"Mama ... apa Mama sedih melihat berita akhir-akhir ini? Apa keputusanku salah, Mah?"
Posisi Sheilla yang tengah rebahan di paha membuat Daisy merunduk agar bisa menatap sang putri. "Itu keputusan tepat, Sheill. Memang kamu bisa bertahan hidup dalam lingkaran toxic seumur hidup? Kamu berhak bahagia, dan mungkin Mathew yang akan memimpin. Percayalah, sebenarnya keputusan bercerai sudah sejak dulu dibahas."
Sheilla terdiam, tatapannya masih terus tertuju pada Daisy. Tidak ada raut sedih, wanita itu justru tersenyum sambil mengusap pucuk kepalanya. Hal sederhana, tetapi mampu membuat hati Sheilla berdesir.
"Mama? Apa Mama ingat kapan terakhir kita sedekat ini? Kapan pula aku bisa leluasa melihat wajah Mama?"
"Yang pasti cukup lama, ya? Maaf, tapi sekarang bisa kita perbaiki. Kapanpun kamu butuh, Mana akan ada setiap saat," sahut Daisy gugup.
Tidak ada jawaban apapun dari Sheilla, dia juga bisa melihat raut tidak enak di wajah sang mama. Sepertinya rasa bersalah akan masalalu tetap bersemayam abadi di dalam hati wanita itu. tangan Sheilla terulur, mengusap lembut pipi Daisy. Hubungannya dengan Daisy suda membaik, bolehkah Sheilla berharap jika suatu saat nanti hubungannya dengan sang ayah juga mambaik?
“Trust me, pada akhirnya hati ayahmu akan terbuka dengan sendirinya. Tidak perlu memaksa, biarkan saja mengalir layaknya air. Karena pada akhirnya, tidak ada yang namanya mantan anak.”
“Apa iya seperti itu?” Sheilla menatap polos Daisy. Senyum wanita itu masih terpancar dengan jelas. Alih-alih menjawab, Daisy justru menutup wajah Sheilla dengan telapak tangannya.
Tawa keduanya menggema di ruang tamu yang awalnya terasa hening. Layaknya ibu dan anak pada umumnya, kali ini tidak ada rasa canggung pada keduanya.
***
“Kamu serius mau ikut Mama, Sheil? Lebih baik kamu di rumah, bisa istirahat.”
Sheilla menggeleng cepat, dia pun beringsut turun sebelum Daisy mengeluarkan suaranya lagi. Berdiam diri di rumah memang enak, akan tetapi rasa bosan Sheilla jauh lebih besar. Kalau memang niatnya ke sini untuk istirahat, di rumah pun bisa dia lakukan.
“Mama Cuma mau ketemu klien, memang kamu tidak bosan?”
Lagi-lagi Sheilla menggeleng, membuat Daisy tak bisa lagi menjawab selain mengangguk. Setelah mendapat persetujuan, Sheilla berlari kecil menuju kamar mandi. Melihat putrinya berlari tentu Daisy memekik kaget. Memang perutnya belum besar, tetapi resiko jatuh karena berlari pasti ada. Begitulah jadinya jika anak-anak akan mempunyai anak. Sepertinya nanti Mathew yang banyak bekerja.
Hari ini Daisy memang tidak ke kantor, tetapi dia harus menghadiri rapat di luar. Andai tidak penting, mungkin sudah dia tolak. Selagi menunggu Sheilla, Daisy membereskan beberapa berkas serta laptop untuk di bawa. Kegiatan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Daisy, apa lagi saat ini dia harus menjalankan hidup sendiri. Otomatis semua keperluan harus dihandle sendiri.
Semua perlengkapan sudah disiapkan, Daisy pun memilih turun terlebih dahulu meninggalkan Sheilla di atas. Saat ke luar rumah, Daisy sempat dibuat kaget oleh kehadiran dua sosok pria di depan pintu rumahnya. Kedua pria itu mundur, memberi akses Daisy untuk lewat akan tetapi, bukannya lewat wanita itu justru tetap diam.
"Kalian yang tadi bersama Sheilla?" tanya Daisy, sambil menatap satu per satu pria di depannya.
Salah satu pria itu mengangguk, lalu menjawab, "benar sekali, Nyonya. Kami mendapat tugas dari tuan Mathew untuk menjaga nona Sheilla. Jadi ke manapun nona Sheilla pergi, harus dalam kawalan kami. Ah, perkenalkan, saya Steven, dan ini rekan saya George."
Mendengar itu Daisy hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Terlebih saat dia tahu kalau ini atas perintah sang menantu.
"Tapi hari ini Sheilla mau ikut saya bertemu klien, apa kalian tetap mengawal? Mungkin Sheilla akan menghabiskan waktunya untuk belanja selagi saya meeting. Bagaimana?"
Steven dan George saling pandang, lalu keduanya kompak mengangguk.
"Mama, aku sudah siap!"
"Astaga, Sheill, bisa jangan lari seperti itu? Kamu sedang hamil, kalau jatuh bagaimana?"
Sheilla meringis mendengar sahutan Daisy. Selain sudah kebiasaan, Sheilla juga masih sering lupa kalau dia tengah mengandung. Iya, lupa kalau di dalam perut ada janin manusia tengah berkembang. Tangan Sheilla terulur mengusap-usap perutnya.
"Aku lupa, maafkan, ya! Nanti kita beli ice cream," ujar Sheilla dengan riang. Niat hati ingin buru-buru mengajak Daisy naik ke mobil, tetapi gerakan Sheilla terhenti saat dia melihat Steven dan juga George.
Astaga, Sheilla benar-benar lupa jika mulai hari ini dirinya akan ditempeli dua pria berbadan besar serta pakaian serba hitam.
"Kalian? Kalian pulang saja, aku ma—"
"Biarkan, Sheill. Mereka mendapat tugas dari Mathew, jadi harus dijalankan. Kalau tidak, mau mereka berdua kena omelan?" potong Daisy seperti tahu apa yang ingin anaknya utarakan. "Ayo berangkat, takut macet nanti. Biarkan mereka di belakang."
Tidak bisa menolak, alhasil Sheilla hanya pasrah. Mereka memang beda mobil, tapi tetap saja vibesnya menyebalkan.
"Aku bukan anak raja, kenapa pula mesti dikawal?" guman Sheilla yang masih bisa didengar Daisy.
"Tapi menyandang status nyonya Smith."
"Apa, sih, Mah!" Sheilla mendengus kesal mendengarnya. Kata-kata seperti itu rasanya sering Sheilla dengar. Ternyata seorang Mathew memang sudah mempunyai nama di negara ini.
Rasa kesal Sheilla berbanding terbalik dengan Daisy. Wanita betumur tiga puluh tujuh itu justru tertawa geli.
***
Sesuai dengan planning awal, Sheilla memang tak akan mendampingi Daisy meeting. Selain tidak ingin bosan, Sheilla juga tidak akan mengerti dengan apa yang mereka bahas. Dunia bisnis dengan keahlian yang dia ambil saat kuliah sangat berbeda. Maka dari itu, Sheilla memilih melipir ke mall.
Sesampainya di mall, toko tujuan pertama Sheilla tentu saja toko baju. Sejak dulu dia gemar sekali membel baju, bahkan bisa setiap hari. Hanya karena baju itu lucu langsung dibeli.
"Menurut kalian, bagus warna apa?" Tubuh Sheilla berputar ke belakang, kedua tangannya memegang dua dress dengan beda warna. Berhubung tak ada yang bisa dia tanyai, Steven dan George adalah solusi.
"Dua-duanya bagus, Nona."
"Steven benar. Dua-duanya bagus dan ... cocok untuk Nona," timpal George. Mengutip pengalaman, menemani wanita belanja adalah hal rumit.
Tidak puas.
Sheilla berdecak, dia sangat tidak puas mendengar jawaban kedua bodyguardnya itu. Kalau memang beli dua-duanya, kenapa juga harus bertanya? Memang menyebalkan! Ditarunya lagi kedua baju itu, lalu Sheilla melipir ke tempat lain. Jika tadi Sheilla sibuk memilih dress, kali ini dia berjalan ke arah pakaian santa.
Beberapa baju serta celana Sheilla ambil tanpa bertanya lagi. Puas mengambil setelan, langkah kaki Sheilla membawa dirinya ke deretan tas. Sheilla berdecak kagum, apa lagi saat melihat harganya.
"Pilih apa yang ingin kau mau."
***