Aku tidak bisa memasak karena memang tidak pernah belajar. Masakan yang bisa ku buat hanyalah masakan anak-anak kos berupa mi instan dan goreng telur saja. Bahkan kadang masak nasi pun seringnya terlalu lembek atau pun keras karena kurang air. Dari pada memasak yang membutuhkan banyak waktu, lebih baik aku memesan makanan saja via ojek online. Manajemen keuanganku masih di d******i ke persoalan konsumsi. Apa lagi kalau si Mbak sedang tidak datang ke apartemen karena terlalu sibuk di rumah Kak Lele, seharian aku hanya mengandalkan ojek online untuk mengantarkan makanan pesananku.
Sekarang, aku sedang menunggu ayam bakar Bulungan yang aku pesan barusan sembari membuka laptop untuk mengerjakan laporan yang tadi siang diberikan kembali oleh Pak Tama untuk aku revisi. Sebenarnya tidak banyak revisi yang aku kerjakan, aku hanya memperbaiki beberapa poin saja agar besok bisa aku kembalikan kembali ke Pak Tama. Selain itu, aku juga membuat laporan pengajuan pengeluaran untuk membeli hadiah untuk Pak Hartono dan istrinya. Tidak perlu yang terlalu mahal, namun berbekas dan dapat memberikan rasa senang serta dihargai sebagai klien.
Makananku datang, aku langsung buru-buru turun ke lantai dasar untuk mengambil makanan yang sudah ku pesan. Dan begitu aku naik kembali setelah mengambil makanan. Aku langsung memindahkan makanan tersebut ke piring dan makan di depan layar laptop yang masih terbuka. Aku membuka Youtube dan menikmati makan malam. Karena kalau hanya makan tanpa menyalakan apa-apa, rasanya sangat sepi sekali di apartemen yang sudah aku sewa tiga tahun belakangan ini.
Aku memang sudah tinggal sendiri dan jauh dari keluarga semenjak aku SMA. Aku memilih utuk bersekolah di Jakarta sementara keluarga ada di Bogor. Dan karena akalu pulang pergi dengan kereta itu melelahkan apa lagi di jam masuk kantor di mana semua orang tumpah di dalam kereta sampai berdesakan, akhirnya aku memutuskan untuk kos yang dekat dengan sekolah. Orang tuaku yang setengah hati melepas aku untuk hidup sendiri pun awalnya sempat ragu, namun Kak Lele yang meyakinkan mereka untuk melepasku sementara ia harus berkuliah di luar kota.
Maka dari itu, meski pun kakakku itu cukup menyebalkan, namun aku berhutang budi secara tidak langsung dengannya. Aku menyayangi dirinya yang memercayai diriku dulu, ia menganggap kalau aku bisa menjaga diri di tengah pergaulan yang tidak bisa ia pantau secara langsung.
Aku menikmati makan malamku tanpa menghabiskan separuh porsi ayam yang karena sudah terlalu kenyang. Sementara karedok yang tadi menjadi sayuran pendamping sudah habis tanpa tersisa. Aku menaruh sisa ayam ke dalam kulkas karena besok pagi bisa ku makan kembali karena Mbak bilang besok tidak dapat berkunjung karena anaknya sakit. Alhasil, besok aku harus memasak nasi sendiri dan berharap kalau nasi yang ku masak akan sukses. Aku bisa membawa bekal suwiran ayam bakar dengan sambal dan lalapan, itu saja sudah cukup untuk sarapan super berat untuk melewati hari.
Setelah mengamankan sisa ayam bakar, aku pun mencuci tangan dan kembali membuka laporan yang tadi belum selesai aku kerjakan. Aku segera mengerjakan semuanya meski pun harus tidur lebih larut asalkan besok aku bisa mendapatkan hasil dari revisiku yang mungkin saja, aku yakin sih sebenaranya, akan lolos. Dan jika laporanku lolos, sudah bisa dipastikan kalau Saka akan menghadapku dengan bibir yang ia tekuk karena iri. Aku tidak sabar melihat ekspresinya yang seperti itu, karena aku entah kenapa senang sekali menjahili Saka yang egonya masih sangat tinggi itu.
***
Ketukan pintu yang aku lakukan, disambut dengan suara Pak Tama yang ada di ruangannya.
“Iya, masuk.” Ujarnya.
Aku pun masuk ke ruangan Pak Tama dengan membawa kertas hasil print yang masih hangat karena baru saja aku print. Ketika hendak pergi ke ruangan Pak Tama, Saka terlihat mengamatiku. Aku bisa melihatnya dari ekor mataku sementara aku berjalan sambil tersenyum.
Begitu aku masuk, seperti biasa Pak Tama tidak mau repot-repot melihat siapa yang masuk ke ruangannya dan tetap melakukan aktivitasnya seperti tidak ada yang terjadi. Aku jadi penasaran, apakah memang sifat arogannya ini sudah sangat mendarah daging atau pun sifat Karen karena terlalu lama tinggal di luar negeri menjadikannya seperti ini? Pertanyaan itu hanya bisa berputar di kepalaku tanpa pernah bisa keluar.
“Pak, ini laporan revisi saya.” Ujarku sembari mengulurkan map transparan berisi hasil print laporan yang baru saja tercetak.
“Taruh aja di meja.” Katanya masih tidak menoleh.
“Baik, Pak. Terima kasih.” Aku pun kembali keluar ruangan tanpa mendengar apa-apa lagi dari orang yang lebih suka mengatakan hal-hal yang sangat penting dan menghindari basa-basi.
Sekeluarnya aku dari ruangan Pak Tama. Aura berat itu hilang dan aku bisa bernapas seperti biasanya kembali. Aku lantas kembali membuat print out untuk bagian keuangan dan aku lupa, bahwa aku harus kembali masuk ke ruangan Pak Tama untuk meminta tangan tanda persetujuan dari bosku itu untuk bisa meminta uang demi hadiah untuk Pak Hartono. Pagi tadi aku sudah berdiskusi dengan Mbak Aina tentang hadiah, dan kami sudah mencari-cari jam yang harganya sepadan untuk pengeluaran divisi kami ini. Mbak AIna juga sudah mengirimkan pesan w******p ke Pak Tama yang langsung ia setujui. Jam pulang nanti rencananya aku ingin melihat jam tersebut di Pacific Place sekalian makan malam denagn teman-temanku yang sudah ku suruh untuk jangan lembur.
Aku menghela napas dan menuju mejaku untuk kembali membuat print out. Mbak Aina yang kubikelnya berada di sebelahku, menggeser kursinya dan menatap layar komputerku.
“Ngapain lagi, Em?” Tanya Mbak Aina.
“Mau print buat di kasih ke orang keuangan, Mbak.” Jawabku.
“Oh tadi nggak sekalian?” tanya Mbak Aina lagi.
“Tadi aku lupa. Oh iya, Mbak, ini nanti aku kasih ke Bu Anes, ya?”
“Iya, nanti kasih ke Anes. Orangnya agak judes sih tapi memang kayak begitu, cuekin aja. Yang penting kamu udah kasih print out yang udah di tanda tanganin Pak Tama.”
Lagi-lagi aku harus berurusan dengan orang-orang yang seperti itu. Orang yang arogan karena mereka sudah memiliki jabatan yang baik. Inilah penyakit yang sulit sekali untuk dihindari oleh banyak orang. Mungkin ini yang dinamakan sebagai lupa daratan ketika kaki sudah berada di awang-awang. Masa bodoh lah, yang penting pekerjaanku selesai dengan baik.
Aku segara mengambil print out yang sudah selesai di mesin print besar di pojok ruangan dan kembali masuk ke ruangan Pak Tama setelah memberikan post it bergambar panah ke arah kolom yang ku buat untuk menampung tanda tangan Pak Tama. Aku kembali mengetuk pintu kaca yang kalau sudah tidak ada orangnya selalu di tutupi tirai plastik berwarna putih. Dan suara Pak Tama sekali lagi menjawab ketukan pintu itu dengan kata-kata yang sama.
Aku kembali masuk, namun kali ini dengan memegang kertas yang berbeda.
“Pak, saya minta tanda tangan untuk laporan ke bagian keuangan soal hadiah Pak Hartono.” Ujarku, yang kali ini membuat Pak Tama mengangkat kepalanya dan memandangku di balik kacamata berbingkai hitam yang ia kenakan.
“Kenapa nggak sekalian tadi? Lupa, ya?” Tanyanya yang langsung mengambil map plastik di tanganku dan mengeluarkan kertas dan ia mengambil pulpen yang berada di atas meja sembari membaca secara teliti laporan yang aku berikan tersebut.
“Lupa harus ditanda tangan.” Jawabku.
“Kan saya bilang jangan jadi orang pelupa terus.” Bom sindiran itu akhirnya ia lemparkan juga kepadaku.
Siapa juga yang ingin lupa? Biasanya aku tidak pernah sekikuk ini, biasanya aku taktis, cepat, dan tak ingin membuang-buang waktu dalam mengerjakan sesuatu agar aku bisa mengerjakan banyak hal dengan baik. Berbeda dengan sekarang ini yang membuang-buang waktu dalam mengerjakan sesuatu. Sungguh bukan aku yang seperti biasanya.
“Iya Pak, maaf.” Jawabku yang enggan berbasa-basi lebih lama.
“Silakan kamu ambil dua mapnya. Sudah saya cek, laporan kamu nggak ada yang perlu di revisi lagi dan yang ini sudah saya tanda tangan dan sudah saya kasih note juga. Kamu tinggal kasih ini ke Bu Anes.” Jelasnya panjang lebar namun teapat sasaran.
“Baik, Pak. Permisi.” Aku pun mengambil semua map yang ada di atas meja dan pergi meninggalkan ruangan Pak Tama dengan perasaan sedikit sebal.