SEMBILAN : Gibah adalah aktivitas menyenangkan meski pun tidak digaji

1475 Kata
Jam pulang kantor selalu menjadi jam yang menyeramkan bagi banyak orang yang membawa kendaraan pribadi mereka. Sudah bisa dipastikan jika rush hours membuat kendaraan menumpuk di jalan meskipun sebagian lebih memilih menunggu sampai rush hour lewat. Biasanya aku lebih memilih menunggu rush hour lewat dengan mampir ke coffee shop terdekat atau pun restoran yang dekat dengan kantor, yang bisa dicapai dengan berjalan kaki saja. Namun kali ini berbeda, aku rela menerobos kemacetan demi bertemu dengan Tjania sedangkan Ara sedang sibuk jadi harus lembur. Tjania terlihat sudah sampai lebih awal denganku. Di meja, aku bisa melihat ada tumpukan kertas dengan laptop yang terbuka. Tjania sedang fokus melihat laptopnya dengan jari-jari yang lincah bergerak di atas “Woi! Masih kerja aja lo.” Aku mneyapa Tjania yang terlihat tidak kaget dan menatapku cemberut. Ia melepaskan kacamatanya dan menyimpan apa yang tadi ia kerjakan kemudian menutup laptop dan menaruhnya di tas laptop yang berada di sebelahnya. “Belakangan ini orang udah pada gila, jadi banyak kasus yang masuk ke kantor dan gue terpaksa bawa kerjaan ke rumah. Di mobil gue ada banyak buku sama berkas yang harus gue baca juga. Ini sih nggak seberapa.” Keluh Tjania yang sudah dua tahun ini naik pangkat menjadi senior lawyer. “Iya, tapi kan banyak kasus masuk banyak uang juga.” Seorang pramusaji membawakan buku menu ke meja kami setelah aku mengangkat tangan dan memberi kode ingin meminta buku menu. “Agak dilematis memang ya. Trus lo sendiri gimana? Gimana keadaan lo di kantor baru? Masih suka dicengin sama bos lo itu?” Tanya Tjania yang sedang mengorek-ngorek tasnya untuk mencari hand sanitizer yang ada terletak entah di mana. “Gue jarang ketemu si bos sih, dia sering tugas luar. Tapi kalau ketemu gue udah kabur duluan soalnya males berhadapan sama dia.” Jawabku sembari membuka buku menu.. “Ada lagi ya pegawai yang males ketemu sama bosnya. Terus kakak lo gimana? Kemarin lo nginep di rumahnya, kan? Masih bahas jodoh?” Selidik Tjania kembali. Aku menghela napas dan mengangguk. Tjania sudah paham betul kelakuan kakakku yang satu itu karena setiap aku pulangd ari rumah kakak maka aku akan menumpahkan semua keluh-kesah yang aku rasakan selama aku ada di rumah kakak dan berbagai macam pembicaraan yang kami lakukan. Kebanyakan akan berujung ke karir dan juga pasangan. “Kakak gue tidak mengalami gimana rasanya punya karir yang sangat bagus sampai dihindari sama cowok yang mau serius sama gue sampai ke jenjang pernikahan. Jadinya ya gitu. Buat dia yang masih konservatif karena teman-temannya in a same page kayak dia yang udah nikah dan punya anak yang lucu-lucu, masalah gue berasa asing dan mudah.” Tjania mengangkat tangannya untuk memanggil pramusaji kembali dan menyebutkan pesanannya. Kami sedang berada di MonViet, restoran Vietnam yang menyajikan makanan autentik dari negaranya. Tjania memesan Mi Bo Kho dan satu platter berisi berbagai macam spring roll sedangkan aku memesan Bun Bo Hue. Nama menunya sulit, namun intinya kami sama-sama memesan pho sapi dengan kaldu yang berbeda dan untuk minuman kami memesan air mineral dingin. “Apa lagi kalau ada orang yang bilang, iya gue ngerti banget masalah lo sementara dia udah nikah dan punya keluarga kecil bahagia yang nggak mikir besok kerjaan apa yang nungguin gue di kantor, klien mana yang akan komplain, dan meeting mana yang harus gue datangin sampai lembur. Ya udahlah, anggap aja omongan kakak lo prescription obat yang harus lo terima kalau obat lo habis.” Aku tertawa, ada-ada saja memang omongan sahabatku yang satu ini. Pantas saja ia dulu masuk fakultas hukum dan akhirnya memilih untuk menjadi pengacara. Bukankah satu kemampuan yang wajib dimiiki oleh para pengacara itu harus pintar berbicara dan mencari celah lawan bicara di persidangan? Ya, itu salah satu hal yang aku lihat sendiri dari beragam persidangan yang di siarkan di berita. Dan nyatanya ia selalu mengaplikasikan kemampuannya itu di kehidupan sehari-hari. “Yah, tapi omongan kayak gitu nggak buat lo jadi pantang mundur buat nyari cowok kan? Hidup di zaman sekarang ini, kalau cowoknya melempem, ya cewek yang harus maju.” Aku membuka air mineral yang lebih dulu disajikan sembari menunggu pesanan utama kami datang. “Iyalah. Tapi jujur gue ogah sama cowok yang melempem nggak punya nyali. Nggak lucu dong kalau gue bentak sekali nanti minta cerai alasannya KDRT padahal wajar aja kalau ada pertengkaran di rumah tangga. Gue harus lebih selektif, lo juga. Jangan mentang-mentang selalu didesak sana-sini buat cepet-cepet nikah dan punya pasangan jadi asal pilih dan mau sama siapa aja yang available.” Tjania memandangku tajam. “Ya nggak lah! Gila aja, gue juga nggak mau asal pilih. Pakai baju setiap hari aja gue milih lama, apa lagi cari pasangan yang nggak bisa gue ganti-ganti. Tapi ya, gue akuin gue udah malas dan sakit kepala dengar semua desakan itu. Gue butuh liburan deh kayaknya.” Pesanan Tjania datang, si platter yang ebrisi berbagai jenis spring roll dari yang mentah, di kukus, sampai di goreng dengan beragam isian dan saus cocolan. “Gigi lo butuh liburan. Lo baru masuk kantor ya, paling boleh cuti kalau udah satu tahun kerja dan itu juga biasanya lo nunggu momen di mana teman-teman satu divisi lo udah pada cuti baru deh lo bisa cuti. Lagi juga gue kasih tau kemarin lo liburan dulu aja sebelum kerja lo nggak mau, sekarang giliran udah kerja belum juga sebulan minta liburan.” Tjania tertawa dan mengunyah spring roll kukus pesanannya itu. “Lo sekali aja nggak usah nyela dan ngeledek gue bisa nggak sih? Mode sangar lo itu matiin dulu, biar gue bisa menumpahkan keluh kesah gue ini.” Aku mengambil sepotong spring roll mentah yang berisi beragam jenis sayuran dan menikmatinya dengan saus khusus yang disajikan di piring kecil. “Buat apaan? Males banget dengerin lo ngeluh doang, pusing gue dengerin keluhan lo yang nggak berujung. Mending gue julidin aja biar jadi hiburan dan buat gue nggak merasa bosan, kan?” “Capek banget emang ngomong sama lo. Ini kenapa si Ara harus lembur sih?!” “Udah lah, kan tadi gue udah dukung lo. Tapi akhirnya gue bosen, jadi biarkan lah gue mencela lo. Nih, makan.” Tjania menggeser piring besar berisi makanan pesanannya ke arahku, “imbalan udah mau gue cela.” “Aku menusuk spring roll goreng dengan kedua garpu yang ku pegang dengan kasar, “siapa juga yang mau lo cela!” Kataku sebal. Aku pun kemudian mengunyah makanan yang sudah tertancap di sumpit yang ku pegang. Tjania hanya melampiaskan rasa senangnya itu dengan tertawa sementara pesanan utama kami datang. Setidaknya bertemu dengan Tjania bisa sedikit menghibur semua ototku yang lumayan tegang karena omongan kakak kemarin dan juga banyaknya pikiran yang akhirnya muncul di kepala. *** Dering alarm di ponselku berdering. Aku mengecek yang ternyata alarm tersebut berasal dari Google Calendar yang mencatat semua kegiatanku sehari-hari beserta hari-hari penting yang ada. Setelah membaca isi dari pengingat yang tadi berbunyi, aku pun menghampiri Mbak Aina yang sedang berada di pantry. “Mbak, seminggu lagi Pak Hartono dari Chemical East Power ulang tahun perkawinan yang ke tiga puluh. Kita kasih kado apa ya?” tanyaku pada Mbak Aina. Mbak Aina yang sedang mengaduk kopi instan di gelasnya memandangku dengan pandangan yang bisa ku bilang tidak percaya, takjub, atau apa pun itu yang membuatku jadi canggung. “Kok kamu tahu Pak Hartono ulang tahun perkawinan yang ke tiga puluh seminggu lagi?” tanya Mbak Aina balik. Aku mengelus alis kananku, satu gestur yang sering aku lakukan ketika aku bingung dengan pertanyaan lawan bicara. “Ada di Google, saya cuma cari tahu profil masing-masing klien kita berdasarkan map yang Mbak Aina kasih ke aku. Aku buat profiling untuk masing-masing klien supaya relasi kita ke klien bisa jadi lebih baik kalau kita kerja bareng. Bukannya itu salah satu pekerjaan kita sebagai PR, kan, Mbak? Making a good relation.” Mbak Aina tersenyum lebar sambil menepuk-nepuk punggungku. “Nih, Mas Tama! Anak buah kamu yang baru ini bener sesuai kan dengan yang aku bilang? Passion PR dia emang kenceng banget, sesuai kata anak-anak PR di kantor dia dulu.” Aku menatap Mbak Aina bingung, kemudian berbalik menghadap ke belakang. Pak Tama, yang terlihat sedang memegang cangkir putih yang ku terka tadinya berisi kopi namun kali ini sudah tandas, berdiri di ambang pintu pantry. “Bagus.” Katanya singkat dan menunju ke coffee maker di mana sudah terdapat kopi panas siap saji yang tadi dibuat oleh Mbak Aina lumayan banyak. “Tuh, kasih apa Pak Hartono? Tahun lalu di kasih karangan bunga. Menurut kamu kasih apa?” Mbak Aina kali ini menatapku dan meminta jawaban dari pertanyaannya. “Sepasang jam tangan? Maksud saya, supaya event-nya sesuai, sama-sama counting the time.” Jawabku. “Boleh. Nanti kamu yang urus, soal budget tanya Mbak Aina.” Ujar Pak Tama yang melangkah pergi meninggalkan pantry setelah mengisi cangkirnya kembali dengan kopi. Mbak Aina tersenyum puas ke arahku, sementara aku hanya tertawa kecil nyaris meringis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN