Bab 4

1214 Kata
         Andi menghela napas kecewa. Ia berselonjor di bangkunya. “Yaelah, kirain tadi kamu tadi yang pakai IG.”            “Enggak, aku nggak ada niat juga buat bikin IG, atau sosmed apapun. Kecuali untuk chatting, ya itu beda.” Andi mendengus kesal.            “Padahal kalo kamu ada buat IG, mungkin bakalan banyak yang follow kamu. Mungkin kamu ada kesempatan buat jadi selebgram. Kan keren itu, nanti kamu bakalan endorse brand besar, terus kamu terkenal!” Mata Andi berbinar- binar. Novan mendengus.            “Maaf nggak berminat jadi selebgram atau apapunlah itu, nggak niat jadi orang terkenal.” Andi berdecak.            “Yaelah. Aku mah kalo jadi kamu bakal aku gunain privilege jadi orang tampan. Bakal open endorse sana- sini, jadi selebgram yang di taksir sama banyak cewek jadi cowok idamannya!” Andi berangan- angan. “Kan seru kalo bisa di deketin sama cewek, bisa buat klub harem!” Novan menepuk kepala Andi dengan buku tulis. Andi meringis kesakitan.            “Pikiranmu itu cuk. Tobat woi tobat,” ujar Novan.            “Yaelah, kan cuma pengennya gitu loh. Cuma berandai aja, yah nggak mungkin kejadian.” Novan mangut- mangut.            “Yah, itu memang nggak mungkin banget sih.” Andi melirik Novan dengan tatapan tajam dan berdecak kesal.            “Tapi bisa aja jadi kenyataan, kalo kamu pinter bicara. Kalau kamu yah, pinter ambil hati perempuan, nggak mesti jadi ganteng kok. Banyak juga buaya playboy di luar sana yang tampangnya jauh dari kata ganteng, tapi ceweknya banyak,”sambung Novan.            “Iya juga ya. Hem, berarti aku harus tahu cara gombalin cewek kali ya? Kali aja si Sarah bisa kecantol gitu.” Andi tertawa kecil.                “Kalo itu, kayaknya nggak mungkin sih.” ****            Sarah masih menatap layar smartphone miliknya. Ia menatapi akun profil Novan sedari tadi. Hanya ini satu- satunya akun sosial media Novan yang ia tahu. Ia sudah coba cari akunnya di sosial media yang lain, tapi zonk. Dia malah ketemu dengan orang lain dan apesnya, malah dia yang jadi di gombalin sama om- om aneh yang bernama Novan di sosial media lain.            Sarah sebenarnya gatal banget untuk mulai DM dia sejak semalam. Tapi dia gengsi. Masa, seorang Sarah Claryson si selebgram yang memulai DM duluan? Malu dong. Nanti bisa aja bakal ada kabar lain yang menyebar, atau kalau semisal dia salah omong sedikit, namanya bakal di akun- akun gossip. Oh enggak, dia nggak bakalan mau hal itu terjadi. Untuk membersihkan namanya kembali itu butuh waktu yang lama.                        Jadi dia harus bagaimana sekarang? Dia sangat ingin kenal dengan Novan lebih lagi. Sarah menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ck, harus pakai cara apa untuk kenalan dengan Novan, yang tidak mau dia ajak kenalan saat bertemu kemarin? Novan terlalu dingin, dia tidak bisa mencairkan es yang beku itu.            Sarah menatap akun itu lamat- lamat. Ia menarik napas panjang, lalu membuangnya perlahan. Oke, baiklah.            “Oke Sarah. Nggak apa. Kamu cantik, kamu pintar, kamu populer. Oke nggak apa Sarah, mari kita coba dulu. Sarah mah, nggak bakal ada yang mau nolak!”            Sarah mulai mengetik sesuatu di smartphone. Ia menelan ludah. “Gak apa Sarah, sesekali. Es itu bisa cair kok, batu aja bisa di kikis dengan air kan?”            Sarah Claryson            sarah.crlyson            Hallo, Novan. Salam kenal ya, aku Sarah. ****            Novan menggenggam tangannya erat- erat. Ia menelan ludah dan merutuk dalam hati. Seharusnya tadi dia tolak saja tawaran Andi. Tapi dia kasihan juga sih. Tadi Andi sempat di tegur oleh ketua kelas karena tidak memperkenalkan lingkungan sekolah padanya kemarin. Padahal itu bukan salah Andi sepenuhnya, tapi malah dia yang kena getah. Andi hanya bisa minta maaf berkali- kali dan berjanji akan mengajaknya keliling lingkungan sekolah hari ini.            Ya, jadi di sinilah kami. Andi sebenarnya agak senang dengan hal ini, karena dia boleh sedikit terlambat masuk ke kelas nantinya. Tapi ini malah jadi petaka untuk Novan. Karena sepanjang ia menyusuri lorong kelas, dia di tatap oleh banyak pasang mata. Itu membuatnya gugup.            “Ndi, Andi,” panggil Novan setengah berbisik.            “Nah, kalau ini … Ah ya, kenapa Van?” Tanya Andi.                      “Ini kenapa orang- orang pada nengoknya gitu kali sih?” Tanya Novan setengah berbisik. Andi memperhatikan sekitar. Mata- mata yang tadinya menatap mereka seketika buang wajah saat Andi memperhatikan mereka.            “Hah? Orang- orang nengokin kamu? Enggak ah, perasaan kamu aja kali,”jawab Andi.            “Tapi tadi ada kok …”            Andi mengalihkan pandangannya dan saat itulah, mata itu mulai menatap mereka. Novan menarik lengan baju Andi, tapi Andi langsung menepisnya.            “Heh kalian! Mana sini yang tengokin kami! Keluar heh, jangan nengokin aja kalian. Maju sini!” Andi membalik badannya. Andi mendatangi salah seorang yang ada di dekat kami.            “Kenapa kamu liatin kami begitu hah? Ada masalah kami sama kamu hah?!” Tanya Andi pada seorang anak perempuan yang duduk bersama ketiga temannya di bangku lorong itu.            “Aku tuh nggak liatin kamu, tapi liatin itu temen kamu.” Perempuan yang memakai kacamata menunjuk Novan yang berdiri di belakang Andi. “Mukanya asing. Gak pernah aku liat.”            “Oh dia.” Andi merangkul bahu Novan. “Ini anak baru di kelasku. Cakep kan? Sama kan gantengnya kayak aku? Ya nggak?”            “Dih. Pede banget kamu Ndi! Ya jelas cakepan temen kamu inilah! Jauh mah kalian!” Timpal anak perempuan yang rambutnya di kuncir kuda.            “Eh cakep. Boleh kenalan gak? Hehehe … kelas kami sebelah kok sama kelasmu.” Ketiga perempuan itu menyodorkan jabatan tangannya, tapi Andi yang membalas jabatan tangan itu. Ia menyinggungkan senyum kecil.            “Eh iya boleh banget kok. Ih padahal kan kalian udah tahu nama aku, tapi kalian mau kenalan lagi juga nggak apa kok. Aku Andi Wilson.” Andi memperkenalkan dirinya. Mereka langsung menepis tangan Andi.            “Dih. Bukan sama kamu! Kamu mah udah kenal, jelek- jeleknya juga tahu!” Bantah perempuan yang memakai bando pita.            “Sok keren lagi namanya, Andi Wilson? Anjir apaan itu?! Suhandi Hermansyah woi nama kamu, jangan sok jadi nama bule!” Perempuan yang di kuncir kuda menunjuk Andi. Novan berusaha menahan tawanya. Karena baru kenalan 2 hari, jadi dia masih belum hafal betul nama teman- teman sekelasnya. Suhandi? Namanya seperti orang yang lahir di tahun 70-an!            Andi berdecak kesal. “Heh, jangan ketawa kamu Novan! Mentang- mentang nama kamu lebih keren daripada namaku!” Andi membentak Novan.            “Oh, jadi kamu namanya Novan? Hem, namanya ganteng kayak orangnya,”gombal perempuan berkacamata itu. Novan berdehem dan menatapnya dengan ekor mata.            “Kenalin, namaku …” Baru saja perempuan berkacamata itu hendak menyodorkan jabatan tangan, Andi langsung pasang badan di depan Novan.            “Opp! Tunggu dulu Seira. Dia nggak mau kenalan sama kamu, sama kalian semua mah dia gak mau kenalan!”            Perempuan berkacamata yang bernama Seira itu mengernyitkan alis. “Lah kenapa memangnya?” Andi mengangkat bahunya.            “Entah. Jangankan sama kalian, sama Sarah aja dia ogah kenalan. Apalagi sama kalian.” Andi mendekat ketiga perempuan itu. “Masa dia ketus gitu sama Sarah, katanya dia ogah kenalan sama Sarah. Gila kan, padahal dia di ajak kenalan duluan sama selebgram sekolah. Emang agak aneh anaknya.”            “Heh heh, itu apaan ngomongin aku hah?!” Protes Novan. Ia menarik Andi dari kerumunan perempuan itu. “Udah udah, ayo kita balik ke kelas! Nanti keburu bel.” Novan menyeret Andi untuk pergi dari sana. Novan sedikit menundukkan badannya dan menarik Andi melesat dari sana. ****  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN