pantas ia berikan untuk pria di hadapannya ini. Sangat terlihat, jika lelaki itu adalah sosok pemaksa, menolak pun percuma.