Sudah berhari-hari, drugs-drugs itu berselancar dalam darah April. Efeknya luar biasa. Akibatnya, wajah April setiap hari semakin nampak pucat dan tubuhnya semakin kurus. Menyadari ada yang aneh, Aksa semakin memperketat pengawasannya terhadap April.
Suatu malam, Aksa berhasil membuntuti April setelah berkali-kali ketahuan. Aksa sedikit tersentak saat April memasuki sebuah diskotik. Setaunya tempat seperti itu banyak eksekutif gila dengan gadis-gadis call yang juga sama gilanya. Tapi, pikiran Aksa tentang April sebagai gadis call langsung terhapus saat itu juga, menyadari mana ada gadis call yang sedang mencari mangsa dengan memakai jeans, kaos oblong, serta jaket.
Setelah benar-benar tidak tahu tujuan April mendatangi diskotik itu, Aksa membuntutinya hingga masuk ke dalam diskotik. Aksa yang bersembunyi di belakang DJ melihat hal yang tidak pernah diharapkannya dari April.
Pertama, Aksa pikir yang akan dipesan April adalah sebotol Gin atau Sherry. Kalau kedua minuman itu, memang favorit Aksa dan April. Tapi, mata Aksa membelalak saat yang datang bukanlah botol anggur di dalam ember penuh es, melainkan sebotol minuman berakohol.
Aksa terus mengawasi. Barangkali, April memesankan minuman itu untuk orang lain. Namun, harapan Aksa lenyap saat April membuka botol itu dan langsung meminumnya, tanpa memperdulikan gelas di desk bar.
Aksa menghela napas kecewa. Dengan perasaan amburadul, dihampirinya April.
Sementara April yang sama-sekali tidak mengetahui keberadaan Aksa hanya terduduk sambil minum. Sejak pagi tadi, pikirannya galau, sementara barang dari Leito tidak juga datang. Jadinya, April memutuskan untuk ke diskotik dan minum.
Saat akan meneguk lagi, seseorang menepuk bahu April. Reflesk, April menoleh ke belakang dan meletakkan botolnya di desk bar. Seketika, wajah April memucat saat dilihatnya Aksa yang menepuk pundaknya.
“ Pulang.” Ujar Aksa tanpa basa-basi. Setelah meletakkan lima lembar uang seratus ribuan, Aksa menarik tangan April dan membawanya keluar dari diskotik.
April masih terpaku saat Aksa membawanya keluar dari diskotik. Tangan Aksa menggenggam kuat tangannya tanpa menoleh ke belakang. Yang bisa ditatap April hanyalah punggung bidang Aksa.
Aksa menghentikan langkahnya saat mereka berdua sampai di suatu tempat yang cukup jauh dari diskotik itu. Karena tidak fokus, April tidak tahu kalau Aksa sudah berhenti dan masih melangkah sehingga dia menabrak punggung Aksa.
“ Aduh.” April memekik, tangannya memegangi jidatnya yang serasa menabrak tiang.
Mendengar April mengaduh, Aksa berbalik badan menghadap April. April mengira kalau Aksa akan marah-marah. Namun, yang dilakukan Aksa adalah mengelus lembut jidat April yang menabrak punggungnya. Perlahan tangan Aksa turun dan membelai lembut pipi April. April hanya menatap Aksa heran. Semakin lama, wajah Aksa semakin dekat dengan wajahnya hingga akhirnya, satu kecupan Aksa mendarat di bibirnya.
“ Kenapa?” tanya Aksa setelah melepaskan ciumannya. Lidah Aksa menjilat sisa alkohol yang menempel di bibirnya.
April tidak dapat menjawabnya. April hanya tertunduk lemah.
“ Apa harus begini?” tanya Aksa lagi. Sementara April menunduk semakin dalam. Aksa menghela napas, sepertinya pertanyaan bukan sesuatu yang diinginkan April saat ini. Perlahan Aksa mengulurkan tangannya dan dipeluknya April dengan sayang, “ Jangan diulangi lagi.” Ujar Aksa akhirnya.
April hanya terdiam di pelukan Aksa. Lalu April mengangguk. Aku nggak janji Aksa.
00000
Aksa masih curiga. Tidak mungkin hanya karena alkohol dan rokok, fisik April jadi pucat dan kurus seperti itu. Kalau membuntuti tidak berhasil, kali ini Aksa memilih untuk menggeledah kamar April. Ia tahu ini lancang, tapi ini demi April juga. Ia begitu menyayangi dan mengkhawatirkan April sampai-sampai terpikir untuk melakukan ini.
Sejak pagi tadi, April sudah pergi ke Bali. Sendirian. Meski memahami, biasanya Aksa sedikit murung kalau April pamit akan pergi ke Bali. Namun kali ini, ia justru menjadikannya kesempatan.
Sudah sejak lama, setiap April merasa bosan, dia akan langsung memesan tiket dan terbang ke Bali. Maka begitu mendengar kabar itu, siang itu juga Aksa langsung bergegas ke rumah April setelah sebelumnya bersekongkol dengan Bi Sari, untuk memastikan keadaan rumah aman.
“ Gimana Bik? Aman kan?” tanya Aksa saat dirinya berada di teras rumah April. Motornya terparkir di luar garasi.
“ Beres Mas. Mas Aksa masuk aja. Mas tau kan kamarnya Neneng April?” ucap Bi Sari.
“ Tau lah!” jawab Aksa. Aksa jelas tahu. Bahkan sebelum mereka pacaran, saat terhitung masih dekat, Aksa sudah sering main ke rumah April. Sesekali cowok itu ngobrol bersama April di kmar gadis itu. Aksa melirik sekitar, lalu menatap Bi Sari. “ Bibi sekarang jaga-jaga dulu di sini. Biar saya yang nggeledah kamarnya. Nanti kalo saya nemuin barang aneh, bibi saya missed call.” Jelas Aksa, memberikan instruksi.
Sementara Bi Sari yang ndeso masih bingung dengan perkataan Aksa, “ Miscol itu kan yang pemilihan cewek-cewek cakep itu Mas?”
Aksa berdecak. “ Alah! Itu miss universe! Bibi ngaco ah!” dumelnya. “Maksudnya itu saya telfon lewat hp saya, tapi jangan di angkat. Bibi langsung ke atas aja!” jelas Aksa lagi.
Bi Sari mangut-mangut. Namun, saat Aksa akan masuk ke dalam rumah, Bi Sari mencekal lengannya, “ Tapi bibi nggak punya hape Mas!”
Alamak! Aksa menepuk jidatnya! Gimana mau missed call? Yang mau di- missed call nggak punya hape! Bisa-bisanya bokap April nggak membelikan pembantunya hape! Tuh kan, Aksa jadi senewen.
Aksa merongoh saku celananya. Dikeluarkannya hp butut miliknya lalu ia serahkan ke Bi Sari. “ Kalo yang ijo buat ngangkat telefon, kalo yang merah buat matiin.” Jelas Aksa lagi.
Bi Sari manggut-manggut lagi, kali ini benar-benar mengerti. Digenggamnya ponsel itu di tangannya dan Bi Sari mulai berjaga-jaga di depan rumah.
Sementara itu, Aksa mulai naik ke lantai dua, letak kamar April. Setelah ia sampai di sebuah kamar dengan pintu bertuliskan Angel & Evil, Aksa memutar kenop pintu itu. Dibukanya secara perlahan dan was-was, karena terkadang, kamar April penuh dengan jebakan. Tidak jarang sesuatu menimpa kepala Aksa saat membuka pintu kamar April. Dari tepung, telur busuk, sampai oli bekas pernah mendarat di kepala Aksa. Dan saat melihat cowoknya basah kuyup dan bau, April akan langsung tertawa lalu berlari untuk memeluknya. Begitulah mereka dulu.
Merasa keadaan aman, Aksa mengendap-endap memasuki kamar yang segala sesuatunya serba putih itu. April memang maniak warna putih, fanatik.
Aksa mulai menggeledah setiap sudut kamar April. Cukup mudah menggeledah kamar itu, karena di dalam kamar itu hanya ada satu buah lemari pakaian, satu buah rak buku, kasur, dan meja lampu. Terlalu sedikit untuk memenuhi kamar yang luas ini.
Awalnya, Aksa tidak mendapatkan sesuatu yang mencurigakan, sampai akhirnya ia memeriksa rak buku April. Aksa sedikit curiga melihat dua kamus tebal yang tidak berdebu, sedangkan buku-buku lainnya tampak lebih lusuh. Itu tanda bahwa dua buku itulah yang terakhir dibaca April. Sedikit aneh, karena April sangat jarang membaca kamus, kecuali saat sekolah.
Aksa mengambil kedua kamus itu lalu duduk di atas ranjang. Diletakkannya salah satu kamus di atas pangkuannya. Semakin terasa aneh saat Aksa merasakan kalau kamus itu terlalu enteng untuk ukuran kamus setebal itu. Aksa terkesiap saat membuka kamus itu. Yang ia lihat bukan berlembar-lembar kertas dengan tulisan-tulisan kecil. Melainkan, beberapa suntikan. Dengan galau Aksa membuka kamus satunya, dan isinya lebih mengejutkan lagi. Obat penenang.
Sangat cermat April menyembunyikan barang-barang haram itu. Dia membuat ruangan berbentuk segi empat di tegah-tengah tebalnya halaman kamus dan meletakkan barang-barang tak layak itu di dalamnya. Benar-benar kasat mata.
Seperti orang kesetanan, Aksa buru-buru mengambil ponsel dan menelefon Bi Sari.
Sementara di depan rumah, Bi Sari terlonjak kaget saat benda mungil nan canggih di tangannya bergetar. Ada tanda panggilan masuk dan seperti yang dikomando Aksa tadi, Bi Sari mematikan panggilan Aksa itu. Baru saja Bi Sari akan meletakkan hp itu di saku dasternya, benda itu bergetar lagi. Namun, lagi-lagi, Bi Sari dengan mantap menekan tombol merah.
Sementara di kamar April, Aksa menepuk jidat-nya, gemas. Sekali lagi, ia berusaha menghubungi Bi Sari. Dan yang terakhir ini, baru diangkat,
“ Kok dari tadi saya telfon nggak diangkat si Bik?” tanya Aksa kesal.
“ Katanya Mas Aksa tadi kalo ada telfon nggak boleh di angkat! Ya makanya saya matiin.”
Jiah! Aksa menghela napas. Benar juga! Yang ini memang salahnya.
“ Ya udah! Bibi sekarang buruan ke sini.” Ucap Aksa cepat.
“ Ha? Ke mana Mas?” tanya Bi Sari blo’on.
“ Ke kuburan! Ya ke kamar April Bi Iyaahhhhh!!!!!”
“ Aduh. Iya mas, nggak usah teriak! Pas di telinga nih. Iya, bibi ke sana.” Ucap bibi.
Telepon sama-sama ditutup. Tidak lama kemudian, Aksa mendengar derap kaki mendekat. Hanya sekejap, Bi Sari sudah sampai di kamar April, “ Ada apa sih, mas?” tanya Bi Sari khawatir saat melihat raut kecewa di wajah Aksa.
Tanpa berkata apa-apa, Aksa menunjukkan benda-benda haram yang barusaja ia temukan. Seperti Aksa tadi, Bi Sari terkesiap melihat suntikan dan obat-obat itu. Bi Sari sama sekali tidak menyangka akan seperti ini.
Bi Sari mendekati Aksa dan duduk di sebelahnya. Diusapnya dengan lembut kepala Aksa untuk menenangkannya.
“ Kenapa sampai begini sih Bi?” tanya Aksa. Suaranya menyerak, seperti ada sesuatu yang berusaha ia tahan.
Bi Sari menghela napas. Dia tidak akan menyalahkan April, karena dia tahu, apa alasan April melakukan semua itu. Dan mungkin, ia memang harus menceritakannya kepada Aksa.
“ Sebenarnya, ada sesuatu, yang harus saya ceritakan kepada Mas Aksa.” Ucap Bi Sari membuat Aksa sontak menoleh.
“ Apa Bi?”
“ Suatu rahasia. Kenapa Neneng April melakukan semua ini.”