12- Call You Noona

920 Kata
  "It felt like you were going to rob my heart Okay, I will allow you in Only you You're the only one I can't even say a word to" – Puss In Boot (Astro)   ~♥~♥~♥~   Langit-langit kamarku menjadi satu-satunya hal paling menarik yang kupandangi sekarang. Dua jam yang lalu aku berniat untuk tidur, tapi hingga saat ini aku masih terjaga. Sialnya lagi, aku semakin kepikiran perkataan Bundanya Iqbal tadi siang.   Kira-kira apa ya maksud dari "Menitipkan Iqbal Kepadaku"?   Ah.. semakin kupikirkan, aku semakin bingung. Yang aku heran, perkataan itu rasanya terdengar seperti "Bunda akan pergi jauh, apa bisa titip Iqbal selamanya?"   Aku menggeleng kuat-kuat menepis pikiranku itu. Bukan itu artinya, kan?   Tenggorokanku terasa kering, dan aku akhirnya melangkahkan kakiku keluar kamar, aku berniat mengecek apakah masih ada beberapa botol minuman yang sengaja aku sisakan tadi siang.   Aku hampir berteriak saat secara nggak sengaja melihat sosok berjalan di depanku. Di dalam kegelapan ruang dapur, aku masih bisa melihat Iqbal membuka kulkas, mengambil sebotol es jeruk, dan meneguknya sambil berdiri. Bukannya menghampirinya atau menegurnya, aku malah diam mematung masih memperhatikannya. Iqbal kini menuju balkon di area ruang makan. Iqbal membuka jendela besar penghubung ke arah balkon dan membiarkan angin malam menerbangkan gorden juga rambut hitam kecoklatan miliknya.   Niatku untuk mengambil minuman kuurungkan, aku jadi keasyikan mengamati tingkahnya. Rasa haus di tenggorokkanku sudah kuacuhkan. Dan entah sihir apa yang Iqbal gunakan, aku merasakan kakiku melangkah mendekat ke arahnya. Kini aku dapat memandang Iqbal dari samping. Iqbal memejamkan matanya. Kurasa Iqbal juga nggak bisa tidur sepertiku.   "Gue tau kalo gue ganteng, tapi nggak perlu segitunya lo natap wajah ganteng gue."   Aku terkesiap. Iqbal tiba-tiba membuka matanya dan menarik tanganku hingga wajah kami benar-benar hanya berjarak sekepal tangan. Oh, nggak! Ini nggak boleh terjadi! Aku nggak boleh goyah dengan debaran jantungku saat ini!   "Sejak kapan lo disitu?" Pertanyaan Iqbal membuatku terkesiap. Aku mengerjapkan mataku dan menghempaskan tangannya. Mengambil jarak sejauh mungkin dan menyandarkan tanganku ke pegangan balkon, aku menatap air tenang kolam renang di bawah balkon, kemudian berdecih sambil berkata, "Siapa juga yang ngeliatin lo?! Ge-er! Tadi gue juga mau ngambil minum."   Iqbal tersenyum menatapku. Ia bergeser sedikit demi sedikit ke arahku, aku tahu niatnya menggodaku. Tapi aku nggak bisa dekat-dekat dengannya, aku takut aku kembali goyah. Jadi setiap dia bergeser ke kanan, aku pun ikut bergeser. Hingga aku terdesak. Dan aku menyerah. "Gue nggak bisa tidur," kata Iqbal tiba-tiba. Aku nggak sadar, tapi entah sejak kapan posisi kami yang tadinya benar-benar menempel, kini Iqbal sendiri yang membuat jarak. Iqbal kembali memandang langit malam, seolah itu satu-satunya hal paling menarik yang langka. Lalu pemuda itu tersenyum. "Dan senengnya lo juga nggak bisa tidur sekarang. Berarti lo bisa nemenin gue," ucap Iqbal. Aku menatapnya sekali lagi, wajah Iqbal begitu polos dari samping. Sekarang aku mengakui wajar bila Ica dan Irma begitu mengagumi Iqbal dan ngefans padanya, Iqbal memang ganteng. Dan kenapa aku baru sadar sekarang ya?   Aku menggelengkan kepalaku dan membuang wajah kemanapun, asal nggak menatap wajah itu. Tapi lagi-lagi aku merasa kalah, dan kembali memandang wajah Iqbal. Bahkan saat Iqbal nggak lagi menatap langit malam nan jauh di depannya, bahkan saat ia tersenyum dan balik menatapku, aku masih memandangnya.   "Bal, gue—"   Iqbal mengernyit. Tatapan penasaran yang ia tujukan padaku benar-benar membuatku goyah.   Oh, apa yang harus kulakukan? Aku nggak boleh terbawa suasana seperti ini.   Cepat-cepat aku mengalihkan wajahku. "Gue rasa gue bisa nerima semua ini sekarang."   "Nerima apa?"   "Pertunangan kita."   Aku menutup mataku. Aku merutuki mulutku yang nggak bisa diajak negosiasi saat ini. Aku akui aku kalah. Aku goyah karena Iqbal.   Tapi memang kurasa ini saatnya aku menerima keadaanku. Setelah dua jam lamanya aku membolak-balikkan tubuhku di atas tempat tidur sambil memikirkan ucapan Bundanya Iqbal, aku memutuskan bahwa memang ini yang harus aku lakukan. Aku akan menerima pertunangan kami dan berjanji nggak akan ada lagi sikap jutekku. Aku akan mencoba menerima Iqbal. Tunanganku.   "Lo serius?"   Iya kan? Aku serius dengan perkataanku? Eh, kenapa sekarang aku jadi ragu?   Nggak. Aku sudah memutuskan. Aku nggak boleh plin plan dengan putusanku.   Aku mengangguk.   "Berarti kita sekarang bisa sayang-sayangan dong? Gue bisa nyium lo kapan aja? Gue bisa meluk lo? Gue bisa--"   Plak!   Aku menggeplak kepalanya yang kurasa korslet itu. Enak saja dengan pemikiran mesumnya itu! Iqbal mengaduh mengusap kepalanya. "Gue becanda." Iqbal tersenyum.   Tangan Iqbal berayun menyentuh rambutku dan mengusapnya. Aku nggak pernah menyangka kalau rasanya akan sehangat ini hanya dengan melihat senyum dan merasakan usapannya di rambutku.   "Bal, tapi gue minta satu hal," ujarku. Aku memandangnya sekali lagi.   "Apa?"   "Bisa nggak lo panggil gue ... Noona?" tanyaku dengan suara mencicit. Aku tahu permintaanku ini terdengar aneh di telinganya.   Alis Iqbal bertaut. "Noona?"   Aku mengangguk girang. "Iya. Noona."   "Tapi Noona itu apa?"   Pipiku memerah. Aku mengalihkan tatapanku, tak berani menatapnya. "Noona itu panggilan adik laki-laki ke kakak perempuannya—"   "Jadi maksudnya—" Iqbal menyela.   Aku buru-buru melanjutkan. "—tapi laki-laki korea yang punya kekasih lebih tua darinya juga memakai sebutan Noona." Aduh, rasanya pipiku sudah seperti kepiting rebus sekarang.   Iqbal berdehem. Kulihat wajahnya juga memerah. Ternyata begini rasanya nggodain orang, pantas saja Iqbal begitu senang menggodaku.   Ah, aku punya ide.   "Bal, aku..." Aku menatap wajah Iqbal yang terkesiap mendengar perkataanku. Aku benar-benar ingin membalas perlakuannya selama ini karena sering menggodaku. Dan sepertinya berhasil, buktinya sekarang pipi Iqbal memerah begitu mendengar aku mengubah panggilan 'lo-gue' menjadi 'aku-kamu'.   "Heum?" Tapi dengan aktingnya, ia masih berlagak sok cool sekarang. Aku berdecih dalam hati.   Aku memberanikan diriku berjinjit dan dengan cepat mengecup pipinya. Aku merasa tubuh Iqbal menegang sebentar, dan kesempatan itu kugunakan untuk berlari meninggalkannya yang terkejut.   Pintu kamarku kututup rapat-rapat. Aku merasakan jantungku masih berdegup kencang dan pipiku masih memanas.   KLING   Aku berlari dengan cepat mengambil ponselku dan melihat pesan yang muncul. Tunggu, aku merasa nggak pernah menyimpan nomor WA Iqbal sebelumnya. Dan namanya juga ia buat sendiri.   From My Handsome Fiance Cepet tidur. Jangan mikirin kejadian yang tadi terus, okey? Ps: Sekarang udah berani ya cium-cium, awas liat aja besok, Noona!       ~♥~♥~♥~  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN