17- Menghilang

1315 Kata
    "When we meet again , I 'll be the first to say I'm fine , hello" – Hello, Goodbye  (Hyorin)   ~♥~♥~♥~   Aku membuka mataku karena silau cahaya matahari yang masuk melalui celah jendela. Baru kusadari jika sekarang pukul Sembilan, artinya aku tidur lama sekali. Bergegas aku keluar kamar dan menghampiri kamar Iqbal. Kuketuk kamar Iqbal dengan antusias, kubiarkan jika setelah ini Iqbal akan mengamuk karena pintunya begitu keras kuketuk.   "Bal.... " Tidak ada sahutan.   "Iqbal kamu di dalem?"   Saking tidak sabarnya, akhirnya kubuka pintu itu. Dan betapa terkejutnya tak ada Iqbal disana. Cepat-cepat aku turuni anak tangga untuk menanyakan pada Mama.   "Ma, Iqbal kemana?" tanyaku. Mama yang tengah menonton tayangan Doraemon di channel kesayangannya, mendongak. Danang yang duduk di sampingnya pun sama. Mereka memandangku aneh, seolah-olah hanya aku yang ketinggalan berita penting.   "Tadi udah pulang ke rumahnya yang di Cisarua," ujar Mama. Mama mengatakan itu dengan santainya.   Aku melongo. "Hah?"   Danang seperti nggak menghiraukan aku sama sekali. Cowok itu kini malah tertawa saat ada adegan lucu. Dasar adik kurang ajar!   "Iya sayang, tadi pagi. Pulang ke rumah buat ngurus tahlilan sama Ayahnya," lanjut Mama. Aku memandangnya cengo.   "Tadi pagi? Ini juga masih pagi, Ma," kataku.   "Oh, berarti tadi pagi banget. Jam 6 mereka udah berangkat dari sini." "Kok? Mama nggak bangunin aku sih?" aku masih nggak percaya dengan apa yang kudengar dari Mama.   Mama malah tertawa kecil mendengar pertanyaanku.   "Mah... kok ketawa?!"   Mama memandangku sambil meredakan tawanya. Aku tau dia masih ingin tertawa sebenarnya.   "Apa kamu bilang? Mama nggak bangunin kamu?" tanyanya menatapku. "Tanya tuh Danang gimana tadi pagi kita udah coba bangunin kamu."   "Kak, gue malu loh tadi pagi pas bangunin Kak Azel. Tau nggak?" Danang menjawab dengan menyebalkan.   "Ckckck."   Aku tertegun.   Tiga jam sebelumnya   "Bangunin kakak kamu sana."   Danang bergegas menuruti perintah Mamanya dan segera menaiki tangga. Reina tersenyum menatap Iqbal yang duduk di sampingnya. "Bunda kamu orang baik, Bal, Mama yakin dia akan bahagia disana. Kamu tau kan kalau Bunda itu sahabat terbaiknya Mama?" Iqbal diam mendengarkan. "Mama tau, Bunda senang kalau kamu mau tegar dan nggak larut dalam kesedihan, jangan nyalahin dirimu." Reina tersenyum. Iqbal mengangguk.   "Mama punya sesuatu buat kamu," ucap Reina tiba-tiba sembari mengambil benda yang dimaksud.  Reina mengeluarkan sebuah foto dari sakunya. Di dalam foto itu terdapat dua orang perempuan berseragam SMP saling merangkul. Iqbal memerhatikan foto itu. Pemuda itu tersenyum sedih.   "Lihat bukan bagaimana Bundamu bisa tertawa begitu?" Reina tersenyum kembali. "Foto ini kamu bawa ya, kamu kan belum punya fotonya Bunda waktu sekolah."   Sudut bibir Iqbal tertarik. Ia mengembalikan foto itu ke tangan Reina. "Nggak perlu Ma," katanya. "Ini disimpan Mama saja, ya."   "Kenapa?" tanya wanita berambut pendek itu.   Iqbal menggeleng. Pemuda itu mengisyaratkan, "Nggak semua kenangan disimpan dalam bentuk benda seperti foto ini. Tapi disini...." Iqbal menyentuh d**a kirinya. "Semua kenangan tentang Bunda, ada disini. Abadi. Selamanya."   Lagi-lagi Reina mengulum senyum . Ia langsung memeluk Iqbal. Dan dibalas Iqbal. "Balik kesini lagi, ya."   Iqbal mengangguk dalam pelukan. Hingga sebuah suara melerai pelukan itu.   "Ma, Kak Azel nggak mau bangun ih. Bikes! Dibangunin malah senyum-senyum gaje."   Iqbal tersenyum geli, membayangkan bagaimana Azel tertidur. Semalam mereka berakhir dengan obrolan kecil sampai akhirnya Azel tertidur di ruang makan hingga larut malam. Iqbal kemudian yang menggendongnya ke kamarnya.   "Ya udah nggak usah. Kasihan Noona semalam tidur kemaleman." Ucapan Iqbal lantas membuat ibu dan anak itu saling bertatapan ,bingung.   Ya, pada akhirnya panggilan "Noona" menjadi hal yang wajar didengar di rumah itu. Tentu saja setelah Azel merengek karena diejek habis oleh Danang.   "Eh? Bener Bal?"   Iqbal mengangguk. "Titip salam aja ya... "   "Hati-hati."   Kemudian aku tercengang mendengar cerita Mama. Oh ya ampun, Iqbal! Bergegas aku kembali naik ke atas, mengabaikan panggilan Mama yang mengingatkanku tentang sarapan dan mandi.   Kuambil ponsel dan mengirimkan chat untuk Iqbal. Tapi akhirnya aku kecewa saat ternyata Iqbal off dan kulihat Last seennya kemarin malam. Aku memerosotkan bahu. Kenapa bisa Iqbal pergi tanpa bilang apa-apa padaku?   ~♥~♥~♥~   Aku mengaduk jus mangga dalam gelasku dengan enggan. Aku melamun, berpikir apa yang kira-kira Iqbal pikirkan saat tiba-tiba pergi, tanpa pamit, ya meski Mama bilang dia pergi hanya sebentar. Tapi kata sebentar berdasarkan pengamatanku, bukanlah makna sebentar yang sebenarnya. Ini sudah hari kedua. Dan aku belum bisa menghubungi Iqbal, karena masih off, yang sialnya aku hanya punya nomor Whatsappnya yang berbeda dari nomor biasa yang buat nelfon atau sms.   Dan sepertinya Mama dan Danang tidak menginginkan aku berlarut memikirkan Iqbal. Mereka sekongkol kayaknya tidak ingin memberikan nomor Iqbal atau Ayahnya Iqbal.   "Terakhir kali ayam tetangga gue melamun besoknya langsung mati." Celetukan itu menyadarkanku secara ajaib. Aku memandang sinis kedua sahabatku itu.   Ica tertawa bahagia. "Jangan galau mulu Zel mikirin si dedek gemesh."   Aku memberengutkan wajahku. Kemudian menyandarkan daguku ke meja kantin, memandang keduanya.   "Turut berduka ya buat Iqbal." Irma menyentuh pelan lenganku.   "Iya, gue juga. Bilangin ke Iqbal, tetep tabah ya." Ica menimpali.   "Bilang ke Iqbal gimana? Dia lagi di rumahnya sekarang, dan kita lost contact."   "Hah?"   "Masa?"   Aku mengangguk.   "Kalau boleh tau, Bunda Iqbal meninggal kenapa?" Ica bertanya dengan hati-hati. Aku menatapnya sebentar sebelum menjawab.   "Kecelakaan pas mau ke rumah gue buat ketemu Iqbal. Makanya Iqbal sempet nyalahin dirinya..." Aku menerawang. Aku ingat saat berulang kali Iqbal meminta maaf dan menyalahkan dirinya sendiri.   Mereka berdua mengangguk, prihatin.   Saat melihat gerombolan anak kelas sepuluh yang sekelas dengan Iqbal melintas di depanku, aku langsung mengangkat kepalaku. Kalau nggak salah, mereka yang sering kulihat bersama Iqbal.   Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas, aku bergegas menghentikan langkah mereka. Dan langsung berdiri. "Tunggu!"   Salah satu dari mereka menengok dan menghentikan yang lain. "Sini, aku mau bicara." Kataku dengan mantap.   Ica dan Irma menatapku bingung. Tidak kuhiraukan mereka. Yang penting saat ini, aku ingin mendapat info tentang Iqbal, bagaimanapun caranya.   "Eh, kakak yang waktu itu." Aku menatap cowok yang barusan berujar. Cowok yang memakai kacamata itu bername tag Erza.   "Kalian temen deketnya Iqbal kan?" tanyaku pada mereka. Keempat cowok itu bersitatap, kemudian menjawab dengan ragu. "Iya,"   "Kalian terakhir hubungin Iqbal kapan?" tanyaku lagi. Biarkan mereka memandangku aneh.   "Tadi dia baru aja nimbrung di grup." Celetuk salah satunya. Aku buru-buru menatap cowok itu, mengisyaratkan agar ia melanjutkan.   Tetapi selanjutnya malah ketiga yang lain memelototi cowok itu. Kulihat nametag nya Deon. Dipelototin seperti itu jelas membuat Deon menciut. "Di grup kelas... hehe." Dia nyengir.   "Serius?!" Aku berkacak pinggang.   "Ih bukannya kakak yang deket sama Iqbal, kok malah nggak tau." Erza ikut berkacak pinggang.   Tak mau kalah, aku balas mendelik . "Tapi kan kalian juga deket! Udah deh, siniin hp nya, pinjemin gue, mau gue cek grup yang tadi dia bilang."   Cowok yang paling tinggi diantara ketiganya tiba-tiba menyela. "Nggak bisa dong, itu privasi." Adit namanya.   "Iya, Iqbal bilang nggak boleh kasih tau Noonanya." Deon malah meledek dengan menjulurkan ponselnya. Dengan gesit, saat Deon lengah, kuambil paksa ponselnya. Tapi kemudian aku kecewa. "Yah, polanya apaan?"   Deon nyengir.   "Kak, balikin hpnya Deon!" sergah Adit. "Lo b**o banget sih kenapa hpnya malah ditunjukin ke dia?!" kalimat berikutnya ia tujukan pada Deon.   "Eh Noonanya Iqbal, balikin sini hp gue!"   Sambil berusaha membuka, aku melirik cepat-cepat memastikan ucapan Deon barusan. "Noona?!"   "Iya, Iqbal cerita. " Deon menantang.   "DEON!"   Deon nyengir-nyengir nggak jelas diteriaki ketiganya. "Sorry, kalian tau kalo gue sering keceplosan... hehe. "   Aishh.. Iqbal!! Awas aja kalo dia udah balik! Bisa-bisanya dia membeberkan hal itu ke mereka terutama si mulut ember itu!   "Buka ini!" Aku memberengut.   "Ada apaan sih di sandi segala?!"   "Video ya? Bokep pasti!"   Ica dan Irma kemudian ikut membantuku membuka pola ponsel itu. "Kasih tau nggak?! Kalo nggak nanti kita laporin ke Pak Bagas kalo hp ini ada video pornonya!"   Mereka langsung ketakutan saat kuancam begitu. Akhirnya mereka menyerah. Kulihat Deon meminta ijin pada Adit yang kemudian mengangguk pasrah.   Aku langsung membuka aplikasi WA di ponsel itu, namun tidak ada apa-apa informasi tentang Iqbal. "Nggak ada kok di WA."   "Di Line. "   Ah! Pantas saja...   Kuperiksa satu persatu pesannya. Dan aku curiga ketika melihat grup obrolan berisi lima orang bernama "Handsome Squad". Aku mendecih. Nama apaan!   Dan langsung memerosotkan bahu saat kulihat dua pesan terakhir  Iqbal di sana, tepatnya baru lima belas menit yang lalu.   "Jangan kasih tau Noona, ya.. Kalau dia tanya, bilang aja gue lagi semedi merenungi kegantengan gue."   "Ok! Gue off sampai waktu yang tidak bisa diperkirakan. Silakan tinggalkan pesan setelah bunyi bip."   ~♥~♥~♥~    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN