~♥~♥~♥~
"Love has come
But you say you're going
I'm waiting for you
But you're saying I can not see you anymore
Always like a fool
This story flows like tears
See you later , goodbye" – Hello, Goodbye (Hyorin)
~♥~♥~♥~
Sekarang, jika kupikir lagi, hari itu begitu sempurna. Saat aku bangun tidur, aku merasakan bahagia yang teramat ketika sinar matahari masuk dengan cerahnya ke kamarku lewat jendela. Kemudian, aku membuat telur ceplok untuk dimakan bersama-sama. Ketika aku dan Iqbal berangkat ke sekolah bersama untuk pertama kalinya, dan hubungan kita yang semakin dekat. Cuacanya juga begitu cerah, dan aku merasa bahagia sekali.
Segala sesuatu berjalan sempurna untuk kemudian mengantar aku mendengar kabar duka ini.
Aku memandang Iqbal yang masih menangis di depan pusara Bundanya. Orang-orang yang lain yang ikut memakamkan jenazah Bunda sudah pulang sejak tadi. Juga teman-teman sekolah Iqbal.
Ayah Iqbal, Mama dan Danang sudah kembali ke mobil, mereka sengaja memberikan waktu untuk Iqbal. Sedangkan Papa, masih belum bisa pulang setelah mendengar kabar ini. Aku sebenarnya marah, tapi mau bagaimana lagi? Aku tahu galaknya bos Papa di Singapura. Jadi, kami memaklumi setelah Papa titip salam.
Yang kemudian menyisakan aku dan Iqbal di sini. Di tempat persinggahan terakhir Almarhumah Bunda di kota ini, kota kelahirannya.
Aku berjongkok di samping Iqbal. Pemuda itu sangat terpukul dan terus menangis. Dan jujur, ini pertama kali aku melihat Iqbal menangis sesenggukan seperti itu. Hal itu terdengar menyakitkan di telingaku, aku pun ikut menangis karenanya.
"Iqbal..." Aku mengusap punggungnya.
Kini ia meredakan tangisnya, meski aku masih mendengar sesenggukan darinya. Iqbal memandangku dengan mata bengkak. Aku benar-benar sedih melihat kondisinya.
"Kamu harus ingat satu hal, Bal. Orang yang ditinggalkan harus hidup bahagia. Sesekali mereka bisa menangis, tapi juga harus tertawa dan hidup dengan baik. "
Aku tersenyum. Bersikap sok kuat di hadapan Iqbal. Karena aku tahu, salah satu harus menjadi sosok penghibur disini, dan ini tugasku.
"Kita pulang? " tanyaku.
Oh Iqbal, aku benar-benar sedih melihatmu begini.
Iqbal menatapku sembari menghapus jejak airmata di pipinya. Ia mengangguk lemah. Seolah tidak punya kekuatan untuk mengatakan satu katapun. Tapi yang membuatku akhirnya bangga padanya adalah, Iqbal masih tersenyum membalas senyumanku.
Aku yang bangun terlebih dulu, kemudian mencoba menariknya ikut berdiri. Kupapah Iqbal, dan menyongsongnya menuju mobil. Di dalam mobil, Ayah Iqbal, Mama dan Danang menyambutnya dengan keadaan mata yang sama mengenaskannya denganku.
Iqbal, kamu harus kuat. Aku akan selalu ada di sisimu..
~♥~♥~♥~
"Iqbal, makan yuk?"
Aku berdiri di depan kamar Iqbal dengan membawa nampan berisikan makanan. Iqbal diam tidak menyahut. Kepalanya bergeleng lemah. Iqbal memunggungiku, bersandar pada pinggiran ranjang.
"Bal, kamu belum makan loh dari tadi pagi, " ujarku masih berusaha membujuk. Pemuda itu kemudian membalikkan punggungnya dan menatapku sebentar. Tapi selanjutnya ia kembali larut dalam diamnya, sambil menggeleng.
Di sampingku, Danang terlihat bersedih menatap Iqbal. Adikku ini juga ikut menangis tadi, oh tidak, mungkin semenjak Iqbal meneteskan airmata kemarin sore. Apalagi Mama yang tidak kalah sedihnya.
"Mas, aku bakal kasih game terbaruku yang udah diupgrade, kalau mas Iqbal mau makan." Danang ikut membujuk Iqbal.
Danang menatapku sedih ketika tidak mendapat respon Iqbal. "Kak.. gimana dong? " tanyanya sambil berbisik kepadaku.
Aku mengedikan bahu dan menggeleng.
Tiba-tiba Iqbal berdiri dan berjalan ke arah kami. Pemuda itu tersenyum di depan kami. Aku hampir meneteskan airmata lagi melihatnya.
"Aku... baik-baik aja kok," Iqbal membuka mulutnya yang sedari tadi bungkam. Dengan suara seraknya, ia melanjutkan. "Aku butuh waktu ....sendiri... nanti kalau laper, aku pasti makan. Kalian tenang aja ya, sekarang bisa kasih aku waktu?"
Tatapannya memohon. Iqbal tersenyum dengan matanya yang bengkak.
"Baik. Tapi kamu harus makan, ya?" kataku sambil menyerahkan nampan pada Iqbal. Ia mengangguk, tanpa suara lagi. Setelahnya ia menutup pintu kamarnya meninggalkan kami yang juga sedih melihat keadaannya.
~♥~
Aku terbangun dan ketika kulihat jam, ternyata pukul sepuluh malam. Pasti aku tertidur sejak tadi. Sayup-sayup tadi kudengar Mama masuk kamarku hingga akhirnya ia mematikan lampu kamarku. Kini aku terdiam di kegelapan kamarku.
Jadi ini maksud perkataan Bunda? Tapi bukan seperti ini yang kuharapkan. Aku nggak menyangka Bunda akan meninggalkan dunia, dan meninggalkan Iqbal. Meski baru beberapa kali melihat Bunda, jujur aku langsung menyayangi Bunda. Aku tau Bunda adalah orang baik, dan semoga ia mendapat tempat yang baik pula disana.
Aku ingin memejamkan mataku kembali tapi kuurungkan, ketika kudengar suara sendok jatuh yang asalnya dari dapur.
Aku bergegas membuka pintu dan melangkah keluar kamar. Di dapur yang remang-remang aku masih bisa melihat Iqbal duduk di salah satu kursi di ruang makan. Nampan yang sore tadi kuberikan padanya menyisakan piring kosong. Aku tersenyum senang karena Iqbal memakan habis makanannya.
Aku menyalakan saklar lampu, ruang dapur langsung terang setelahnya. Iqbal menatapku dan lagi-lagi tersenyum. Aku mendekatinya.
"Laper... Noona." Iqbal memasang cengirannya. Dan mau nggak mau aku tersenyum.
"Sebentar. "
Aku menyalakan kompor memanaskan sup jagung kesukaan Iqbal. Ayah Iqbal bilang, sup ini yang biasanya Bunda masakkan untuk Iqbal. Jadi, setelah mencari resepnya, sehabis maghrib tadi aku memasakan sup ini. Sebenarnya, aku ingin langsung memberikan sup ini setelah matang, tetapi berhubung aku ketiduran, maka belum sempat kuberikan. Dan sekarang waktu yang pas.
"Ini, dihabiskan."
Iqbal memandangi sejenak semangkuk sup di depannya. Lalu pemuda itu mengangkat sendoknya, mengaduk sup dan menyuapkannya ke mulutnya. Aku mengamati sekecil apapun yang ia lakukan.
Ia seperti merasakan sup dalam mulutnya sambil terdiam. Kemudian tanpa kuduga airmata menetes kembali ke pipinya.
"Ada apa? Apa nggak enak?" tanyaku was-was, takut jika aku salah memakai resep.
Iqbal menggeleng dan tersenyum setelahnya. Pemuda itu menatapku sembari berujar, "Enak. Ini enak hingga membuat aku menangis."
Iqbal kembali menyendok. Ia makan dengan lahapnya. Masih meneteskan airmata.
"Pelan-pelan makannya. Nanti kamu keselek," kataku.
Iqbal tersenyum di sela makannya.
Aku nggak bisa menahan tanganku yang kemudian spontan mengelus pundaknya. Siapa yang sangka jika setelah merasakan usapanku, tangis Iqbal kembali pecah.
"Bunda..... "
Dan aku lagi-lagi ikut menangis bersamanya. Ih sumpah aku baperan banget.
"Kalau anaknya menangis sesedih ini, seorang ibu akan merasa patah hati. Jadi, menangislah untuk hari ini saja, dan jadilah kuat lagi besok. "
Pemuda itu terdiam menatapku. Entah kenapa aku ingin sekali memeluknya sekarang. Dan aku benar-benar merealisasikan apa yang terlintas dipikiranku . Otakku secara reflek mengijinkan kakiku melangkah ke arahnya, dan memeluk tubuhnya. Iqbal menangis dalam pelukanku.
Oh maafkan aku yang sudah mengingatkanmu kembali pada Bunda.
"Aku yakin, Bunda akan bahagia setelah ini. Jadi kamu harus bahagia juga, Bal. Aku bakal selalu di sisimu, aku janji."
Selamat jalan, Bunda....
~♥~♥~♥~