JANGAN TERLALU PERCAYA DIRI

1024 Kata
"Aku bosan. Sungguh, aku bosan melihat wajahmu sepanjang hari! Apa tidak bisa sehari saja aku tidak melihat?" "Lalu sekarang kau mengacuhkan aku? Untuk apa semua ini? Kupikir manusia sibuk sepertimu tak akan melakukan hal unfaedah seperti ini." 'Kau sunggu berisik, Sheilla Watson!' Mendengar sahutan itu bibir Sheilla mengerucut. Walaupun keduanya terhalang jarak, tetapi tetap saja Sheilla merasa kesal. Bagaimana tidak kesal, sejak tadi Mathew menganggu dengan telepon dan juga video call. Sheilla yang terlanjur lelah pada akhirnya mengangkat panggilan itu. Saat sedang kesal-kesalnya, Sheilla teringat sesuatu. Hal itu membuat senyumnya merekah lebar. Sebelum memulai, Sheilla mengambil posisi duduk sembari menguncir rambut. "Kau sudah tidak marah padaku? Oh, iya, mana bisa seorang Mathew sanggup mendiamkanku." 'Jangan terlalu percaya diri.' Senyum Sheilla seketika berubah jadi tawa. Di sebrang sana Mathew memang sibuk menghadap laptop, tetapi bisa-bisanya tetap ingin video call. Dimana lagi coba mencari duplikat seperti Mathew? "Kenapa kau berangkat tanpa mengabariku?" 'Harus sekali aku kabari?' Tawa Sheilla meredup tergantikan decakan kesal. Ditanya apa, trtapi ada saja jawabannya. Ingin sekali Sheilla melempar kepala suaminya dengan batu kali. Tangan Sheilla terulur mengusap d**a sambil terus berguman. Menghadapi spesies seperti Mathew memang diperlukan kesabaran. "Lalu, untuk apa kita video call?" Hening. Baru Sheilla ingin mengeluarkan suara, tatapan Mathew sudah lebih dulu terpampang di layar ponsel. Ditatap lekat oleh Mathew Sheilla justru bersedekap d**a. Terkadang hati Sheilla berdesir, tetapi tidak kali ini. "Kenapa menatapku seperti itu? Apa aku terlihat cantik? Menawan? Ah, kau ini terlalu gengsi untuk mengakui, Math. Atau jangan-jangan kau jatuh cinta padaku?! Tidak heran, karna aku cantik." Antara kaget dan tidak, mendengar perkataan Sheilla membuat Mathew habis kata untuk menjawab. Karena jawaban apapun yang Sheilla lontarkan selalu di luar nalar otaknya. Alih-alih menjawab atau menyangkal, Mathew masih asik menatap gerak-gerik yang Sheilla lakukan. "Math, aku bosan. Boleh aku ke rumah Mama? Ummhh, tidak tahu, sih, Mama di rumah atau kantor." 'Tunggu Steven dan George.' Sebelah alis Sheilla terangkat mendengarnya. 'Mereka akan mengawalmu, mereka akan tiba sebentar lagi. Tidak ada penolakan, karna aku tidak terima.' "Loh, tap—" Tut! Belum selesai mulutnya berbicara, dengan lancangnya video call mati tanpa aba-aba. Sheilla menggeram kesal, saking kesalnya dia menutup laptop miliknya sekali hentak tanpa perduli jika laptop itu akan rusak. Tanpa fikir panjang lagi Sheilla beringsut turunz berlari kecil menuju lemari. Sheilla tak akan meminta izin dua kali, toh tadi dia sudah mengutarakan pada suaminya itu. Pintu lemari terbuka lebar, Sheilla diam sambil mengetuk-ngetuk dagunya. Pilihan bajunya sangat banyak, tapi tetap saja dia bingung ingin pakai yang mana. Beberapa saat memilih, pilihan Sheilla jatuh ke salah satu dress tanpa lengan berwarna pink selutut. Sebelum berganti pakaian Sheilla mempoles wajah dengan make up tipis. *** Selama diperjalanan Sheilla tak henti-hentinya tertawa. Bukan lagi karena ulah Mathew, tetapi ulah Chelsea. Dan dari percakapan itu pula Sheilla baru tahu kalau Mathew sempat mencari dirinya. Ah, apa ini yang dimaksud pembohong oleh Mathew? Bisa saja Sheilla marah pada Chelsea, tapi Sheilla juga sadar tidak memberi aba-aba pada sahabatnya itu. "Nona, kita mau ke mana?" "Eddelwis Park." Kedua pria yang duduk di depan kompak mengangguk. Sejujurnya Sheilla risih, tidak leluasa karena setiap langkahnya dikawal oleh mereka. Tapi untuk menolak, Sheilla pun enggan berdebat dengan Mathew. Alhasil, dengan penuh keterpaksaan Sheilla manut. Sekitar setengah jam berada diperjalanan, kini mobil yang Sheilla tumpangi berhenti tepat di salah satu rumah yang super megah. Dulu selagi ada opa serta oma-nya Sheilla sering sekali ke sini. Ibarat kata, datangnya Sheilla ke sini untuk mencari kehangatan atau lebih sering tempat ngumpat dari ocehan ayahnya. Akan tetapi, semenjak keduanya meninggal, Sheilla hidup dalam ketakutan serta tekanan. Beberapa tahun berlalu, akhirnya Sheilla menginjakkan kakinya ke sini kembali. Saat sedang asik melamun, Sheilla sampai tidak sadar jika pagar hitam di depannya terbuka. Jiwa Sheilla yang melayang seketika kembali saat punggungnya diusap lembut. "Kenapa tidak langsung masuk, Sheill?" Sheilla menggigit bibit bawahnya seraya menjawab, "aku ... aku jadi ingat opa sama oma. Dulu mereka yang menjagaku, tapi sekarang mereka tidak ada." Seulas senyuman tipis tergambar di bibir Daisy. Tidak perlu penjelasan panjang karena Daisy sudah tahu ke mana arah pembicaraan putrinya. Daisy mengajak Sheilla masuk, terlebih dia sudah menyiapkan beberapa makanan. "Gimana trimester pertamamu, Sheill? Apa juga perubahan yang kamu rasai?" tanya Daisy saat keduanya sudah duduk di ruang tamu. Tidak langsung ada jawaban dari Sheilla, karena dia lebih tertarik mengambil cemilan cokelat yang tersaji. Selain matcha, Sheilla memang pecinta cokelat. Apapun yang manis, itulah kesukaannya. Sekilas Sheilla melirik Daisy, ternyata wanita itu masih setia menatapnya. "Apa Mama tidak kesepian di rumah sendiri?" "Lalu kalau Mama kesepian harus ke mana memangnya?" Sebelah alis Daisy terangkat menatap Sheilla. "Tinggal bersamaku dan Mathew contohnya." Daisy tertawa. Apa katanya? Tinggal bersama anak dan menantunya? Bukan ide konyol memang, ditambah bukan ide gila. Hanya saja Daisy tidak ingin ikut campur dalam keluarga anaknya. Perihal kesepian, Daisy masih lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja, jadi waktu di rumah lebih sedikit. "Sebentar lagi rumah ini ramai kok. Apa lagi kalau cucu Mama sudah lahir, apa tidak ramai?" Mendengar itu Sheilla hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Cucu. Ah, iya, cucu. Dalam hati Sheilla tertawa geli, apa benar dia akan menjadi ibu? Kira-kira akan ada kehebohan model apa nanti? "Soal Mathew, Sheill. Gimana Mathew sama kamu? Di belakang Mama dia menjaga kamu dengan benar?" "Sure! Dia memang menyebalkan, tetapi dia jauh lebih baik. Di dekat dia aku merasa nyaman. Aku bingung, apa aku sudah memiliki rasa padanya, Mah?" Sheilla menerjap, menatap polos wajah Daisy yang duduk tepat di sampingnya. Lega, itulah yang Daisy rasakan. Obrolan keduanya sempat terhenti karena Alina—asisten rumah tangga Daisy membawa makanan serta minuman. Melihat itu tentu saja Sheilla bersorak senang. Kalau seperti ini ceritanya, sampai malam pun Sheilla betah tidak pulang. "Porsi makanmu bertambah ya? Tapi tidak apa, yang terpenting harus seimbang gizinya. Satu lagi, jangan banyak bertingkah, ingat lagi hamil." Daisy menyentil pelan hidung Sheilla, membuat wanita itu tertawa kecil. Puas makan, kini Sheilla merebahkan kepalanya di paha Daisy. Dari bawah Sheilla terus menatap wajah wanita yang sudah melahirkannya dengan selamat. Walaupun sejak dulu hubungan mereka sedikit berantakan, tetapi kini mulai membaik. Tapi apa iya jika mau membaik harus ada masalah dulu? "Mama ... apa Mama sedih melihat berita akhir-akhir ini? Apa keputusanku salah, Mah?" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN