Bab 5

1225 Kata
      “Ih, ngapain sih kamu narik- narik gitu? Lepasin!” Andi menepis tangan Novan yang sedari tadi merangkulnya. Dia bersungut kesal.            “Biar kamu nggak kenalin dan omongin aku ke cewek- cewek tadi!”            “Kan aku larang mereka itu buat kenalan sama kamu. Aku udah tebak, kamu sih nggak bakalan mau kenalan sama mereka. Wong yang kayak Sarah aja kamu ogah, apalagi yang kayak mereka.” Novan menyikut lengan Andi.            “Heh, nggak boleh kamu ngomong gitu. Nggak boleh kamu bandingin mereka kayak gitu. Nanti mereka sakit hati, kamu di mampusin terus di sumpahin entah apa- apa sama mereka, susah hidup ntar.” Andi mengingatkan.            “Heh. Kan memang bener. Mereka sama Sarah mah, nggak ada tandingannya. Jauuh!”            “Nggak boleh gitu. Jangan terlalu memuji orang, nanti dianya nggak sesuai ekspetasi kamu bakalan jadi benci banget sama dia.”            “Nggak. Sarah baik kok, udah gitu dia pinter, cakep banget lagi.” Mata Andi berbinar- binar. Novan geleng- geleng kepala.            “Serah elu deh. Udah kena hipnotis ini kayaknya.” Novan merangkul bahu Andi. “Udah deh, nggak usah kebanyakan ngayal. Mending mampir ke kantin dulu yuk, sebelum bel masuk!”            “Traktir ya?” Andi menjetikkan jarinya. Novan berdecak.            “Terakhir, ini terakhir. Besok nggak ada lagi.”            “Siap bos!” ****            Dompet Novan tampak kritis. Pasalnya, Andi ini kalau di bilang bakal di traktir itu seringnya seenak jidatnya buat pesen makanan ini itu. Untungnya sih, semua yang di pesan olehnya bisa di habiskan. Kalau tidak habis, kayaknya itu kepala Andi bakalan kena jitakan bor oleh Novan. Novan menatap isi dompetnya dengan tatapan pasrah. Tak apa, paling juga lusa sudah ada yang mengiriminya uang jajan.            “Makasih ya bro, udah mau traktir aku lagi!” Ujar Andi. Ia sudah selesai memakan mangkuk baksonya yang kedua. Novan mengangguk pelan.            “Ya, masama.” Novan menatap Andi lamat- lamat. “Tapi ini yang terakhir ya. Ingat! Besok- besok nggak ada lagi!”            “Siap bos!” Andi memberi hormat. “Thank you ya, sekali lagi. Hehe.” Andi nyengir lebar. Novan geleng- geleng kepala.            “Untungnya kamu selalu habis walaupun pesennya beluber- luber. Kalo nggak habis, aku jitak itu kepala,” gumam Novan.            “Ya harus habis dong. Kalo nggak habis kan mubazir, nggak boleh itu.” Andi meminum habis es jeruknya. “Banyak orang yang nggak bisa makan. Jadi kalo kita ada makanan, ya jangan di buang gitu aja.”            Novan mangut- mangut. Memang benar sih apa yang di katakan oleh Andi. Tapi dia tidak menyangka teman barunya ini bisa berkata seperti itu. Tidak seperti dirinya yang biasa, yang baginya terkesan konyol dan tidak bisa di ajak serius.            “Udah makannya? Yuk balik kelas. Nanti pelajaran pak Broto. Galak beliau.” Andi bangkit dari duduk.            “Oh ya, ayo.” ****            Kali ini jam kosong, karena guru sedang mengadakan rapat, bersamaan dengan seluruh anggota OSIS ikut mengadakan rapat. Andi yang berperan sebagai jejeran petinggi di OSIS turut serta ikut rapat. Novan duduk sendirian di tempat. Biasanya ada Andi yang menemani. Dia memperhatikan sekeliling. Dia baru sadar kalau belum berkenalan dengan siapapun di kelas ini kecuali Andi.            “Hoi anak ganteng!” Sapa seorang anak laki- laki yang rambutnya pelontos. Ia menarik kursi menghadap ke Novan dan duduk di sana. “Kamu anak yang baru masuk kemaren itu kan?” Tanyanya. Novan mengangguk.            “Novan.” Novan menyodorkan jabatan tangan. Anak itu membalasnya.            “Iwan, kadang di panggil Iwan Fals sama mereka.” Iwan tertawa kecil. “Rada nggak biasa aku kenalan pakek jabat tangan gini. Kayak formal banget. Tapi kalo itu memang kamu biasa kayak gitu, ya nggak apa sih.”            “Ah oh. Sori.” Novan langsung menarik jabatan tangannya.            “Nih anak, walaupun di panggilnya Iwan Fals, tapi bukan berarti dia bisa nyanyi. Malah kalo dia nyanyi, bakal terguncang dah seisi bumi ini!” Timpal seorang anak laki- laki lain yang berbadan besar.            “Oh, terguncang karena suaraku kan bagus banget! Buat terpukau semua orang!” Iwan membusungkan dadanya. Anak laki- laki berbadan besar itu malah geleng- geleng kepala dan menepuk pelan pundak Novan.            “Jangan mau denger nyanyian dia. Sayangi telingamu, hindari Iwan nyanyi tiap hari,” bisik anak laki- laki berbadan besar itu. Novan tertegun. “Oh ya, kenalin. Aku Gi..”            “Giant! Namanya Giant, kayak yang di kartun kucing biru itu!” Celetuk Iwan. Anak laki- laki berbadan besar itu berdecak kesal.            “Gilang! Heh lu Wan, jangan sebar- sebar nama Giant deh!” Protes anak laki- laki berbadan besar yang namanya Gilang itu. Iwan tertawa kencang.            “Cocok sama kamu! Apaan tuh Gilang? Yang bener tuh Giant! Giant!” Iwan meledek Gilang. Gilang mendengus kesal.            “Kamu abaikan aja dia. Dia memang sering panggil aku gitu, karena badan aku yang bongsor dari kecil. Katanya kayak Giant di kartun itu,” gumam Gilang. Novan mengangguk pelan.            “Oh ya, aku …”            “Novan kan?” Potong seorang anak laki- laki berambut mangkuk dan memakai kacamata. Ia membenarkan posisi kacamatanya yang agak turun. “Kamu Novan, anak baru yang sempat bikin gempar di lorong kemarin karena nggak mau kenalan sama Sarah si selebgram sekolah itu kan?” Anak laki- laki berkacamata itu menyodorkan jabatan tangan. “Oh ya, sori. Aku lupa kenalin diri. Aku Ipang Teripang, yah gitu mereka panggilnya sih.”            Novan membalas jabatan tangan itu. “Ya, Ipang. Salam kenal.” Gilang melongo menatap Novan, lalu menepuk pundak Novan.            “Hah? Jadi kamu, anak ganteng yang lagi heboh kemaren?!” Tanya Gilang. Novan mengernyitkan alis.            “Ya siapa lain coba, anak baru yang ganteng ya cuma dia seoranglah!” Jawab Ipang.            “Oh, jadi kamu yang ogah kenalan sama Sarah? Langka kamu bro!” Iwan menghampiri Novan. Ia menepuk pelan bahu Novan dan mengacungkan jempolnya. “Sangat hebat kamu bro! Bahkan kecantikan paripurna sang selebgram sekolah tidak bisa menaklukanmu!”            “Heh heh apaan sih ini!” Novan menepis tangan mereka. “Apa sih, heboh kali. Perkara gitu aja pun. Memangnya aneh ya, nolak kenalan sama si Sarah itu?”            “Ya anehlah bro!” Ipang mengguncang pelan pundak Novan. “Kamu menolak kesempatan emas tau nggak! Bisa di ajak kenalan sama seleb kayak Sarah, anugerah tau! Jarang banget!” Novan berdecak kesal dan menepis tangan Ipang dari bahunya.            “Ck. Dia kan juga manusia. Nggak usah seheboh itulah.” Novan mengelus bahunya. “Kan dia juga ada ajak orang lain kenalan toh, mana mungkin semuanya mau kenalan sama dia duluan.”            Mereka bertiga mengeleng serempak. “Kamu salah bro.” Novan melongo.            “Nggak pernah ada yang ngajak Sarah kenalan duluan, sejak hari pertama dia masuk. Nggak ada. Selalu orang yang ngajak dia kenalan duluan, deketin dia duluan,”ujar Ipang. Iwan dan Gilang mengangguk.            “Bahkan katanya dia juga selalu nolak kan, tiap kali ada yang tembak dia. Katanya dia nggak mau pacaran dulu. Mau fokus sama sekolah dan kerjaan dia sekarang, katanya gitu,” timpal Iwan.            “Iya, siapa aja yang nembak dia tuh dia tolak. Bang Tio yang anak basket terkenal itu pun nggak mau dia terima kan. Terus kabarnya, pak Vio, guru kita dulu, sempat tembak si Sarah juga. Tapi ya jelas Sarah tolaklah. Gara- gara sakit hati, jadinya beliau milih ngajar di sekolah lain,” sambung Gilang. Novan melongo dan geleng- geleng kepala.            “Kalian ini, update banget kayaknya soal gossip tentang si Sarah itu ya.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN