Bab 76

3320 Kata
BUK!! Semua terjadi begitu cepat. Yudi yang merasa tersinggung dengan perkataan Andi pun akhirnya meninju Andi. Andi sedikit limbung dan menabrak meja di belakangnya. Dia berpegangan di pinggir meja. “Ini anak, di biarin malah makin ngatain. Kurang ajar memang!” Geram Yudi. Ia mengepalkan tangannya dan kembali meninju Andi. “Faktanya kan gitu, bukan ngatain ..” Gumam Andi. “KOK MAKIN NGELUNJAK AH? RASAIN NIH!” Yudi meninju Andi berkali- kali, tidak memberikan kesempatan pada Andi untuk mengelak. “Heh, udah Yud, udah!” Novan berusaha memisahkan mereka berdua. Gilang yang berusaha menahan Yudi malah kena bogem mentah. Andi terduduk di lantai pun perlahan bangkit berdiri. Ia menatap tajam Yudi. Ia mengepalkan tangannya dan hendak melayangkan tinju pada Yudi. “Ndi! Jangan!” Novan berusaha menghadangnya, tapi apes. Dia yang kena bogem. Ia meringis perih sambil memegang pipinya yang sedikit memerah. Untunglah tinju Andi tidak terlalu sakit, tapi berhasil membuatnya terhuyung. “Van! Maaf Van …” “Hahaha, dasar! Sok pahlawan! Nih kalo tinju tuh kayak gini…!” Yudi kembali melayangkan tinju ke Andi dan terkena tepat di ulu hatinya. Andi terhuyung dan jatuh terduduk di lantai. Merasa belum puas, Yudi menginjak- injak Andi. Andi meringkuk memeluk kakinya. “Rasain tuh! Rasain!” “Yud, udah Yud!” Pinta yang lain. “Nggak. Anak ini memang harus di kasih pelajaran, biar nggak seenak jidat ngomongnya!” Yudi menginjak- injak Andi sampai babak belur. Ia tidak memperdulikan rintihan kesakitan Andi. Gilang dan Iwan yang mencoba menghadangnya langsung kena bogem mentah. Tidak ada yang bisa menahan Yudi saat ini, sampai … “ADA APA INI?!” Semua menoleh ke pintu kelas dan terbelak kaget melihat bu Julia berdiri di sana, dengan pak Gono dan pak Rudi melongok di dalamnya. “Ada apa ini hah? Kenapa kalian malah berkelahi di kelas?” Bu Julia menghampiri. Ia membopong Andi untuk berdiri. Ia memperhatikan seisi kelas. Anak- anak yang lain berkumpul di pojok kelas, kecuali Yudi, Andi, Gilang, dan Iwan. “Kalian …” Bu Julia menunjuk mereka berempat. “Ke ruangan BK, sekarang!” ***** Bu Julia menatap tajam sambil mengelilingi mereka yang sedang duduk bersimpuh di lantai sambil menundukkan kepala. “Kamu, angkat tangannya!” Bu Julia menepuk Yudi. Yudi mengangkat satu tangannya. “Dua tangan! Yang tinggi!” Yudi menurut. Ia mengangkat kedua tangannya tinggi- tinggi. Saat ini, Yudi, Gilang, Iwan, dan Novan berada di ruang BK bersama bu Julia. Andi di bopong ke UKS lebih dulu untuk mengobati lukanya. Suasana ruang BK sunyi dan semakin mencekam dengan tatapan tajam bu Julia yang penuh selidik. Siapa yang menyangka kalau bu Julia balik lebih cepat? Siapa juga yang menyangka kalau beliau sedang piket hari ini? “Semuanya nunduk! Kamu juga, Yudi! Tangannya tetap di atas!” Perintah bu Julia. Kami menundukkan kepala. “Saya tanya, salah satu dari kalian harus jawab. Siapa yang mulai duluan, Yudi?” Bu Julia berdiri di depan Yudi. “Andi duluan bu, yang ngata- ngatain saya,” jawab Yudi. Bu Julia mangut- mangut. Ia menyilangkan kedua tangannya di d**a. “Ya, ya … Kalau menurut kamu, siapa yang mulai duluan …” Bu Julia menghentikan langkahnya. “Kamu, anak baru kan? Siapa nama kamu?” Tanya bu Julia. “Novan bu,” jawab Novan tanpa mendongak. “Nah, Novan. Kamu ada di sana waktu itu. Menurut kamu, siapa yang mulai duluan? Benar apa kata Yudi?” Tanya bu Julia. “Begini bu … yang Yudi bilang ada benarnya juga, tapi ada salahnya juga bu ..” Jawab Novan. “Maksud kamu? Jadi pernyataan Yudi ini benar atau salah? Kamu Novan, lihat ibu.” Novan mendongak dan menatap bu Julia. Tatapannya sedikit lebih lembut daripada tadi. “Begini bu sebenarnya. Iya memang, Andi salah ngomong jadi bikin sakit hati Yudi. Tapi yang Andi bilang nggak salah sepenuhnya, bu. Yudi duluan yang ngatain Andi, tapi Andi nggak peduli. Malah dia kasih saran ke Yudi, tapi Yudi nggak mau nerima saran itu. Terus Yudi sakit hati karena Andi bilang kalau Yudi itu nggak ada usahanya, gitu.” Novan berusaha menjelaskan kronologi kejadian sesingkat mungkin. Bu Julia mangut- mangut. “Anu … bener bu yang di bilang Novan. Tadi itu Yudi ngatain Andi karena udah siap tugas duluan dan nggak mau kasih contekan tugas, jadinya dia kena hukuman. Terus dia protes karena cuma saya yang di bantu olehnya, yang mungkin Yudi anggap saya aja yang di kasih contekan. Padahal Andi ngasih cara gitu buat lebih mudah kerjain tugasnya. Andi udah saranin juga ngikutin cara itu, tapi si Yudi malah nolak. Kalau menurut saya, harusnya Andi yang marah bukan Yudi,” timpal Gilang. “Heh! Tapi dia yang ngatain aku ya! Kok dia pula yang harusnya marah hah?!” Protes Yudi. “Yudi …” Bu Julia menatap tajam Yudi. Yudi menundukkan wajahnya dan berdecak kesal. “Jadi kalian kenapa kok jadinya babak belur juga? Kalian ikut gabung berantem sama mereka?” Tanya bu Julia. “Coba, angkat wajah kalian bertiga!” Novan, Gilang, dan Iwan mendongak menatap bu Julia. Bu Julia memegang dagu mereka satu persatu. “Ikut berantam kalian ya? Ikut gebukin si Andi?” Mereka menggeleng bersamaan. “Nggak bu.” “Kami babak belur gini karena mau relai mereka, bu. Mau tahan si Yudi, mau pisahin si Andi,” jawab Gilang. “Jadi siapa yang mukul kalian sampai kayak gini?” Tanya bu Julia. Iwan dan Gilang serempak menunjuk Yudi. Yudi berdecak kesal. “Terus kamu? Yang mukul kamu si Andi?” “Tapi nggak sengaja bu. Tadi Andi mau balas mukul si Yudi, tapi saya mau halangi. Eh malah saya yang kena jadinya.” Bu Julia mangut- mangut. “Ya udah, kalian obatin dulu luka kalian itu di UKS, lalu kembali lagi kemari. Bawa Andi juga kemari, saya harus dengar kronologi dari dia juga,” perintah bu Julia. “Sudah, berdiri kalian. Pergi ke UKS dulu.” Mereka bertiga mengangguk dan bangkit dari duduk. “Permisi ya bu …” Ujar mereka sambil sedikit menundukkan badan melewati bu Julia. “Terus saya gimana bu? Kok mereka boleh keluar?” Tanya Yudi. “Kamu tetap di sini. Kamu nggak ada luka, nggak harus di obatin,” jawab bu Julia ketus. “Tapi bu …” Bu Julia menatapnya tajam. Yudi kicep, ia menelan ludah dan kembali menundukkan wajahnya. **** Andi sedang berbaring di UKS. Wajah dan tangannya yang babak belur sudah di obati seadanya. Beberapa luka di tutupi dengan plester luka. Mereka bertiga menghampiri Andi dan duduk di pinggir kasur. “Gimana Ndi?” Tanya Gilang. Andi mengangguk lemah. “Lumayan. Tadi udah di obatin sama perawat UKS,” jawab Andi lemah. “Kamu tadi di suruh ke BK Ndi sama bu Julia, bareng kami. Tapi kalau kamu nggak bisa, nanti kami bilang aja ke bu Julia,” ucap Iwan. “Nggak apa kok. Kalian ngapain kemari?” “Nih.” Mereka bertiga menunjukkan pipi yang babak belur. Andi menatap pipi Novan lamat- lamat. “Sori Van, aku …” “Nggak apa, santai aja,” potong Novan. “Nggak sakit kok, perih sedikit doang. Merah doang aja sih ini. Untung aja kamu tinjunya nggak kenceng.” “Padahal aku tadi udah pakai tenaga dalam …” Lirih Andi. Mereka bertiga menahan tawa. “Tenaga dalam kamu kurang kuat kayaknya sih,” gumam Gilang. Andi mendengus. “Kalian ngapain di sini?” Tanya seseorang di pintu UKS. Kami menoleh. “Kenapa muka kalian tuh? Adu jontos dimana? Siapa lawan siapa? Siapa yang menang?” “Bu Julia yang menang,” jawab Iwan. “Kamu ngapain kemari?” “Lagi dapat giliran jaga.” Ia menutup pintu UKS. “Kelasku nggak ada guru. Mending kemari aja sih, tadinya mau sekalian tidur. Tapi ada kalian, nggak jadi dah.” “Siapa dia?” Bisik Novan di telinga Gilang. “Oh, dia. Dia Juno, anak IPS. Dia anggota PMR,” jawab Gilang. “Eh, siapa nih? Anak baru ya?” Tanya Juno sambil menunjuk Novan. Novan mengangguk. “Iya. Novan, sekelas sama mereka.” Novan menyodorkan jabatan tangan dan di balas oleh Juno. “Oh, kamu toh yang lagi heboh itu. Juno, IIS 1.” Juno memperkenalkan dirinya. “Kalian ini, kalo berantem jangan di ajaklah anak baru. Kasian. Lawannya sama bu Julia pula, ya udah pasti menanglah.” “Nggak apa, biar dia merasakan kerasnya kehidupan sekolah kita sesekali.” Gilang merangkul Novan. “Bentar dah, aku ambil kotak P3K dulu. Kalian obatin sendiri aja, bisa? Kalau nggak biar aku apain dah.” Juno melewati mereka dan membuka lemari. Ia mengeluarkan kotak P3K dari sana dan membawanya ke dekat kami. Ia tersentak kaget melihat Andi yang terbaring lemah di kasur dengan wajah babak belur. “Ndi? Kok babak belur juga? Kalian ini berantam sama siapa kok bisa nih anak orang bonyok?” Tanya Juno. “Yah …” Gilang berdehem. “Jadi begini …” Gilang menceritakan secara singkat kronologi yang terjadi di kelas tadi. Juno mendengarkan dengan seksama sambil mengobati luka Iwan. Juno geleng- geleng kepala mendengarnya. “Oalah. Pantas jadi babak belur kayak gini, di hajar sama si Yudi. Susah mah kalau sama atlit tinju. Cuma bu Julia doang memang yang bisa diemin,” komentar Juno. “Makanya aku bilang, yang menang tuh bu Julia. Nampakin diri aja udah ciut pasti tuh anak,” tukas Gilang. “The power of bu Julia emang bukan main sih,” timpal Iwan. “Tapi si Yudi itu emang kebiasaan sih. Apa- apa main pukul, kesel sedikit pukul. Mana seringan yang di pukulnya itu anak yang lemah, susah lawan dia yang atlit tinju. Nggak berubah tabiatnya,” ujar Juno. “Kamu mau di obatin juga?” Juno melirik Novan. “Nggak usah dah, cuma merah gini doang. Kompres sedikit hilang palingan,” tolak Novan. “Ya udah, bentar deh. Ada kompres kok. Bentar ya, habis ini aku ambil di kulkas. Kalian semua harus di kompres itu.” Juno bangkit dari duduk dan membuka pintu yang ada di dalam UKS. Novan mengintip karena penasaran. Pintu itu menuju lorong yang mengarah ke dapur. Unik, seperti labirin. “Kamu ngapain?” Tanya Juno sambil menenteng tiga buah kompres es. “Nggak, kepo aja sih tadi.” Juno mangut- mangut. “Tutup pintunya, keluar nanti angin AC.” Novan menutup pintu. Ia duduk di kursi dekat kasur. Juno memberikannya kompres es. Ia mengompres pipinya dengan es. “Oh ya, udah bilang belum nggak sih tadi? Kamu juga di suruh ke ruang BK sama bu Julia, Ndi,” ucap Novan. Andi mengangguk. “Iya dah, nanti aku ke ruang BK sama kalian. Kompres aja dulu, palingan bu Julia mau tunggu,” balas Andi. “Habis dah tuh si Yudi, tinggal sendirian dia di ruang BK. Entah bakal di kasih hukuman kayak apa dia tuh,” gumam Gilang. “Iya juga sih ya.” “Halo, permisi!” Sapa seseorang berseragam putih di depan pintu. “Lah, saya kirain bu Julia bilang satu anak aja. Rupanya rame toh. Oalah, pada keroyokan kalian ya? Emang dah anak- anak jaman sekarang.” “Oh, mbak Dila sudah datang.” Juno bangkit dari duduknya. Dia duduk di meja perawat. “Loh? Juno yang dapat giliran piket ya? Kirain tadi yang anak perempuan yang piket.” Mbak Dila, perawat sekolah menaruh tasnya di atas meja. “Saya gantian piket dengan mereka sih mbak. Mereka udah Juno obatin tadi mbak, tinggal di kompres dikit aja sampai kurang bengkaknya.” Mbak Dila mangut- mangut. “Tadi saya lagi ada perlu di luar, terus bu Julia telpon, katanya ada yang berantem sampai bonyok. Saya di suruh balik segera. Ya, saya langsung balik.” Ia menghampiri Andi. “Kayaknya kamu yang di maksud bu Julia. Gimana? Apa masih ada yang sakit?” Tanya mbak Dila sambil memegang lengan Andi. Andi meringis kesakitan. “Ada sakit di dalam ya? Maaf, saya pegang ya.” Mbak Dila memeriksa tangan Andi. Andi meringis kesakitan. “Kalau di gerakin bisa nggak? Coba di gerakin sedikit aja.” Andi mengangkat tangannya. “Sakit?” “Nggak mbak.” “Oh oke, mungkin itu lebam aja. Tapi kalau tanganmu nyeri kalau di gerakin sedikit aja, bawa ke puskesmas atau rumah sakit ya. Takutnya itu ada yang patah atau masalah lain.” “Iya mbak.” “Oh ya.” Mbak Dila melirik Novan, Gilang, dan Iwan bergantian. “Hampir lupa. Tadi bu Julia suruh kalian buat kembali ke ruang BK.” “Ya udah, kita balik lagi aja yuk,” ajak Gilang. Iwan dan Novan mengangguk dan bangkit dari duduk. “Eh tapi, nggak semua,” lanjut mbak Dila. “Tadi satu orang aja katanya yang balik ke sana. Duh, lupa lagi siapa namanya. Siapa ya .. em… itu … namanya … Nov.. apa deh, anak baru sih katanya …” Mereka menoleh menatap Novan sambil mengernyitkan alis. Novan menunjuk dirinya. “Hah? Saya?” ***** Novan berjalan menyusuri lorong yang sepi menuju ke ruang BK. Kenapa hanya dia saja yang di panggil ke ruang BK? Kenapa mereka tidak? Padahal kan yang punya masalah di sini Andi dan Yudi, sedangkan yang lain hanya mencoba merelai saja yang kebagian apes. Ia berhenti di depan pintu ruang BK. Jantungnya berdegup kencang, tangannya berkeringat. Kenapa? Ada apa? Apa dia ada buat salah? Ia meremas tangannya. Seperti biasa, ruang BK amat sepi. Ia tidak bisa mendengar apapun dari depan pintu. Apa mungkin ruang BK ini di buat kedap suara ya? Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Oke, tidak apa. Kamu harus tenang. Jangan panik. Toh, kamu merasa tidak buat salah kan? Ia membuka pintu ruang BK perlahan. “Anu, permisi …” Novan melongokkan kepalanya. Bu Julia sedang duduk di mejanya, sedangkan Yudi masih tetap di posisi yang sama. “Ibu cari saya?” Bu Julia menoleh dan menutup bukunya. “Oh, iya. Kamu masuk dulu.” “Permisi …” Novan menutup pintu dan berdiri di sebelah Yudi. “Duduk aja dulu. Bentar ya, saya mau selesaikan dulu ini soal si Yudi dan Andi.” “Oh ya bu, makasih.” Novan duduk di sofa. Ia menelan ludah. Ruang BK terasa sangat mencekam dan dingin. Novan menggenggam tanganya erat- erat. Tenang saja, tenang. Kan katanya tadi mau menyelesaikan masalah Yudi dan Andi, jadi dia tidak apa- apa kan? Kalau begitu, kenapa dia yang di panggil ke ruang BK lebih dulu? Ah, semua pertanyannya baru bisa terjawab nanti, saat mereka kembali ke ruang BK. Novan melirik bu Julia yang sedang menghela napas panjang di mejanya. “Hah, kalian ini memang .. ada aja masalahnya memang. Nggak habis pikir, kok bisa ada masalah kayak gini ..” Bu Julia geleng- geleng kepala sambil memegang jidatnya. Novan bertanya- tanya tentang masalah apa yang terjadi, sampai bu Julia terlihat tidak habis pikir. Ia mengeluarkan smartphone dan mengetik sesuatu di sana. “Hallo, Dila. Iya, tolong itu anak- anak di bawa kemari semua ya kalau udah mendingan. Iya, yang itu tolong di bopong aja. Atau nggak kamu bawa aja pakai kursi roda. Iya, makasih ya Dil.” Oh, kayaknya mereka bakal kemari. Ah, syukurlah … Novan menghela napas lega. Ia merasa canggung duduk sendirian di ruang BK. Ia tidak bisa mengobrol dengan Yudi. Gimana mau ajak ngobrol? Yudi saja menatapnya tajam seperti hendak menerkam mangsa. Mungkin kalau bu Julia tidak ada, dia sudah jadi samsak tinjunya. Tak lama terdengar suara ketukan pintu. Pintu terbuka dan tampaklah Gilang dan Iwan yang membopong Andi. “Permisi bu Julia,” salam Gilang dan Andi bersamaan. “Oh iya. Masuk nak. Kalian langsung duduk aja di sana. Pelan- pelan ya bawa teman kalian,” pinta bu Julia sambil menunjuk sofa. Novan menepuk sofa kosong di sebelahnya. Gilang dan Iwan pelan- pelan membopong Andi dan mendudukkannya di sana. Yudi menurunkan tangannya dan mengurut pundaknya yang pegal. “Yudi.” Bu Julia menatapnya tajam. “Siapa yang suruh turunin tanganmu? Angkat lagi tangannya!” “Baik!” Yudi kembali mengangkat tangannya tinggi. Bu Julia menghampiri kami dan duduk di sofa. “Jadi, begini. Menurut pandangan saya, baik Andi dan Yudi sama- sama salah,” ujar bu Julia. Andi hendak angkat bicara, tapi bu Julia langsung memberi interupsi. “Saya belum selesai. Menurut saya, jelas Yudi yang lebih salah di sini. Ia seharusnya bisa menahan dirinya, dan apa yang kamu bilang sebenarnya tidak salah, Ndi. Hanya saja, kata- katamu mungkin sedikit kasar dan menusuk Yudi. Itu yang membuat Yudi marah.” Bu Julia melirik Yudi. “Tapi yang di bilang Andi tidak salah sepenuhnya. Saya sudah tahu masalahnya dimana, seharusnya kamu sadar diri Yud. Kerjakan PR itu udah tugas wajibnya pelajar. Saya tahu kamu anak yang pintar dan berbakat, tapi kalau kamu malas semuanya terasa sia- sia. Kami bangga kamu berhasil memenangkan pertandingan tinju tingkat Nasional dan membawa nama baik sekolah, tapi kalau kamu pakai itu untuk hajar temanmu, itu udah lain ceritanya.” Bu Julia menceramahi Yudi. Yudi menundukkan wajah dan mangut- mangut mendengarnya. “Jadi, saya udah putuskan hukuman untuk kalian. Andi, saya tahu kamu tidak salah, tapi kamu juga kena hukuman. Yudi dan Andi, kalian akan ibu jadikan satu kelompok di event Sains yang akan datang.” Andi dan Yudi terbelalak kaget. “HAH?!” Teriak mereka berdua bersamaan. “Kenapa?” Tanya bu Julia. “Maaf bu, tapi saya udah ada kelompok sendiri bu. Saya udah daftarin dia juga, udah latihan beberapa kali bu. Masa tiba- tiba di ganti, kan saya nggak enak dengan dia …” Protes Andi. “Ah, saya lupa bilang. Tadi udah di keluarin peraturan baru, kalau untuk event ini, hanya anak kelas 11 saja yang boleh ikut. Karena itu saya ajukan untuk daftarin kalian berdua tadi.” “Tapi kenapa bu ..?” Tanya Yudi. “Ya, biar kalian kerjasama. Kalian harus ingat, ini event yang lumayan bergengsi, banyak yang berharap kalau kelompok yang terdaftar bisa membawa nama baik sekolah. Dan Yudi, kamu harus serius kali ini. Kalau tidak, kamu tidak boleh lagi ikut pertandingan tinju.” Bu Julia menatapnya tajam. Yudi menundukkan kepalanya. “Iya, baik bu.” “Nah, untuk yang lain.” Bu Julia menatap Iwan, Gilang, dan Novan bergantian. “Kalian nggak akan kena hukuman, karena kalian cuma mau relai mereka berdua. Yudi, sekarang kamu minta maaf dengan mereka.” Yudi menurunkan tangannya dan merenggangkan kedua bahunya yang mulai kaku. Ia berdiri dan menghampiri mereka. “Maaf ya.” Yudi mengulurkan jabatan tangan pada Andi. “Maaf aku naik emosi tadi.” “Ya, nggak apa. Maaf kalau aku ngomongnya nyelekit.” Andi membalas jabatan tangan Yudi. “Maaf juga ya buat kalian, aku nggak sengaja tinju kalian. Maaf, maaf. Aku nggak sengaja!” Yudi sedikit membungkukkan badannya. “Ah iya, nggak apa kok. Agak sakit sih, tapi udah lumayan kok,” ujar Gilang. Iwan mengangguk. “Udah di obatin kok. Nggak apa, udah nggak apa lagi kok,” sambung Iwan. “Bagus, bagus. Kalian udah maaf- maafan. Jangan lagi kalian berantem kayak gini ya,” pinta bu Julia. Kami mengangguk. “Iya bu.” Bu Julia melirik jam tangannya. “Oh, udah jam segini. Ya udah, kalian balik aja lagi ke kelas. Balik ke kelas ya, jangan kalian belok mampir ke kantin. Kalian udah ketinggalam jam pelajaran ini. Udah, udah, sana balik ke kelas terus!” Perintah bu Julia. “Baik bu.” Mereka bangkit dari duduk. Iwan dan Gilang membantu Andi bangkit dari duduknya. Yudi bantu membopong Andi jalan perlahan bersama Gilang. Iwan dan Novan mengekori mereka dari belakang. “Ah, tunggu dulu,” pinta bu Julia. Mereka menoleh. “Kalian semua boleh balik, kecuali kamu.” Bu Julia menunjuk Novan. “Saya bu?” Tanya Novan memastikan sambil menunjuk dirinya. Bu Julia mengangguk. “Iya, kamu. Kamu tetap di sini. Saya ada perlu dengan kamu. Kalian bilang ya teman kalian izin sebentar.” “Oh, baik bu. Bye, Van.” Mereka melambaikan tangan, sedangkan Gilang memberi semangat dengan menggepalkan tangannya. Novan balas melambaikan tangan. “Kamu duduk dulu di sini ya,” pinta bu Julia. Novan mengangguk. “Baik bu.” Ia kembali duduk di tempatnya tadi dengan kepala yang penuh dengan tanda tanya. Ada apa ini? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN