"Mau ke mana?"
Sheilla meringis, langkah kakinya seketika terhenti mendengar pertanyaan tak asing di telinganya. Seperkian detik kaget, detik betikutnya Sheilla berusaha menetralkan dirinya. Masih sambil memegang piring tubuhnya berputar.
"Mau ke mana?" tanya Mathew lagi. Sebelah alisnya terangkat, kedua tangannya bersedekap d**a menatap wanita yang kini tengah berdiri.
Masih hening, tak ada jawaban apapun dari Sheilla. Sambil menunggu jawaban sang istri Mathew meminum kopi miliknya. Keduanya memang sudah pulang sejak dua jam yang lalu bahkan sudah bersih-bersih dilanjutkan makan malam yang tertunda.
"Menurutmu aku mau ke mana? Apa aku terlihat ingin pergi ke mall? Pantai? Atau menghadiri pemakaman?"
Jawaban di luar perkiraan itu sukses membuat Mathew menggeram kesal. Sebelum mulutnnya terbuka untuk menyahut, Sheilla sudah lebih dulu terkekeh geli. Dua langkah dia maju, tubuhnya sedikit merunduk lalu mengecup singkat kedua pipi Mathew. Sedangkan Mathew, pria itu masih diam menerima kecupan mendadak tersebut.
"Aku bawa piring dan gelas, tentu aku mau ke dapur untuk cuci piring," kata Sheilla setelah tubuhnya menegak kembali.
"Sejak kapan kau mau berurusan dengan dapur? Apa tadi? Cuci piring?" Sebelah alis Mathew terangkat menatap Sheilla. Sedikit kaget, bahkan mimik wajah Mathew sempat berubah seperkian detik. Menginjak satu tahun hidup dengan Sheilla, membuat Mathew hapal sifat wanita itu.
Wanita malas dan manja, itulah Sheilla di mana Mathew.
Raut kekagetan Mathew berangsur hilang tergantikan senyum tipis namun penuh makna. Diambilnya piring serta gelas, lalu diletakkan kembali di atas meja. Sheilla ingin protes, namun tubuhnya sudah lebih dulu ditarik. Alhasil kini dia duduk di pangkuan Mathew. Kedua tangan Sheilla terangkat, membuat jarak agar tubuhnya tak terlalu menempel.
"Ingin mengelabuiku? Ayolah, sejak kapan seorang Sheilla perduli dengan piring kotor? Jangan perdulikan, itu tugas Rubby. Sedangkan tugas ka–"
"Melayanimu? Cihh! Memang hidupku hanya seputaran ranjang? Aku bukan boneka hidupmu, bahkan sekarang anakmu ada di rahimku," potong Sheilla. Tidak perlu panjang lebar, Sheilla sudah tahu ke mana arah pembicaraan suaminya itu.
Saking kesalnya, Sheilla memukul pundak Mathew.
Alih-alih melonggar, pelukan Mathew justru semakin erat, membuat jarak keduanya terhapus. Sheilla yang enggan berdebat membiarkan saja tubuhnya dipeluk. Kedua tangan yang awalnya menahan di d**a, kini memeluk balik membuat pelukan hangat itu semakin erat. Tidak perduli jika ada asisten rumah tangga yang melihat, tetapi posisi seperti itu sangat nyaman mereka rasai.
Rambut panjang Sheilla yang terkuncir membuat Mathew lebih leluasa mengecupi leher hangatnya. Bukan hanya kecupan kecil, Mathew pun tak sungkan menggigit lalu menghisapnya kuat. Sheilla sedikit meringis, pasti noda merah terpampang di lehernya.
Puas berpelukan Mathew menarik diri. Tidak menunggu istrinya buka suara, Mathew sudah lebih dulu melumat bibir manis Sheilla. Kali ini tidak ada drama penolakan, Sheilla ikut mengimbangi permainan suaminya itu. Berbeda dengan tangan Mathew yang menahan tengkuk, sedangkan kedua tangan Sheilla asik meremas rambut serta tengkuk Mathew.
Respon kecil tangan Sheilla seolah membangkitkan jiwa yang meletup seketika mencuat. Jelas Mathew sadar kalau istrinya tidak menolak. Perlahan tangan Mathet turun, lalu menyelusup masuk ke dalam. Berawal dari mengusap perut, sampai akhirnya usapan itu berhenti tepat di buah d**a yang Mathew rasa semakin besar.
Cukup lama keduanya saling menyesap mencari kenikmatan, sampai pada akhirnya Sheilla merasa pasokan oksigen mulai menipis. Pangutan panas keduanya terputus, seketika Sheilla langsung menghirup udara dengan banyak. Saking kekurangan oksigen, napas terengah Sheilla terdengar di telinga Mathew.
"Euuggh, sakit!" Sheilla meringis, bahkan tubuhnya bergeliat di atas pangkuan Mathew. Akan tetapi, mulut dan tubuhnya tidak sejalan. Mulut berkata tidak, sedangkan tubuhnya meminta lebih.
Tubuh Sheilla yang bergeliat membuat miliknya di bawah sana bereaksi. Mathew juga yakin jika Sheilla merasakan.
Wajah Mathew kembali merunduk, dia menyematkan tanda merah di d**a Sheilla. Tak kuat menunggu lama-lama, tanpa melepaskan Mathew berdiri dari duduknya. Layaknya menggendong bayi Mathew berjalan menuju tangga. Sheilla yang takut jatuh memilih mengeratkan pelukannya di pundak. Saat akan naik, mereka papasan dengan Rubby. Sheilla malu, dibenamkan wajahnya di leher hangat Mathew.
Melihat itu Rubby hanya tersenyum. Karena apapun yang ingin mereka lakukan, itu hak-nya.
***
Sesampainya di dalam kamar, Mathew menurunkan Sheilla di atas kasur. Tidak sekasar biasanya, karena Mathew tidak mau membahayakan sang anak di dalam perut Sheilla. Setelah menaruh Sheilla di atas ranjang Mathew masih terdiam, dia menatap lekat tubuh Sheilla dari atas hingga bawah.
"Mana baju yang kau beli? Lekas pakai, waktumu hanya lima menit."
Tunggu.
Sheilla menerjap, otaknya seketika berfikir keras mencerna perkataan Mathew. Beberapa detik berfikir, kini otaknya telah mengerti apa yang Mathew maksud. Sheilla beringsut turun, berlari kecil menuju lemari. Tidak lama, wanita itu menunjukan dua paper bag ke arah Mathew.
"Maksudmu ini? Haruskah aku pakai ini?"
"Kenapa kau ragu? Bukankah kau beli itu untukku?"
Sial!
Bukan gombalan romantis, tetapi Sheilla merasa pipinya panas. Dalam hati Sheilla merutuki kebodohan yang dia perbuat sendiri. Kalau difikir-fikir, memang seharusnya tidak membeli baju haram seperti ini. Pakai baju biasa saja diincar, apa lagi model kurang bahan?
"Baiklah, malam ini aku akan nurut." Setelah mengatakan itu Sheilla berlalu masuk ke dalam kamar mandi. Jantungnya berdegup kencang, bahkan Sheilla merasa seperti pengantin baru.
"Waktumu tinggal empat menit!"
Teriakan dari luar terdengar, Sheilla langsung mengganti pakaiannya. Tidak membutuhkan waktu lama, kini lingerie berwarna hitam tersemat di tubuh mulusnya. Sejenak Sheilla menatap pantulan dirinya di cermin. Hampir sama dengan baju yang dia punya, tetapi yang baru dibeli lebih terbuka. Rambut terikat Sheilla kini terurai, tak lupa dia memakai parfum di leher. Dirasa cukup, dengan malu-malu dia ke luar dari dalam kamar mandi.
"Math! Astaga, aku kaget!" Baru satu langkah ke luar, tetapi Sheilla kembali mundur karena kaget. Bagaimana tidak kaget, di samping pintu kamar mandi suaminya itu tengah bersandar.
Setidak sabar itukah?
Tidak menjawab, Mathew menarik tubuh Sheilla lalu memeluknya. Tubuh yang awalnya bersandar, perlahan namun pasti mengubah posisi. Kini tubuh Sheilla membentur dinding, tetapi Mathew dengan cekatan menahan punggungnya agar tidak sakit. Wangi harum parfum Sheilla membuat Mathew nyama. Saking nyamannya dia dia terus menciumi leher jenjang milik Sheilla.
"Kau memang selalu tahu cara membangkitkanku, Sheilla," bisik Mathew tepat di telinga Sheilla. Sebelum menarik kembali wajahnya, Mathew menggigit daun telinga Sheilla yang sukses membuat wanita itu bergeliat menahan geli.
Dari banyaknya tempat sensitif, telinga menjadi salah satu kelemahan seorang Sheilla.
Sekilas Mathew mengecup bibir Sheilla lalu berkata, "seluruh tubuhmu sangat manis, itu alasan kenapa aku tidak sabar ingin selalu mencicipi."
***