Bab 75

3610 Kata
Novan terjaga sampai matahari bangun dari tidurnya. Cahaya matahari terbit masuk dari sela- sela gorden kamarnya. Ia tersentak kaget dan melirik jam dinding. Ah, sudah pagi. Novan tidak sadar, dia terlarut dalam soal- soal yang ia kerjakan. Setelah selesai mengerjakan soal- soal Fisika kelas 10, Novan mengerjakan soal latihan Fisika yang ada di buku paket. Ia terlalu gabut. Tadinya ia ingin menghabiskan pagi buta itu dengan menonton anime, tapi matanya sudah tidak tahan menatap layar smartphone. Ia juga pasti akan tertidur karena hanya duduk diam saja. Novan menguap lebar. Oke, ini sudah kedua kalinya ia begadang dalam 3 hari terakhir. Hebat sekali. Ia merenggangkan badannya yang mulai kaku karena terlalu lama duduk. Hem, sebaiknya dia mandi supaya lebih segar. Ia mengambil handuk di gantungan dan masuk ke kamar mandi. Badannya terasa jauh lebih segar saat menyentuh air bak yang dingin di pagi hari. Ia mandi sambil bersenandung. Selesai mandi, ia tidak langsung mengenakan seragamnya. Masih terlalu pagi untuk bersiap berangkat ke sekolah. Ia menyibak gorden dan membuka jendela lebar. Angin sepoi di pagi hari menyapanya. Ah, terasa segar meski ia belum tidur semalaman. Penjual sayur mulai menjajakan dagangannya, beberapa orang tampak lari pagi. “Lah, ngapain aku mandi ya. Mendingan lari pagi aja tadi,” gumamnya. Ah sudahlah. Kalau ia lari pagi, ia pasti akan kelelahan saat pulang dan akhirnya berakhir dengan tidur. Ia akan tertidur dimana saja kalau sudah terlalu capek dan sangat susah untuk di bangunkan. Dulu, sebelum pindah kemari, ia pernah tertidur di angkot sampai angkot berhenti di tempat tujuan terakhir yang jauh dari rumahnya. Akhirnya ia kembali pulang ke rumah dengan ojek. Supir angkot bilang, ia sudah di bangunkan, tapi tak kunjung bangun juga. Supir angkot itu menolak di bayar lebih saat itu. Dia maklum karena Novan terlihat sangat capek. Ia juga pernah tidur nyaris seharian sehabis test olahraga di sekolahnya. Waktu itu ia di suruh mengelilingi stadion sebanyak lima kali. Novan memperhatikan pemandangan di luar rumahnya. Kicau burung pagi yang bertengger di kabel listrik yang terbentang, suara beberapa penjual yang mulai berkeliling menjajakan jualannya, juga suara berisik ibu- ibu yang sedang ngerumpi sambil belanja sayur. Hari masih pagi, tapi sudah banyak yang beraktifitas di luar sana. “Bosan,” gumam Novan. Perutnya lapar, tapi ia yakin jam segini belum ada sarapan di bawah. Ia melirik keluar dan matanya tertuju pada gerobak yang menjajakan bubur ayam. Ia menjajakan dagangannya sambil membunyikan lonceng. “Wah, lumayan nih.” Novan mengambil dompetnya. “Bang, beli bang!” Teriak Novan dari atas. Gerobak bubur ayam itu berhenti dan mendongak ke atas. “Oke dek, turun aja!” Balas pedagang bubur ayam sambil mengacungkan jempol. Novan turun ke bawah. Ia mampir ke dapur untuk mengambil mangkuk dan keluar rumah. Gerobak bubur ayam berhenti tidak jauh dari rumahnya. “Bang, banyakin ayamnya ya. Kacangnya sedikit aja. Oh, sama kerupuknya juga di banyakin ya!” Pinta Novan sambil memberikan mangkuk. “Oke dek. Ada lagi?” “Nggak, itu aja bang.” Novan memperhatikan saat penjual bubur ayam menuangkan pesanannya. Ia melirik sesuatu dari balik laci gerobak yang transparan. “Ini apaan bang?” Tanya Novan sambil menunjuk laci gerobak. “Oh, itu cakwe. Mau pake cakwe juga?” Tanya pedagang bubur ayam. Novan mengangguk. “Boleh bang, tambah cakwe ya bang.” Pedagang bubur ayam mengangguk dan mengacungkan jempol. Ia mengeluarkan sebiji cakwe dan memotongnya kecil- kecil, lalu menaruhnya di atas bubur ayam dan di akhiri dengan suwiran ayam yang lumayan banyak. “Ini dek.” Pedagang bubur ayam memberikan semangkuk bubur ayam padanya. “Bentar bang.” Novan mengeluarkan dompetnya. “Berapaan bang?” “10 ribu aja.” Novan terbelak kaget. Ia tidak menyangka harganya lumayan marah dengan suwiran ayam yang lumayan banyak juga cakwe yang sama banyaknya. Novan memberikan selembar uang dua puluh ribuan. “Entar dek ya. Kembaliannya jadi 10 ribu …” Pedagang bubur ayam membuka laci kecil. “Nggak usah bang, udah nggak usah kembaliannya. Sedekah pagi,” ujar Novan. Pedagang bubur ayam itu menoleh dengan tatapan tidak percaya. “Bener nih dek nggak usah kembaliannya? Lumayan loh dek ..” Tanya pedagang bubur ayam tak percaya. “Nggak apa kok bang. Duluan ya bang, semoga laris!” Pamit Novan sambil membawa bubur ayamnya ke rumah. “Makasih banyak dek! Makasih! Mudah- mudahan murah rejeki adek, amiinn,” doa pedagang bubur ayam itu. Novan menyinggungkan senyum kecil. “Amiiin. Semoga bang.” Novan masuk ke dalam rumah, sedangkan pedagang bubur ayam kembali menjajakan jualannya. Novan duduk di ruang tengah dan menyalakan TV. Kartun di pagi hari memang paling tepat untuk memulai hari. Ia menonton kartun sambil menikmati bubur ayamnya. “Bang? Kok cepet banget bangunnya?” Tanya ibu Novan yang baru keluar dari kamar. Ia menguap lebar sambil menggaruk badannya. “Kebangun,” jawab Novan tanpa mengalihkan pandangannya. Ibu Novan menghampirinya. “Itu kamu makan apa?” Tanya beliau sambil memperhatikan mangkuk itu dengan matanya yang setengah terpejam. “Bubur ayam. Lewat tadi.” Ibu Novan mangut- mangut dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Novan lanjut makan sambil menonton kartun. Tak lama, bubur ayamnya habis ludes bersamaan dengan selesainya kartun itu. Novan mematikan TV dan membawa mangkuk kosong itu ke dapur. Ia mencucinya dan menaruhnya kembali di rak, lalu kembali ke kamar. Smartphone miliknya berdering. Ada telpon masuk dari .. Stevan. “Hallo Van, kenapa?” Tanya Novan. “Lah, udah bangun kamu? Tumben cepat bangunnya,” Tanya Stevan tak percaya. “Di kiranya aku ngebo kali apa kalo tidur,” gerutu Novan. “Lah, kan memang gitu kan? Kalo udah tidur suka lelap banget, susah di banguninnya!” balas Stevan. Novan nyengir lebar. Ya, Stevan tidak salah sih. “Iya sih. Nggak salah juga. Hah, ada apa nih kamu telpon pagi gini?” Tanya Novan. “Nanti kamu aku antarin ya. Aku jemput kayak biasa di rumah,” jawab Stevan. “Kamu mau antarin aku ke sekolah apa mau lihat Kirana lagi?” Tanya Novan penuh selidik. Sejak pertemuan singkat kemarin, ia jadi curiga kalau Stevan sedikit tertarik dengan Kirana. “Yah, kan sebagai om yang baik, harus menjaga keponakan dong. Jadi harus pastikan ia sampai dengan aman ke sekolah. Kalau soal ketemu sama temenmu yang kemarin itu sih … bonusnya ajalah. Tapi pengen sih. Semoga aja ketemu lagi ya.” Novan mendengus. “Hoalah, modus memang!” Stevan cekikian di ujung sana. “Ya udah, kamu siap- siap gih. Mandi dulu kek, atau sarapan gitu. Aku mau mandi dulu nih ya.” “Aku udah mandi, tinggal nunggu kamu aja datang.” “Lah, cepet bener udah mandi jam segini. Ya udahlah, tunggu akulah ya. Dah.” Stevan mematikan telponnya. Novan menaruh kembali smartphone ke meja belajar. Ia segera memakai seragamnya. Ia bercermin dan memperhatikan seragamnya lamat- lamat. Ah, akhirnya ia bisa merasakan memakai baju batik sekolah. Baju batik sekolahnya lumayan cakep, dengan pola batik berwarna biru tua dan ungu. Seragam sekolahnya sepertinya di buat lumayan modis untuk ke sekolah. Novan melirik jam dindingnya. Masih lama lagi sampai Stevan datang menjemputnya. Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Ia memilih duduk alih- alih rebahan di kasur. Ia pasti langsung terlelap jika rebahan sekarang. Ia mendengar suara tangisan Mikel di bawah sana. Mikel pasti baru bangun. Salah satu kebiasaan anak itu, selalu menangis setiap bangun dari tidur. Novan turun ke bawah dan melihat ibunya kewalahan menenangi Mikel yang menangis kencang. “Mikel … udah, jangan nangis lagi ya … yuk kita nonton kartun yuk …” Rayu ibu Novan. Mikel menggeleng. Tangisnya semakin kencang. Novan menghampiri Mikel dan mengusap puncak kepala adiknya. “Eh, Mikel udah bangun rupanya,” sapa Novan. Ia menyinggungkan senyum manis. Mikel melirik Novan. Tangisnya berhenti sesaat. Ia memeluk Novan dan lanjut menangis di dalam dekap pelukan. “Eh, eh, kok nangis adek abang. Kenapa nangis?” Tanya Novan lembut. Ia menggendong Mikel yang masih menangis sesengukan. “Abang..!!” Mikel memeluk leher Novan. “Eh, eh, Mikel mau nonton kartun nggak? Nggak mau? Ya udah, kita jalan- jalan dulu mau nggak?” Bujuk Novan. “Itu di luar ada burung tuh terbang, dia lagi nyari makan buat anaknya. Mikel mau nengok?” Mikel berhenti menangis sesaat dan menatap Novan, lalu mengangguk. Novan mencium dahi Mikel. “Ya udah, yuk kita nengok burung yuk di luar,” ajak Novan. “Keluar bentar bu.” “Iya nak, hati- hati ya jaga Mikel,” balas ibunya. Novan memakai sandal yang ada dan pergi keluar rumah sambil menggendong Mikel. Ia mengajaknya keliling di sekitar rumah. Beberapa ibu yang sedang membeli sayur menatapnya. “Wah, cakep banget ya. Itu siapa jeng?” “Oh, itu tuh. Anaknya tetangga baru kita, katanya sih dia baru pindah kemari.” “Oalah. Ya ampun, ganteng banget ya. Coba seumuran sama saya, pasti udah saya embat.” “Ye, bu. Sadar umur bu. Kalau yang seumuran ibu mah, susah nyari yang gantengnya kayak gitu.” “Eh tapi suami saya mudanya seganteng itu kok!” “Halah, mana mungkin. Suamimu yang kumisnya tebal itu? Dulu ganteng kayak anak itu? Nggak mungkin!” “Ih iya loh! Dia dulu ganteng banget. Waktu udah punya anak aja udah berubah jadi kayak gitu, gemuk gempal!” “Iya, mungkin gantengnya menurut kamu aja. Kan cinta itu bikin buta.” Novan mendengar semua percakapan itu. Ah, dasar ibu- ibu. Ia tidak memperdulikan mereka. Ia menemani Mikel dan menjawab semua pertanyaan Mikel. “Abang, itu burungnya abang!” Mikel menunjuk burung yang sedang bertengger di kabel tiang listrik. “Burung! Burung! Sini burung!” Panggil Mikel dengan nyaring. Burung itu terbang menjauh. “Yah abang, burungnya pergi …” Gerutu Mikel. “Burungnya mau cari makan itu, buat anak- anaknya di rumah,” ucap Novan berusaha menenangkan adiknya. “Oh, dia lagi cari makan … semangat burung! Anak- anakmu menunggu!” Mikel melambaikan tangan pada burung yang terbang. Novan tersenyum geli melihatnya. “Eh, anak itu masih SMA ya? Kalau di jodohin sama anak saya mau nggak ya? Say amah mau banget kalau punya mantu ganteng kayak gitu.” “Coba aja jeng. Samperin, nanya namanya siapa. Terus ajak kenalan sama anakmu.” “Oh iya juga ya.” Gawat! “Mikel, kita masuk yuk? Mikel makan juga yuk kayak burung- burungnya. Mau nggak?” Bujuk Novan. Please mau Mikel, please … “Yuk masuk bang! Mikel udah lapar,” jawab Mikel. Novan bersorak girang dalam hati. Mikel, terima kasih sudah mau bekerjasama! “Yaudah, kita masuk ya. Mikel udah nggak tahan lagi kan, uda lapar banget kan. Yuk cepet yuk kita masuk!” Novan menggendong Mikel dengan erat dan buru- buru lari kembali ke rumah. Ia baru bisa bernafas lega saat sudah masuk ke dalam rumah. “Mikel! Udah main di luarnya? Tadi ngapain aja di luar?” Tanya ibu Novan. Ia menggendong Mikel. “Udah ma. Tadi kan, ada burung ma. Dia burungnya di atas itu, di atas benang gede hitam itu mah, berdiri dia di situ. Terus burungnya terbang. Kata abang, dia terbang karena mau cari makan, buat anaknya!” Mikel bercerita pada ibunya. Novan melirik jam dinding di ruang tengah dan terbelak kaget. “Loh? Udah jam segini?” Gumam Novan. Ia buru- buru kembali ke kamar dan mengecek smartphone miliknya. Ia keasikan ajak Mikel keluar sampai lupa kalau dia sudah janji akan di jemput oleh Stevan. Ada 2 miss call dari Stevan, juga beberapa notif chat. Stevan Eh, udah siap nih aku. lagi otw. Tunggu terus ya di depan g**g itu. Baru saja ia hendak mengetik balasan, Stevan menelponya. Novan mengangkat telpon itu. “Halo …” “Heh, dimana? Aku ini udah sampai loh,” “Oh, dah sampai di depan g**g ya? Oh, oke oke. Aku keluar nih.” Novan menggendong tasnya dan pergi keluar kamar. “Yaelah. Udah di bilang tunggu di g**g aja. Ya udah, jangan lama ya.” Stevan mematikan telponnya. Novan mengantongi smartphone di saku celana. Ia mengambil sepatu dari rak dan memakainya dengan buru- buru. “Abang, abang mau kemana?” Mikel menghampirinya. “Abang mau sekolah dulu,” jawab Novan. Ia bangkit berdiri dan mencium dahi adiknya. “Abang pergi dulu ya. Mikel jangan lupa sarapan.” Novan melambaikan tangannya. “Dadah abang.” Mikel balas melambaikan tangan. Ah, gemas sekali melihatnya. **** Novan berlari menyusuri g**g yang sepi, tapi langkahnya terhenti saat ada seseorang yang menepuk bahunya. Novan menoleh. Ternyata itu ibu yang tadi belanja sayur. “Nak, saya baru lihat kamu di sini. Baru pindah ya?” Tanya beliau. Novan mengangguk. “Anak ini masih SMA ya? Kelas berapa? Anak ini siapa namanya?” Tanyanya beruntun. “Hah, eh .. saya …” Suara klakson yang nyaring dari mobil Stevan terdengar sampai ke g**g. Novan menoleh dan melihat Stevan di dalam sana, sedang memperhatikannya dari kejauhan. “Maaf bu, saya sudah di tungguin teman saya. Pami ya bu.” Novan sedikit menundukkan badannya. “Oh, oke. Hati- hati ya nak.” Novan hanya mengangguk dan lari menghampiri mobil Stevan. Ia membuka pintu dan duduk di jok depan. “Siapa tuh tadi?” Tanya Stevan saat Novan sednag memasang seatbelt. “Tetangga kayaknya. Nggak tahu,” jawab Novan. “Lah kalau nggak tahu ngapain tadi kamu ngobrol lama kali sama beliau?” Tanya Stevan bingung. “Tadi, ibu itu beli sayur dekat rumah, terus nengok aku lagi keluar sama si Mikel. Katanya dia mau kenalin aku sama anaknya, mau jodohin gitu. Tadi kayaknya basa- basi biar bisa kenalan. Untung kamu klakson tadi, jadi bisa kabur kan.” Novan menepuk pelan pundak Stevan. Stevan tertawa kecil mendengarnya. “Ada- ada aja, mau di jodohin sama orang asing random kayak gitu,” gumam Stevan. Novan mengedikkan bahunya. “Entah dah, memang agak aneh. Padahal baru lihat sekali, udah kepikiran aja mau jodohin anaknya.” Stevan geleng- geleng kepala. “Kasian anaknya. Bentar- bentar di jodohin sama orang random,” gumam Stevan. “Iya juga sih ya.” “Kayaknya sih beliau tuh sebenarnya mau cari jodoh buat dirinya sendiri, tapi ingat masih ada suami jadi ya milih buat anaknya aja, tapi sesuai dengan kriteria dia gitu,” ujar Stevan. “Si ibu setia sama suami, tapi bibit gatal ingin selingkuhnya masih ada ya.” Mereka tertawa cekikian di dalam mobil. “Bayangin deh kalau kamu beneran di jodohin sama anaknya ibu itu …” Gumam Stevan. “Dih, ogah!” **** Mereka tiba di sekolah lebih cepat. Karena mereka berangkat lebih pagi, jadi tidak terjebak macet. Novan melepaskan seatbelt, sedangkan Stevan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Ngapain sih?” Tanya Novan. “Nyari anak orang. Kali aja temanmu yang kemarin ada. Atau nggak si Sarah Claryson itu lewat,” jawab Stevan tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun. Novan geleng- geleng kepala. “Masih sepi ini, mungkin belum datang. Atau mungkin dianya udah di kelas,” ucap Novan. Stevan menoleh dan menatapnya lamat- lamat. “Aku antarin kamu sampai ke kelas ya?” Mohon Stevan. Novan melongo. “Dih! Nggak! Kamu kira aku anak TK?!” Tolak Novan. “Ayolah Van … ya, ya, aku antarin sampai ke kelas ya …” Pinta Stevan. Novan mengeleng. “Nggak! Dih, buat malu aja!” Novan membuka pintu mobil dan keluar sebelum di cegat oleh Stevan. “Dah, pergi ke kantor sana! Nanti telat!” “Kamu nggak mau aku anterin sampai ke kelas Van? Nanti kamu kesasar gimana?” Tanya Stevan. “Nggak! Nggak ada! Aku bukan bocah TK woi!” Tolak Novan. Ia pergi memasuki gerbang sekolah, meninggalkan Stevan yang masih memarkir mobil. Nah kan, pasti matanya jelajatan itu, mencari cewek- cewek yang berparas lumayan untuk cuci mata. Novan tidak peduli. Ia berjalan menyusuri lorong kelas XI MIPA dan masuk ke kelasnya. Ia agak kaget melihat kelasnya yang sudah ramai sepagi ini. Ia menaruh tas di kursinya. “Kenapa nih? Kok tumben udah rame aja jam segini?” Tanya Novan. “Novan!” Panggil Gilang. Gilang datang menghampirinya sambil membawa buku tulis. “Kamu udah kerjain tugas belum?” “Tugas yang mana memang?” “Tugas Bahasa Inggris. Katanya kan di suruh ngerangkum soal film kemarin kan.” Novan mangut- mangut. “Oh, tugas itu. Udah siap sih …” Ia menatap Novan dengan mata berbinar penuh harap. Ah, dia udah tahu sih ini ujungnya bakal gimana. “Van, aku pinjem …” “Nggak!” Tolak Novan sebelum Gilang menyelesaikan ucapannya. “Nggak ada! Itu tugas ngerangkum nggak boleh sama, itu kan beda orang beda lagi yang dia tulis. Nggak pokoknya.” “Tapi Van …” Novan menggeleng. “Nggak! Pokoknya enggak! Maaf ya, aku udah begadang semalaman demi kerjain itu tugas. Enak aja kamu pinjem,” tolak Novan. Gilang mendengus kesal. “Cih, pelit,” gerutunya. “Bukan pelit. Itu emang hasil kerja keras dia, ya maklumlah kalo dia nggak mau ngasih,” bela Andi. “Kalian juga, bukannya dari semalam kalian kerjain. Kan udah aku bilangin toh dari semalam di grup.” “Semalam aku tuh tidur cepat, nggak ngecek grup. Baru tadi pagi aku buka grup,” kilah Iwan. “Sama, aku ju …” “Nggak usah banyak alasan kamu ya Yud. Semalam kamu kan yang ajak tuh si Gilang di grup buat battle game?” Kilah Andi. Yudi terdiam. “Kalian ini. Jangan kalian salahan aku ya, aku juga baru di bilang semalam sama beliau kalau tugasnya di kumpul hari ini. Aku juga baru kerjain semalam kok,” ujar Andi. Ia bangkit dari duduk. “Udah ya, aku mau kumpul duluan. Yuk Van, kumpul tugasnya.” Novan mengangguk. Ia membuka tas dan mengeluarkan buku PR. Ia menyusul Andi yang menunggunya di pintu kelas. “Woo, nggak setia kawna kalian!” Sorak Yudi, yang di ikuti oleh anak- anak yang lain. “Tau tuh. Bukannya kumpulin sama- sama!” Timpal Iwan. “Caper memang tuh. Oalah anak caper, oh anak capet. Biar dapat nilai tinggi dari guru ya?” Celetuk yang lainnya. Andi tidak peduli. Sorak- sorakan itu masih bisa terdengar dari luar kelas. Novan mengikuti Andi sambil sesekali meliriknya. “Kamu nggak apa …” “Nggak apa,” jawab Andi. “Biarin aja mereka. Memang kayak gitu tabiatnya. Nggak ada usahanya sama sekali, terus ngatain orang yang mau berusaha. Harusnya mereka malu, karena mereka lepas dari tanggung jawab mereka dari kerjain tugas itu.” Ya, benar juga sih kata Andi. **** Bu Indri, selaku guru Bahasa Inggris, datang ke kelas beberapa menit sebelum bel berbunyi. Beliau marah karena hanya segelintir murid yang mengumpulkan tugas. Beliau memarahi mereka yang belum mengumpulkan tugas dan menambah tugas mereka. “Kalian yang belum kumpulin tugas, tugasnya saya tambah! Kalian harus meringkas cerita rakyat pakai bahasa Inggris dan harus kalian kumpul di meja saya besok pagi. Kalau kalian nggak kumpul juga, nilai kalian saya kosongin sampai seterusnya!” Ancam bu Indri, lalu pergi keluar kelas bersamaan dengan dering bel masuk. “Yaelah, malah di tambah,” gerutu Yudi. “Padahal yang satu itu udah pusing banget,” timpal Tata. “Makanya kalian tuh kerjain langsung, jangan di tunda- tunda. Kan jadi kayak gini jadinya,” ujar Andi. Yudi berdecak kesal dan melirik Andi tajam. “Diem deh Ndi. Mood aku lagi jelek nih. Jangan sampai nanti aku tepok kau ya!” Ancam Yudi, lalu melengos pergi ke bangkunya. “Yaelah, padahal salah dia juga,” gumam Novan pelan. “Udah, biarin aja. Memang kadang anaknya suka gitu,” ujar Andi. Ia menghampiri Gilang yang masih berkutat dengan tugas Bahasa Inggris. “Belum selesai?” Tanya Andi. Gilang mendelikkan matanya. “Menurut lo?” “Sini, aku bantuin. Tapi nggak aku kasih contekan. Nih, biar cepet tuh caranya gini..” Andi menarik kursi di sebelah Gilang. “Nih, kamu coba searching aja di gogle. Cari aja review filmnya, biasanya ada tuh para pengamatnya ringkas filmnya jadi satu. Atau kamu buka dari youtube, terus aktifin goggle voice translate, nanti dia bakalan ke translate sendiri. Udah dah, tinggal kamu tulis aja.” Gilang mangut- mangut dan menatap Andi penuh takjub. “Iya juga ya Ndi. Jadi lebih cepet. Pinter kamu!” Gilang menjentikkan jarinya. “Thank you ya!” “Aku nggak mau kasih kamu contekan, tapi kalau kamu minta tolong ajarin atau cari cara buat selesain soal, aku bakal bantuin kok,” ucap Andi. Gilang mengangguk. “Maaf udah ngatain tadi …” Gumam Gilang. Andi menepuk pundaknya pelan. “Udahlah santai aja. Nggak apa kok, nggak aku masukin ke hati.” Andi bangkit dari duduk dan menaruh kembali kursi itu ke tempatnya. “Udah ya. Kerjain terus itu. Nanti tugas yang satu lagi juga aku bantu.” “Oke! Makasih banyak Ndi! Memang kamu paling baik!” Ia mengacungkan kedua jempolnya. Andi tersenyum kecil. “Lah? Kamu bantuin si Gilang? Bantuin aku juga dong, kasih aku contekan kek …” Pinta Yudi. Ia duduk di bangku depan Andi. Kini mereka saling berhadapan. Andi tidak memperdulikan Yudi. Ia sibuk membuka buku untuk pelajaran pertama. “Heh! Ada orang nih di depan sini, kok di cuekin?!” Gerutu Yudi. Andi hanya meliriknya sekilas. Yudi mulai naik pitam karena di cuekin dan menendang meja Andi. “Heh! Belagu amat lu! Mentang- mentang ketua kelas, punya jabatan di OSIS jadi gitu ya? Udah nggak kenal lagi kita ya? Cuma Gilang kawan kau ya?” “Buat apa aku bantu kamu? Kalaupun aku bantuin, kamu kan maunya contekan bukan cara mengerjakan yang benar dan cepat.” “Memangnya ada cara kerjain dengan cepat?!” “Ya ada. Makanya mikir. Jaman sekarang udah canggih, udah ada yang namanya goggle. Searching, cari di goggle. Salin di buku tulis. Effort sedikitlah. Kalau nggak ada yang versi Bahasa Inggris, tinggal di copas terus translate, selesai. Lewat video, di tulis ulang, selesai.” “Halah, sama aja repot kayak gitu. Nyari- nyarinya lagi.” “Memang dasarnya malas, susah di ubah. Nggak ada usahanya sedikit pun.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN