"Pilih apa yang ingin kau mau."
Tunggu.
Suara siapa itu?
Tubuh Sheilla refleks berputar menghadap ke belakang. Kini tak jauh dari tempatnya berdiri, ada sesosok pria tak asing tengah tersenyum padanya. Kening Sheilla mengerut, dalam diamnya dia masih memastikan kebenarannya.
"Jayden?"
Pria yang dipanggil Jayden itu tersenyum lebar. Sudah sangat lama, pada akhirnya dia mendengar namanya disebut kembali oleh sang mantan. Ada rasa sesal di dalam hati Jayden. Andai kejadian waktu itu tidak terjadi, mungkin saat ini Sheilla masih menjadi miliknya.
"Aku serius, kalau kamu mau salah satu tas itu, ambil saja, nanti aku yang bayar. Jangan negatif thinking, anggap saja sebagai permintaan maaf."
Kening mulus Sheilla mengerut mendengar perkataan Jadyen. Apa katanya tadi? Sebagai permintaan maaf? Apa telinganya tidak salah mendengar?
"Sheill?"
Sheilla berdecak, tangannya menghempas tangan Jayden yang ingin menyentuhnya. Steven dan George pun melakukan hal sama, dengan gerakan cepat mereka menarik Jayden agar menjauh dari Sheilla.
"Ishh, kenapa kamu muncul lagi? Aku tidak mau berurusan denganmu lagi, jadi lebih baik pergi! Tanpa uangmu, aku bisa beli sendiri apapun yang aku mau! Sana pergi!" Sheilla mengusir Jayden layaknya mengusir anak ayam. Tanpa menunggu jawaban pria itu Sheilla pergi ke arah lain.
Sambil berjalan Sheilla terus mencak-mencak membuat beberapa pengunjung menatapnya bingung. Bagaimana Sheilla tidak kesal, pria itu sudah melakukan dua kesalahan fatal. Tidak ingin mengingat, Sheilla mengibaskan rambut panjangnya yang terurai.
Setelah dirasa jaraknya dengan Jayden jauh, Sheilla berhenti berjalan. Sheilla menerjap, menatap deretan baju yang menurutnya sangat menantang. Sebesit ide muncul, tanpa ragu Sheilla mengambil dua pasang lingerie berwarna pink dan hitam lalu memasukannya ke dalam keranjang.
Sebut saja baju dinas.
Sekitar dua puluh menit Sheilla menghabiskan waktu di dalam toko baju. Setelah semua dirasa cukup wanita itu bergegas menuju kasir untuk membayar. Rasa senang Sheilla seperti berbanding terbalik dengan dua pria di belakangnya. Keduanya terlihat lelah, tapi tidak punya pilihan lain akan tugasnya.
Sekeluarnya dari toko baju, kini Sheilla beralih melihat salah satu toko khusus perlengkapan bayi. Sambil melihat-lihat Sheilla mengusap perut. Semua barang tertata rapih, cantik, membuat Sheilla gatal ingin membeli tetapi usia kandungannya masih teramat muda. Alhasil Sheilla hanya melihat-lihat tanpa membeli satupun barang dari toko tersebut.
"Nanti kita belanja banyak-banyak, ya!" guman Sheilla sembari mengusap perutnya.
***
Deretan manu manis kini tersedia dihadapan Sheilla. Entah kenapa, dari banyaknya menu berat, Sheilla memang cinta mati dengan makanan serba manis. Alhasil ada roti bakar, cake, ice cream, dan jus mangga sangat menggiurkan mata.
Saat sedang asik menikmati ice cream cokelat pesanannya, Sheilla tak sengaja menatap meja depan. Di sana tampak sekeluarga harmonis tengah makan diiringi candaan kecil. Tanpa sadar sudut bibir Sheilla tertarik melihatnya.
Untuk kali ini Sheilla tidak mau berandai-andai, toh setelah keputusan yang dia layangkan sang ayah tidak menganggapnya lagi sebagai putri. Menyedihkan memang, tetapi setidaknya ada Daisy yang mulai melunak.
Tatapan Sheilla beralih dari keluarga kecil itu ke jendela. Posisi duduk Sheilla dipaling belakang dan pojok, membuat dia melihat view jalanan dengan jelas. Banyak motor serta mobil berlalu-lalang, mereka seperti mempunyai urusan urgent.
Sekilas Sheilla menoleh ke arah samping. Tepat tidak jauh darinya Steven dan juga George masih setia berdiri. Melihat itu Sheilla terkekeh. Walaupun tidak mengajak ikut duduk, tetapi Sheilla sudah memesankan mereka makanan. Sheilla kembali menghadap depan sembari menikmati roti bakar favoritenya.
Sudah hampir dua jam lebih, tapi sampai saat ini belum ada tanda-tanda Daisy mengabarkan. Selama itukah wanita itu meeting? Disaat Sheilla asik berbelanja, sampai kini perutnya lapar, Daisy belum juga selesai dengan urusan kantornya.
"Anda itu niat kerja tidak?! Jalan itu pakai mata, buruk sekali ya service dari restoran ini?!"
"Ma—maaf, Nona, saya ... saya tidak sengaja."
"Apa permintaan maafmu bisa membersihkan bajuku detik ini juga?!"
Suara keributan yang tiba-tiba terdengar membuat Sheilla kembali menoleh. Di depan sana seorang pegawai tengah menjadi bulan-bulanan customer. Entah apa yang terjadi, tetapi sepertinya ada tabrakan yang tidak disengaja.
"Saya minta maaf, saya tidak sengaja. Tolong, jangan beritahu atasanku. Aku ... aku akan ganti rugi." Wanita berseragam cokelat itu bersimpuh di kaki sang customer. Tidak ada harapan lain, dia tidak mau kalau hari ini menjadi hari terakhirnya bekerja.
Masih dengan emosi dan keangkuhannya, wanita berpenampilan modis itu mengempas tangan sang pelayan dari kakinya.
"M–maaf."
"Lepaskan tangan kotormu! Karyawan sepertimu layak dipecat karna tidak benar dalam bekerja!"
Sejak awal Sheilla berusaha tidak perduli, akan tetapi tidak dengan sekarang. Rasa kesal Sheilla sedikit tersulut, memang apa susahnya masalah clear? Padahal pelaku sudah mengakui dan meminta maaf. Ditaruhnya garpu, lalu dengan santainya Sheilla berjalan mendekati kedua wanita yang masih bersitegang.
"Apa telingamu bermasalah? Dia sudah meminta maaf, lalu apa lagi?"
Bukan hanya keduanya yang menoleh, beberapa orang yang menonton ikut menatap Sheilla. Untuk hal itu Sheilla tidak perduli, toh dia hanya ingin melerai.
"Kau siapa berani ikut campur? Dia itu ceroboh kau bisa lihat bajuku?!"
Sheilla mengangguk, tatapannya mengikuti arah tangan sang wanita yang memperlihatkan baju putihnya kotor. Sambil bersedekap d**a Sheilla menjawab, "lalu, apa dengan marah-marah atau memecat bajumu kembali bersih? Oh, tentu tidak. Jadi semua yang kau lakukan sia-sia."
Wanita di depan Sheilla menggeram kesal. Tanpa mengatakan apapun lagi dia pergi masih sambil mencibir bahkan menghentakkan kaki. Sheilla tertawa melihat itu. Apa wanita tadi kehabisan kata untuk menjawab? Tapi ya sudah, toh Sheilla tak ingin cari ribut.
Saat hendak pergi tangan Sheilla ditarik membuatnya merunduk menatap wanita di bawahnya. Posisi yang tidak enak, Sheilla menarik tangan wanita itu sampai dia berdiri. Dari jarak sedekat ini Sheilla bisa melihat wajah pucat yang tak bisa dibohongi.
"Tenanglah, kamu aman," kata Sheilla.
"Terima kasih banyak, aku tidak tahu kalau kamu tak ada. Aku benar-benar tidak sengaja."
"Tidak mungkin juga sengaja, maka dari itu aku bantu meluruskan. Kembali lah bekerja, aku mau lanjutkan makan. Kal–"
"Ada masalah apa, Sheill?" Usapan dan pertanyaan tiba-tiba itu membuat Sheilla menoleh. Di sampingnya kini berdiri Daisy sambil membawa beberapa dokumen di tangannya. Sheilla menggeleng sebagai jawaban.
Meluruskan keributan sudah usai, Sheilla mengajak Daisy ke tempat di mana dia duduk. Ah, akhirnya sang mama kembali juga. Setidaknya Sheilla tak merasa seperti anak hilang sejak tadi.
"Tadi kenapa?" tanya Daisy lagi. Walaupun otaknya sedang lelah, dia cukup kepo dengan kejadian tadi. Bukan apa-apa, dia hanya takut jika anaknya berbuat hal aneh.
"Masalah kecil, Mah, sudah beres. Pelayan tadi tidak sengaja menabrak satu pengunjung. Dari tabrakan itu, baju pengunjung tadi basah dan kotor. Pelayannya sudah minta maaf, tapi wanita itu angkuh sekali," jawab Sheilla seadanya. Sejujurnya dia malas sekali membahas ini.
Daisy mengangguk saja mendengarnya. Sebelum memesan makanan, Daisy lebih dulu mengecek ponselnya yang berdering sejak tadi. Tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel Daisy bertanya, "Mathew belum sampai? Tadi dia bilang ingin menyusul."
***