“ April bukan anak kandung papa sama mama ya?” tanya April kepada sang papa.
Seolah tersengat listrik, papa April terdiam mendengar pertanyaan April. Sementara April bingung melihat sikap papa-nya. “ Ya kan, pa? April bukan anak kandung keluarga ini?” April mengulang pertanyaannya. “ Jawab pa?”
“ Kok kamu punya pikiran kayak gitu sih?” tanya papa-nya.
“ Ya aneh aja. Golongan darah April A, sementara di keluarga kita golongan darahnya O.” Jelas April.
Papanya gelagapan. Saat tahu Bi Sari masuk dalam kamar rawat April, papa April langsung memanggilnya mendekat. “ Sini!” ucap papa April ke Bi Sari.
Sementara April tersenyum geli. Abis, papa manggil Bi Sari kayak manggil temennya aja.
Setelah membisikkan beberapa kata, Bi Sari dan Papa April pamit untuk keluar sebentar. Sementara April masih bingung di kamarnya.
April mengajukan pertanyaan itu bukan tanpa alasan. Dia merasa aneh. Hubungan darah dengan orang tuanya tidak seperti anak dan orang tua lain. Seperti kurang bisa menyatu. Sudah sejak dulu dia merasakan keanehan ini. Seperti tidak ada hubungan batin. Dan yang lebih meyakinkannya adalah saat dokter mengecek golongan darahnya. Dan memang, hasilnya berbeda dengan golangan darah kedua orang tuanya.
Tak lama, Bi Sari dan Papa April masuk lagi. Wajah keduanya sedikit gelisah. Entah apa yang sudah di sepakati kedua orang tua itu.
“ Jadi, papa mau jelasin sekarang ke April?” tanya April.
Bi Sari dan Papa-nya saling berpandangan, lalu sama-sama menghela napas pasrah.
April tau apa yang dikhawatirkan kedua orang tua itu. Kondisinya. April tau, dia masih dalam kondisi labil. Mungkin papa-nya tidak mau pikiran April goyah dan membuat-nya menjadi junkies lagi.
“ April siap kok pa, dengan semua penjelasan papa. April janji, April nggak akan begini lagi. Asal papa jujur sama April.” Pinta April sungguh-sungguh.
Bi Sari dan papa April saling berpandangan lagi. Akhirnya, Bi Sari berjalan mendekati April dan duduk di ranjang di samping April. Bi Sari menghela napas, lalu memulai ceritanya,
“ Jogja, tujuhbelas tahun lalu. Tepatnya bulan April. Tepat sembilan bulan ibu neneng mengandung “kalian”.” Bi Sari berhenti sejenak. Membiarkan April meresapi kata “kalian” yang di maksud Bi Sari. Namun, April memilih mendengarkan cerita itu sampai habis. Sampai ia menemukan jawabannya dari Bi Sari sendiri.
Bi Sari menarik napas, lalu melanjutkan ceritanya, “ Waktu itu, tepat malam harinya. Ibu neneng melahirkan kalian. Neneng, dan saudara-saurara neneng. Neneng masih punya dua adik lagi. Adik kembar. Kalian bertiga kembar.”
April terenyak tak percaya. Sama sekali tidak menyangka kalau punya dua saudara lain. Saudara kembar! Kembar dengannya!
“ Ibu kalian sangat senang mendapatkan tiga anak kembar sekaligus. April lahir tepat tanggal 30 April, jam duabelas kurang dua menit. Semerntara, si penengah, Sadam, lahir tepat satu Maya pukul dua belas. Dan yang terakhir, Maya, lahir tanggal satu Maya jam kosong lebih dua menit. Anehnya, Sadam jenis kelaminnya laki-laki, tidak sama dengan kamu dan Maya.”
“ Kok Bi Sari tau banget?” potong April di sela-sela cerita Bi Sari.
“ Di Jogja, profesi Bi Sari dan ibu neneng sama, pembantu. Bi Sari sangat akrab dengan ibu neneng. Ayah neneng tkw dan sampai neneng lahir, ayah neneng nggak pulang-pulang. Saat kalian lahir, ibu neneng bingung bagaimana merawat kalian bertiga, apa lagi, saat itu Maya sedang sakit.”
Bi Sari melanjutkan ceritanya, “ Waktu itu, ibu neneng bersahabat sama Bi Sari dan satu orang pembantu lagi, Mbok Asih. Dan ternyata, Tuhan menyelamatkan kalian. Kedua majikan Mbok Asih dan Bi Sari sangat menginginkan seorang anak. Akhirnya, April di titipkan kepada Bi Sari, Sadam ke Mbok Asih, sedangkan Maya tetap bersama ibu, karena ibu tidak tega menitipkan Maya yang sedang sakit.” Bi Sari berhenti bercerita. Untuk kesekian kalinya dia mengambil napas.
Sementara April menyimak dengan tidak percaya semua cerita-cerita Bi Sari. Namun, mau tak mau, itu sudah takdir-nya. Dia sama sekali tidak percaya dengan Maya maupun Sadam.kembar tiga? Baginya, kembar dua saja kasat mata.
“ Untungnya, nyonya dan tuan sangat menerima kedatangan neneng yang di bawa oleh bibi, begitu juga dengan orang tua angkat aden Sadam. Sampai saat itu, ibu neneng masih sering mengunjungi neng April dan Aden Sadam. Sampai akhirnya, saat umur neng April baru beberapa bulan, nyonya dan tuan memutuskan untuk pindah ke Jakarta, dan meninggalkan Jogja. Sampai saat ini Bi Sari kehilangan kontak dengan ibu neneng, karena jaman itu belum ada handphone.”
“ Jadi Bi Sari nggak tau Ibu sama Maya ada di mana sekarang?’ tanya April sangat berharap.
Bi Iyah menggeleng pasrah, “ Maaf neng, Bi Sari nggak tau.” Ujarnya lemah.
April tertunduk lemah.
“ kabar terakhir yang Bi Sari tahu saat neng April baru berumur 2 tahun. Keluarga angkat Sadam pindah tempat tinggal, tapi tetap di Jogja. Juga kabar meninggalnya Mpok Asih.” Ucap Bi Sari, “ Waktu itu, kami bertiga berkomitmen untuk menceritakan sebenarnya kepada neneg dan Sadam, karena kalian yang tertua. Namun, akibat meninggalnya Mpok asih, kemungkinan besar Sadam tidak tahu mengeni ini.”
“ Udah, Cuma itu?” tanya April. Dahinya mengernyit.
Bi Sari tampak berpikir, tak lama kemudian Bi Sari menjentakkan jarinya, “ Bi Sari inget! Ibu neng April meninggalkan wasiat buat dan hanya untuk neng April!’ ujarnya girang. Mendengar itu, April juga ikut girang. Tak sampai lima detik, wajah Bi Sari tiba-tiba suram lagi, “ tapi Bi Sari nggak tau wasiat itu berupa apa.”
Tieng!
April menepuk jidatnya. Begitu juga papa April yang sejak tadi hanya duduk dan mendengarkan cerita Bi Sari.
“ Masa ibu nggak ngasih Bi Sari apaaa gituuu sewaktu nitipin April?” tanya April. Bi Sari menggeleng. “ Terus apa donggg?” tanya April pasrah.
Ketiga orang dalam kamar rawat April sejenak berpikir.
Tiba-tiba April teringat sesuatu. Sebuah benda. Benda berharga yang tidak tahu bagaimana bisa ada padanya. Benda yang selama tujuhbelas tahun tidak pernah dilepasnya. Gelang perak yang selalu tersemat di tangan kirinya!
Buru-buru April melepas benda putih dengan liontin huruf J. Gelang itu tampak sedikit longgar karena tangan kurus April yang terkikis obat-obatan. Diperiksanya setiap inci gelang itu dengan sangat-sangat teliti. d**a April terasa sesak saat menemukan suatu ukiran buram di balik liontin huruf J itu.
Pantas saja selama ini April tidak pernah menyadari ada ukiran di balik liontin itu, meskipun sudah belasan tahun dia mengenakannya. Ukiran itu sangat buram dan samar. Lebih tepat dikatakan tulisan dari pada ukiran. April sampai harus memicingkan mata untuk melihat ukiran itu.
TEMUKAN MEREKA
00000
Sudah satu minggu April menjalani kehidupannya di panti rehab. Dan April baru sadar, kalau tindakannya selama ini memang cukup parah, meskipun ia tidak melakukan free seks seperti kebanyakan gadis untuk mencari kepuasan. Tapi, dia masih waras!
Tidak terlalu buruk menurutnya, tinggal di panti rehab. Suasananya mendukung untuk melakukan hobi baru April yang sedang ia lakukan sat ini, menulis. Dan karena kegiatan menulis ini, dia jadi tidak terlalu masalah-masalah barunya saat ini.
Semenjak Bi Sari menceritakan mengenai asal-usul April, dan wasiat ibu-nya untuk menemukan kedua adiknya, April jadi agak kepikiran. Belum lagi, kata Kak Rangga, kaki-tangan Leito mulai mencari-cari April yang tiba-tiba saja menghilang.
Tapi, April sudah berjanji pada dirinya sendiri, untuk tidak kembali memakai drugs lagi. Meskipun, tidak untuk yang lainnya.
April menggaruk-garuk kepalanya. Inspirasinya tiba-tiba tersendat gara-gara memikirkan masalah yang ujungnya aja nggak kelihatan. Akhirnya, April memutuskan untuk searching lagi.
Yang paling bikin April betah di panti rehab ini adalah: Hot Spot-nya cepet banget. Tidak rugi dia memaksa papa-nya untuk “membekalinya” laptop. Dan yang April cari di Internet cuma satu, sekolah Maya di Jogja.
Kenapa nggak nyari sekolah Sadam aja?
Karena April nggak tau nama belakang Sadam. Sedangkan di Jojga nama Sadam ada bejibun!
Nah, kalau nama Maya, gampang. Nama belakangnya sama persis kayak April, Alveila. Kan kalo Sadam nggak mungkin jadi Sadam Alveila. Nggak jelas dong cewek apa cowok!
Nah, cari satu nama yang udah jelas aja masih keawalahan. Masalahnya, SMU di Jogja nggak cuma satu. Belum lagi kalau ternyata Maya sekolah di SMK, atau malah pesantren. Kan gawat tuh! Tapi yang pasti, Maya kelas dua, mau naik ke kelas tiga SMA, sama dengannya.
Dan saat April tengah menelusuri nama-nama siswi kelas dua di SMU Pancasila, sesorang menepuk pundaknya. Saat menoleh dan melihat siapa yang menepuk pundaknya, April mendengus kesal lalu kembali memerhatikan laptopnya.
Ini nih, biang masalah April di panti rehab! Nggak lain ya tentor-nya sendiri. Kadang dia menggerutu dalam hati, kenapa dia nggak mendapatkan tentor lain saja. Nggak papa deh, kalau harus dapat tentor galak kayak Mbak Nely. Atau yang baik sekalian kayah Mbak Rahma. Pokoknya tentor lain deh! Yang nggak suka memberi sanksi kayak iblis yang lagi cengengesan di samping April ini.
Sebenernya, Mas Bisma ini nggak jelek lho. Malah banyak tentor-tentor (suster) dan pasien cewek yang naksir sama Mas Bisma. Saat pertama kali dikenalkan dengan Mas Bisma, April sih seneng-seneng aja. Menurut cerita para suster ( CUMA CERITA!) katanya Mas Bisma itu orangnya baiiikkkk bangeeetttt. Katanyaaaaa!!!!
Tapi yang paling penting itu memang kenyataannya, bukan katanya! Dan kenyataan seratus delapan puluh derajat berbeda dengan cerita suster-suster itu. Menurut April, Mas Bisma itu sama kayak iblis penyiksa yang dibiarkan berkeliaran oleh Tuhan dan dianugrahi tampang yang memadai. Jahilnya nggak ketulungan!
Dan selalu ada alert setiap Mas Bisma mau melancarkan aksi-nya. Salah satunya ya sekarang ini, cengengesan nggak jelas!
“ Ngapain Jun?” tanya Mas Bisma basa-basi. April hanya menanggapinya dengan lirikan tajam. “ galak banget sih?’ Mas Bisma semakin menggodanya.
“ Nggak usah mulai deh! Gue panggilin pengawas nih!” ancam April.
“ Panggilin aja! Ntar biar gue lapor sama bokap lo, kalo elo masih suka ngerokok di kamar mandi!”
Telak serangan balik dari Mas Bisma! April menatap iblis yang sedang cengengesan itu dengan sinis. April kembali fokus dengan laptopnya.
“ Jun, lo nggak bosen mantengin laptop mulu?” tanya Mas Bisma lagi.
“ nggak! Dari pada gue mantengin elo! Bisa rabun gue lama-lama.”
Mas Bisma berdecak, “ Lo aja yang nggak nyadar, betapa gantengnya gue!” ujarnya pede.
April mencibir. Lebih ganteng Aksa dari pada elo, tauk! Batinnya.
“ Ikut gue yuk!” Mas Bisma mencekal tangan April.
“ Nggaaaaak! Gue nggak mau lo ceburin ke kolam ikan lagi! Masih mending kalo ikannya bukan ikan lele!” gerutu April.
“ Yaelah! Nggak lah! Tobat gue!” ujar Mas Bisma, “ Ayo dong! Bentar aja! Ntar kalo lo nggak suka, lo boleh pergi.”
Akhirnya, dengan hati yang sangaaatttt berat, April mengikuti Mas Bisma. Batinnya agak sedikit tenang saat arah mereka tidak menuju kolam yang berisi lele dumbo! Tapi mereka menuju ke arah sebuah ruangan di salah satu koridor.
Mas Bisma membuka rungan itu dan mempersilahkan April masuk. Ternyata ruang itu ruang jahit. Ruangannya rapi dan luas. Ada tiga rak di ruangan itu. Dua rak untuk menyimpan bahan-bahan dan peralatan menjahit, sedangkan yang satu untuk menyimpan hasil jahitan. Hasil yang paling banyak jahitan bantal, ada juga beberapa boneka.
“ Ini buatan gue. Tapi belom jadi.” Ujar Mas Bisma sambil memperlihatkan boneka beruang yang memang masih setengah jadi. Kedua tangannya masih belum terpasang, serta belum ada wajahnya.
“ Terus, ngapain lo bawa gue ke sini?” tanya April.
“ Kata bokap lo, dulu elo suka njahit! Makanya, gue ajak elo kesini. Dari pada ntar lo kena katarak gara-gara liatin laptop mulu.” Ujar Mas Bisma.
April tersenyum. Dulu, setiap sore, April selalu ada les menjahit dengan ibundanya. Sudah banyak hasil jahitan kolaborasi antara April dan Ibundanya.
“ Yuk!” ajak Mas Bisma, “ Lo nggak lupa cara njahit kan?”
April menggeleng.
Ternyata Mas Bisma memang nggak seburuk itu.
00000
AKHIRNYA!
April berteriak gembira dalam hati! Dia tidak bisa begitu saja berteriak keras-keras, takut-takut kalau nanti bantal teman-teman sekamarnya melayang semua ke arahnya.
April memastikan sekali lagi apa yang baru saja di lihatnya:
Nama: Maya Alveila
TTL: Jogja, 1 Maya 1993
Alamat: Jl. Ketoprak no. 22 Jogja
Kelas : 2 IPA 3
Benar! Itu adiknya! April memerhatikan dengan seksama foto gadis di samping biodata itu.
Mirip. Sangat mirip dengannya dulu. Rambutnya yang bergelombang dan kecoklatan terurai. Membuat senyum Maya semakin manis. Mungkin, Maya tidak akan menyangka mempunyai saudara yang sangat mirip dengannya, kecuali ibu-nya menceritakan yang sebenarnya.
“ Jalan Ketoprak nomer 22, Jogja.” April menggumamkan alamat itu. Alamat yang saat ini ditinggalin adik dan ibu yang sudah tujuh belas tahun tidak ia temui. Tapi, dia tidak akan mengunjungi alamat itu. Tujuan pertamanya: SMU Harapan Nusa