HARUS SELALU DIBUNGKAM

1036 Kata
"Tunggu, Sheilla!" Entah itu panggilan keberapa, yang jelas bukan pertama kali telinga Sheilla dengar. Tanpa memperdulikan suaminya di belakang, Sheilla terus melangkah menuju pintu utama. Kurang dua langkah, tiba-tiba Sheilla memekik karena lengannya ditarik kasar dari belakang. Sontak hal itu membuat rasa kesal Sheilla semakin memuncak. "Tidak wanita tadi, tidak kau, kenapa kalian menyebalkan?!" "Aku berkali-kali memanggilmu, tetapi kau seolah tuli. Apa memang telingamu tuli?" balas Mathew tak kalah sengit. Mendengar itu bibir Sheilla mengerucut sembari mengehempas tamgan Mathew dari lengannya. Akan tetapi usaha Sheilla sia-sia, tenaga Mathew jauh lebih besar darinya. Sheilla diam, kedua matanya menyipit menatap wajah kesal sang suami. Aneh memang, kenapa pria itu ikut kesal? "Kau mau ke mana? Aku tidak mengizinkan kau untuk pergi, Sheilla. Ah, atau kau cemburu? Ayolah, itu tidak seperti yang kau lihat. Di–" "Hah? Aku? Aku cemburu? Hahaha, kau terlalu pede, Mathew Smith!" potong Sheilla yang diakhiri tawa geli. Saking gelinya, beberapa karyawan menoleh melihat. Tingkah Sheilla yang seperti ini selalu saja bisa membuat Mathew geram. Tanpa menjawab apapun, Mathew menarik lengan Sheilla lalu memeluknya posesif. Tidak ingin keributan unfaedah ini menjadi tontonan para karyawan, Mathew pun mengajak Sheilla masuk ke dalam lift. Awalnya Sheilla terus memberontak, tetapi apa daya semua usahanya sia-sia. Pintu lift terbuka, keduanya langsung masuk tanpa ada perdebatan lagi. Situasi lift yang hening tak membuat mereka bersuara. Sekilas Sheilla melirik ke arah samping, arah di mana Mathew berdiri. Wajah suaminya itu terlihat santai tanpa ada rasa bersalah apapun. Walaupun terlihat santai, tetapi tangannya masih sangat erat merengkuh tubuhnya. "Aku mau pulang, Math!" "Wanita itu namanya Freya. Bisa dibilang dulu kami dekat bahkan ada komitmen. Itu sudah lama, sekarang kau yang menjabat istriku." "Begitu kah? Sayangnya aku tidak perduli." Sialan! Posisi yang awalnya saling sampingan, tanpa aba-aba Mathew menarik lengan Sheilla lalu mendorong tubuh mungil itu ke dinding. Tarikan yang tiba-tiba membuat Sheilla meringis karena punggungnya terbentur. Mathew maju selangkah, satu tangannya menempel di dinding seraya mengunci tubuh sang istri. Sedangkan tangan satunya terulur menarik dagu Sheilla agar istrinya itu membalas tatapannya. "Kenapa tingkahmu selalu menyebalkan?" tanya Mathew dengan pelan namun penuh penekanan. "Kau itu selalu saja menguji kesabaran, memang harusnya mulutmu itu selalu kubungkam agar diam," sambungnya. Posisi keduanya sangat dekat, baru Mathew ingin memajukan wajah, suara pintu lift sudah terdengar. Mathew menggeram, sedangkan Sheilla terkikik geli dan langsung ke luar. Saat ke luar, betapa kaget serta malunya Sheilla karena ada beberapa karyawan yang ingin masuk. Apakah mereka melihat? Lagi-lagi langkah Sheilla terhenti. Memangnya dia mau melanjutkan jalan ke mana? Sedangkan Sheilla tahu kalau di dalam ruangan Mathew masih ada manusia menyebalkan. Bukan perkara cemburu, hanya saja Shilla takut kelepasan menarik rambutnya. Lagipula untuk apa cemburu? Cemburu? Haha. Sheilla mengibas rambutnya ke belakang, seketika rasa gerah menghantui. Saat sedang bingung, Sheilla dikageti oleh tangan yang kini melingkar manis di pinggangnya. "Ayo masuk, jangan perdulikan dia. Mau sebanyak apapun wanita, semua tidak berarti di mataku," bisik Mathew tepat di telinga Sheilla. *** Tragedi kecil karena kedatangan tamu tak diundang sudah clear. Walaupun sempat terulang saat Mathew membawa kembali Sheilla ke dalam ruangan, tetapi dengan cepat pula Mathew menengahi. Bermodalkan bantuan dua satpam, Mathew berhasil membawa Freya ke luar dari dalam ruangannya. Sbeilla melirik kesegala penjuru ruangan. Tidak mau munafik, ruangan Mathew sangat besar bahkan lebih besar dari ruang kantor ayahnya. Selain nyaman duduk di sofa, di bagian belakang ada beberapa tempat termasuk ruang tempat istirahat jika pria itu lelah. Bosan duduk, Sheilla beranjak menuju jendela. Dari atas Sheilla seketika disuguhi view jalanan kota serta langit indah kota New York. Sheilla bersedekap d**a, fikirannya kembali melayang jauh. Saat ini Sheilla memang sendiri karena Mathew sedang meeting di lantai atas sejak dua jam yang lalu. Tidak adanya izin untuk pulang duluan, ditambah tidak ada celah kabur karena di depan sana ada Steven dan juga George. Walaupun terkesan terkurung, semua kebutuhan Sheilla ada termasuk beberapa cemilan, minuman, serta makanan berat. Dahulu hidup bebas, sekarang terkekang. Itulah yang Sheilla rasakan. Sheilla bersandar pada dinding, tangan dan tatapannya kini terfokus pada layar ponsel. Setelah kejadian itu, tak ada satupun pesan yang masuk dari ayahnya. Ya Tuhan, apa seperti ini yang dinamakan anak buangan? Suara pintu terbuka membuat lamunan Sheilla buyar. Jiwa yang baru saja melayang kini kembali masuk ke dalam raga. Tubuh Sheilla berputar, sebelah alisnya terangkat menatap orang yang ternyata adalah Mathew. Wajahnya terlihat kusut, bahkan tak ada sapaan. "Wajahmu terlihat kusut, apa terjadi masalah?" tanya Sheilla sembari berjalan mendekati. Melihat sang istri mendekat Mathew hanya melirik Sekilas, lalu menghempas punggungnya ke sanggahan sofa. Helaan napas berat terdengar di telinga Sheilla, membuat wanita itu menyimpulkan jika memang terjadi sesuatu di ruang meeting. Mathew masih bungkam, tubuhnya berputar-putar di atas kursi kebangsaannya. "Ayahmu selalu saja membuat ulah!" Mulut Sheilla mengatup. Apa katanya tadi? Ayah? "Salah satu proyekku berantakan karena investor yang tiba-tiba menarik diri. Dan kau tahu? Yang melakukan itu adalah ayahmu. Kalau sudah mendadak seperti ini, aku rugi besar, Sheilla." Lagi, suara Mathew terdengar. Pelan memang, tetapi aura kemarahan teramat Sheilla rasakan. "Kenapa kau sangat yakin kalau itu ulah ayah?" Mendengar itu sontak saja Mathew menoleh. Tatapan keduanya kini beradu ras kesal yang awalnya memuncak kini tergantikan rasa gemas. Tanpa menjawab Mathew menarik pinggang ramping Sheilla sampai wanita itu jatuh terduduk dipangkuannya. Bukan hanya itu, tanpa rasa sungkan Mathew mengecup bibir Sheilla. "Memang benar, ya? Bibirmu harus selalu dibungkam agar tidak meragukanku terus. Kenapa kau lebih percaya ayahmu? Kenapa bukan aku?" tanya Mathew saat kecupan singkatnya dia hentikan. Jika biasanya Sheilla marah atau kesal, akan tetapi saat ini dia hanya diam sambil terus menatap lekat wajah suaminya itu. Memang tidak ada raut bercanda, lagipula sejak kapan seorang Mathew membercandakan hal seperti ini? Apa lagi kalau menyangkut ayahnya. "Lalu kau mau melampiaskannya padaku?" Setelah lama terdiam, kini Sheilla buka suara. Sebelah alisnya terangkat, tangannyabterulur menoel hidung mancung Mathew. Sesaat suasana kembali hening. Lagi-lagi Mathew kalah menghadapi Sheilla. Walaupun bukan itu yang ingin dia dengar, tetapi tatapan polosnya yang ingin membuat Mathew melahap habis sang istri. "Kalau iya? Kau mau menolak? Bukankah kau tahu jika itu tidak mungkin terjadi?" Sheilla terkekeh, namun pelan-pelan dia berusaha berdiri agar bisa kabur walaupun bukan ke luar ruangan. Akan tetapi pergerakan Sheilla terlambat, Mathew sudah lebih dulu mengeratkan pelukannya. "Kau tahu? Seekor tikus tak akan bisa lolos dari perangkap," bisik Mathew. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN