SEBELAS : Sahabat itu ada di kala senang, juga ada di kala sedih.

1453 Kata
Love at first sight itu bullshit. Tidak ada orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama, namun jika tertarik di pandangan pertama, itu lain soal. Manusia itu mahluk yang visual, yang kalau melihat benda indah maka akan secara otomatis memujinya dan tertarik untuk melihatnya lebih intens dari pada ia melihat benda lain yang biasa-biasa saja. Makanya setiap ada orang yang mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama, dahiku akan mengernyit heran. Masa manusia yang memiliki akal dan logika tidak bisa membedakan mana tertarik atau nafsu dengan cinta? Dan inilah yang membuatku menatap Tjania tak percaya, sedangkan Ara dengan mata yang berbinar-binar mendengarkan setiap kata yang keluar untuk membentuk serangkaian kalimat dari mulut Tjania dengn khidmat dan sangat tertarik. Tjania, mahluk paling absurd dan pedas yang pernah aku kenal ini, yang logikanya paling tokcer dibandingkan aku dan Ara, bisa-bisanya mengatakan kalau ia sedang jatuh cinta pada pandangan pertama. Kalau dia tidak duduk anggun mungkin aku pikir ia sudah kerasukan setan dari gedung atau rumah kosong yang ia lewati sepanjang jalan menuju Mie Ayam Gondangdia ini. “Bentar deh. Siapa tadi lo bilang lakinya?” “Mantan suami klien gue. Gantengnya itu kayak Henry Cavill!” Ujar Tjania bersemangat. “Ya, trus mantan istrinya kayak Natalie Viscuso yang tajir melintir jabatannya Vice President?” Tanyaku malas. “Duh, nggak usah salty jadi orang, deh. Mantan klien gue itu nggak setajir pacarnya Henry Cavill asli, kan gue cuma bilang mantan suaminya itu mirip Henry Cavill!” Balas Tjania sewot. “Trus kenapa dia cerai? KDRT? Bangkrut? Homo? Gak bisa punya anak? Gila kalli zaman sekarang cowok modelan begitu single itu diluar nalar.” Aku masih menggaruk logika Tjania agar ia bisa berpikir sama sepertiku. Aku hanya tidak ingin kalau temanku yang satu ini nantinya jatuh terjerembab kalau ia salah melangkah. Bukankah memilih pasangan dari bibit, bebet, dan bobotnya itu sangat penting? Jangankan memilih pasangan, memilih jeruk di pasar saja harus sampai mencari ditumpukan terbawah agar bisa mencari yang bagus dan sekiranya manis tanpa ada noda busuk. Apalagi jodoh, kan? Tjania mengerlingkan matanya setelah mendengarku. “Duh plis deh, lo nggak pernah dengar orang nikah karena mereka sudah nggak punya perasaan lagi dan hubungan rumah tangnyanya jadi terasa semu dan hambar? Penyakit orang kaya zaman sekarang ya gitu. Pernikahan jadi cuma sekadar rutinitas biasa tanpa ada perasaan, jadi mereka memutuskan buat cerai.” Kini gantian diriku yang mengerlingkan mata. “Wow, zaman sekarang ada aja alasan orang untuk pisah. Sementara di luar sana banyak yang susah cari pasangan karena terlalu banyak yang gugur sebelum berkembang, yang sudah menemukan pasangan malah memilih buat pisah.” Ujarku sedikit miris dengan keadaanku setelah dibandingkan dengan keadaan orang lain yang mungkin lebih beruntung dibandingkan diriku ini. “Zaman sekarang, pemikiran orang makin berkembang. Yang nggak mau nikah juga makin banyak karena lebih mementingkan kerjaan dan kesehatan mental karena nggak mau pikiran dan kesibukannya terbagi buat orang lain, ada juga yang nggak mau punya anak karena takut nggak bisa membesarkan anak dengan baik dan malah buat anaknya jadi punya penyakit mental dan kena pelecehan, dan ada juga yang kayak kasusnya mantan klien Tjania ini. Kita punya struggle masing-masing, karena hidup kan memang kayak gitu, Emje.” Ara tersenyum sambil mengatakan hal tersebut. Tjania mengaduk kembali mie ayam yang tersaji di hadapannya dengan menambahkan saus dan sambal. “Nah, siapa tau kan gue ini the one dari mantan orang yang pernah jadi klien gue dulu?” Ia tersenyum, kemudian menyuap mie yang ada di kedua sumpit yang dipegangnya. “Apa nggak menimbulkan omongan nantinya?” Tanyaku lagi. “Kalau gue selalu pusing sama omongan orang, kapan gue nikah? Biarin lah orang mau ngomong apa, yang penting guenya juga harus pendekatan dulu kali. Gue nggak mau terlalu pede, terakhir gue kepedean akhirnya si cowok cuma manfaatin gue doang. Gue masih sakit hati duit gue dua puluh tujuh juta raib!” Aku dan Ara otomatis tertawa karena mengingat kebodohan Tjania dulu. Memang, cinta itu bisa membutakan manusia mana pun. Sampai bisa membuat Tjania yang jangankan mengeluarkan dua puluh tujuh juta, mengeluarkan uang dua ribu untuk parkir saja sampai memisuh panjang. “Lagi, lo kan kalo bucin b**o!” Kataku masih tertawa. “Semua orang kalau bucin itu b**o! Tapi gue emang mengakui sih kalau gue b**o banget. Nggak bisa gue bawa ke perdata malah jatuhnya ke pidana, hilang sudah uang gue dua puluh tujuh juta! Masih sakit hati gue dua puluh juta itu bisa buat cicilan rumah sama mobil. Kenapa lo pada ingetin gue sama kejadian menyebalkan itu, sih? Kan gue jadi emosi lagi! Padahal tadi gue lagi senang-senang banget gara-gara beritain ada cowok yang gue taksir, eh ending-nya malah bahas soal si napi.” sungutnya berapi-api, khas Tjania sekali. “Elo yang bahas duluan kali!” Ara pun akhirnya kembali membuka suara setelah absen di perdebatanku dan Tjania. “Tau! Malah nyalahin gue sama Ara, padahal yang bahas mantan lo itu lo sendiri. Yang ngomel juga lo sendiri. Tapi gue masih nggak nyangka sih kalau lo beneran punya mantan yang sekarang jadi napi. Pantesan lo bilang udah nggak peduli sama omongan orang, ya. Orang lo udah mengalami yang lebih parah dari yang sekadar jadian sama mantan suami klien.” Tjania memelototiku dengan mulut yang ia tekuk ke bawah. “Kita ini kalau ada award teman yang saling lempar opini sepedas sop Janda langsung menang kali ya? Gue bingung sih kenapa kita selalu bermulut pedas kalau ngomong dan kalau ada yang ketiban sial lah, lagi senang lah. Untung gue orangnya nggak sensitif, nggak gampang sakit hati.” Kata Tjania. Ara tersenyum dan melanjutkan menikmati mie ayam-nya. “Untung gue juga nggak terlalu sensitif.” Timpalku. “Untungnya kuping gue udah terlatih dengar obrolan kalian yang kalau berdebat itu nggak ada selesainya, nggak bisa ngerem. Mulut buat berdebat sih lancar banget, tapi ngobrolnya sambil makan dong! Itu makanannya selalu sampai dingin jadi penonton.” Kata-kata Ara, bisa lebih pedas dari pada perdebatanku dan Tjania. Aku dan Tjania pun akhirnya memilih untuk diam sejenak untuk menghabiskan makan malam yang memang sudah dingin karena terlalu lama dianggurkan dan hanya dinikmati sesekali ketika aku dan Tjania mendengarkan lawan bicara melemparkan obrolan. Ara satu, aku dan Tjania nol. *** Gara-gara omonga Tjania, setelah sampai ke apartemen aku langsung mencari tahu soal pria yang sedang ditaksir oleh temanku yang satu itu. Taksir sepertinya masih aneh untuk diaplikasikan ke perasaan Tjania yang katanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Aku agak bergidik ketika mengingat kelakuan Tjania yang sudah bucin seperti itu tadi, sudah lama aku tidak melihat ekspresi Tjania yang seperti itu. Aku langsung membuka laptop dan mencari tahu pria tersebut di Linkedin, menelusuri semua pekerjaannya, seluruh jabatannya dari pertama kali ia bekerja sampai sekarang, dan juga sekolah serta opini orang-orang yang tertulis di akun Linkedin-nya. Semuanya mengatakan hal yang baik dan bagus, jabatannya oke, dan tampangnya juga oke. Ciri-ciri pria yang akan dikejar banyak perempuan jika ia single. Sekarang mencari latar belakang seseorang bahkan bisa sampai ke media sosial semacam Linkedin. Jelas saja kan? Di mana lagi melihat pria yang kriterianya pasti banyak di ceklis dalam kolom pria ideal yang ingin dinikahi oleh banyak perempuan single yang sedang mencari calon kalau bukan di media sosial profesional mereka? Termasuk Tjania tentu saja. Setelah mencari tahu pria yang ditaksir Tjania ini dan aku tidak berhasil menemukan sosial media lainnya, apakah ia pakai nama yang aneh atau pun memang tidak punya sosial media, alu juga tidak tahu. Tapi yang jelas, keberadaannya selain di Linkedin, nihil. Track record-nya sih baik, tapi secara personal aku belum yakin. Aku masih sangsi kalau pria lajang semacam itu bisa bercerai tanpa ada masalah dan hanya dengan alasan tidak cocok lagi. Kecuali kalau bosku, ya itu masih bisa aku maklumi karena pria dingin dengan mulut seperti sambal korek begitu siapa juga yang mau? Mood-ku langsung tidak enak begitu mengingat kelakuan bos yang kalau bicara sangat jujur, terlalu jujur malah tanpa peduli apakah omongannya itu akan menyakiti lawan bicara atau tidak. Aku segera menutup kembali laptop tanpa mematikannya terlebih dahulu, kemudian aku mandi dan duduk di kasur. Besok masih hari kerja, dan besok adalah hari di mana mungkin ideku itu akan direalisasikan dan juga dikritik habis-habisan karena dipilih oleh Pak Tama karena menurutnya ideku yang paling baik dibandingkan yang lain. Belum lagi besok aku akan diberikan dana atas apa yang aku minta untuk membeli kado untuk Pak Hartono. Masih ada beragam pekerjaan penting yang menungguku dan aku harus menghadapinya esok hari. Aku butuh banyak energi untuk besok dan sebelum tidur aku sengaja mengirimkan pesan untuk Mbak dan meminta Mbak untuk memasakkan makanan yang porsinya lebih banyak untukku besok agar aku bisa fokus dan kuat menjalani hari. Aku mematikan lampu kamar dan segera tidur daripada harus kelelahan atau kesiangan esok hari. Terlambat dua kali bukan pilihan yang bijak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN