Untitled Episode

5000 Kata
Novan mengerjapkan matanya perlahan saat mendengar suara seseorang memanggilnya. Ia membuka matanya perlahan. Matanya langsung di sapa oleh sesosok berambut pendek yang memakai kacamata hitam. “Van .. Novan …” Panggilnya lembut. Suara yang tidak asing, tapi entah dimana. Siapa pemilik suara itu? “Novan, bangun Van …” Ia mengguncangkan bahunya pelan. “Hah heh …” Jawab Novan linglung. Ia celingak celinguk dan seketika terbelak kaget. Dia tidak lagi berada di bangku tribun lapangan basket sekolah, tapi di … dimana ini? Ia juga tidak tahu pasti, karena sekelilingnya hanya ada pasir putih yang membentang luas. Apa dia terjebak di tengah gurun? “Ini… kita dimana?” Tanya Novan bingung. “Syukurlah kamu udah bangu. Udah, jangan tidur di sini lagi. Nanti kamu di sapu sama air loh!” Jawab sosok berambut pendek dengan suara perempuan itu. Novan mengernyitkan alis. “Hah? Air?” Baru saja ia berkata seperti itu, sesuatu yang dingin menyapa tangannya. Ia menarik tangannya dan melongo. Ternyata ombak kecil yang menyapu tangannya. Novan menoleh dan kini sebuah laut sudah tercipta dengan ombak- ombak kecil yang menyapunya. Sejak kapan? Bukannya tadi dia sedang ada di tengah gurun sahara yang amat luas ya? “Sejak kapan ada air di sini? Kok .. ada laut di sini?” Tanya Novan bingung. Anak itu mengernyitkan alisnya. “Kamu kenapa sih? Kan memang kita lagi di pantai. Kamunya malah ketiduran di pinggir pantai gini, makanya aku bangunin! Nanti malah kamu terseret ombak!” Jawab anak itu. “Kayaknya kamu masih ngantuk deh, makanya ngigau gitu.” “Hah heh … mungkin …” Gumam Novan. “Udah, udah. Berdiri kamu gih, nanti basah pula.” Anak itu mengulurkan tangannya dan mengangkat Novan berdiri. Ia menepuk- nepuk baju Novan yang kotor dengan pasir pantai. “Ya ampun, udah tahu pakai baju putih malah tidur- tiduran di pasir kayak gini. Hadeh … emang deh ya …” Novan melirik bajunya. Ia masih memakai baju seragam sekolahnya, yang kini tampak kotor dengan pasir- pasir yang menempel. Kenapa dia memakai seragam sekolah ke pantai? Ia menoleh ke anak itu. Ia tidak tahu apakah anak itu perempuan atau laki- laki? Rambutnya pendek seleher, dengan baju kaus gombrong dan celana selutut. Ia terlalu manly untuk anak perempuan dan terlalu manis untuk menjadi anak laki- laki. “Ayo kita ke sana. Udah di tungguin sama yang lain loh,” ajak anak itu. Novan mengernyitkan alisnya. “Siapa yang tungguin?” Anak itu tidak menjawab. Ia menarik tangan Novan dan mengajaknya menjauh dari sana. Novan sedikit terpana. Tangan anak ini sangat lembut seperti tangan bayi. Sepertinya ia sangat merawat dirinya. Ia memperhatikan anak itu lamat- lamat. Dia bahkan terlalu manis untuk menjadi anak laki- laki. Tapi tidak mungkin dia anak perempuan, karena dia sama sekali tidak merasa takut dengannya. “Woi, Novan!” Terdengar suara seseorang memanggilnya di ujung sana. Ia melambaikan kedua tangannya. “Cepet kalian kemari! Kita mau balik!” “Iya, sebentar!” Balas anak itu. “Ayo, cepet!” Anak itu menarik tangan Novan dan mengajaknya berlari. Samar- samar, Novan dapat melihat matanya di balik kacamata hitam. Bulu matanya sangat lentik. Novan memperhatikan anak itu lamat- lamat sampai ia sadar kalau perlahan rambutnya itu memanjang dengan sendirinya. Rambutnya semakin lebat dan panjang. Novan mengerjap kaget. “Van, ayo cepetan …” Anak itu menoleh padanya. Kacamata hitam anak itu terlepas dan ia terbelalak kaget. Dia bukan anak laki- laki, tapi dia anak perempuan yang cantik. Bulu matanya yang lumayan lentik, rambut hitam panjang yang wangi dan lembut melambai di terpa angin laut. “Halah, malah jatuh pula.” Anak itu sedikit merunduk dan mengambil kacamata hitamnya yang jatuh. Novan semakin mengerjap kaget saat melihat celana selututnya di lilit oleh kain Bali dan bajunya berubah menjadi tanktop putih. Kok bisa..? “Van, ayo! Udah di tungguin nih!” Anak itu kembali menarik tangan Novan. Novan masih berdiri kaku di tempat. Ia masih shock dengan perubahan mendadak yang terjadi di depannya. Anak perempuan itu melambaikan tangannya di depan wajah Novan. “Hallo? Van? Hallo?” Tidak ada respon. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Novan. Ia menyatukan jidatnya di dahi Novan. “Hei, kamu nggak apa kan? Kamu sakit? Demam?” Tanyanya. Novan terbelalak kaget. Ia dapat melihat dengan jelas bulu matanya yang lentik, mata coklat gelapnya, ujung hidungnya yang lumayan mancung menyentuh hidungnya. Novan menelan ludah. Ini terlalu dekat, tidak ada jarak di antara mereka. “Eh iya, kok agak panas ya udah.” Anak itu memegang pipinya yang memerah. “Wah, tinggi ini panasnya kayaknya. Sampai merah gini.” Terlalu dekat, tidak. Ia tidak bisa. Novan menelan ludah. Ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan dirinya yang gemetaran, tapi tidak bisa. Perlahan badannya limbung dan jatuh. Sebelum matanya tertutup, ia dapat melihat wajah khawatir perempuan asing itu sambil memanggil namanya. ***** “Woi Van! Van! NOVAN!” Novan terbelak kaget saat mendengar teriakan tepat di kupingnya. Ia tersentak duduk di tempat dan memperhatikan sekeliling dengan linglung. “Hah kan, bangun juga akhirnya anak ini,” gumam Karyo yang duduk di sebelahnya. Novan memperhatikan sekitar. Ia masih di bangku tribun dan di keliling oleh anggota divisi Dana Usaha. Lapangan basket sudah lenggang. Tidak ada lagi orang lain di sana. “Capek di cariin daritadi, taunya malah tidur di sini!” Gerutu Karyo. “Kalian? Cariin aku?” Tanya Novan sambil menunjuk dirinya. “Ya iyalah! Kami tuh daritadi nungguin kamu datang di perpustakaan tau! Tapi kamunya malah nggak datang, padahal tadi balik duluan,” gerutu Karyo, yang di sambut oleh anggukan yang lainnya. “Tadi si Karyo sampai balik lagi ke pos satpam, kirain kamunya tadi balik lagi ke sana, kali aja ada yang ketinggalan. Eh nggak ada,” timpal Fiona. “Tuh Karyo udah keliling sekolah kali buat cariin kamu. Nyari di toilet, ke kantin, ke taman belakang, ke kelasmu, semuanya pokoknya. Sampai nanya sama kang Ujang. Eh taunya kamu malah tidur di sini,” tukas Gisel. Novan melirik Karyo yang mendengus kesal. “Sori …” Gumam Novan. Kirana menghela napas lega. “Udah, nggak apa. Syukur kamu udah ketemu. Tadinya aku takut kamu malah di culik atau nyasar entah kemana, gitu. Soalnya di cariin nggak ketemu kan,” balas Kirana. Dewi dan Thalita cekikian. “Tuh, kak Kirana bisa- bisanya memang mikir kayak gitu,” celetuk Dewi. Thalita mengangguk. “Iya, tuh kak Kirana sampai mau ke TU loh tadi, mau minta nomor orangtua kak Novan, mau ngecek kak Novan beneran hilang atau malah udah kabur pulang duluan,” timpal Thalita, yang di susuli oleh cekikian yang lain. Wajah Kirana memerah. “Lah, kan aku khawatir. Makanya aku nanya kayak gitu! Ck, kalian ini!” Kirana berdecak kesal. Ia membuang wajahnya dan menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. “Iya deh kak, iya. Kakak memang paling peduli deh dengan kami.” Thalita dan Dewi memeluk Kirana. “Ih, apa dah ini peluk- peluk segala!” Gerutu Kirana. Ia melepaskan pelukan Thalita dan Dewi. “Udah, udah, nggak usah pelak- peluk lagi! Udah bubar, bubar. Pulang aja kita, udah sore!” Kirana menggendong tas ranselnya dan bangkit dari duduk. “Eh .. terus rapatnya ..?” Tanya Novan bingung. “Udah, kami udah mulai rapat duluan tadi. Rapat dadakan yang cuma sebentar doang, karena kamunya nggak ada,” jawab Karyo. “Udahlah, pulang aja dah pulang!” Ujar Gisela. Ia berjalan menyusul Kirana di depan sana. Fiona mengikutinya dari belakang. Dewi dan Thalita jalan beriringan. Novan mengerjapkan matanya yang masih setengah mengantuk. Ia merenggangkan badannya. Tidur di bangku tribun jelas bukan tempat yang bagus untuk badannya yang gampang kaku. Ia menguap lebar. “Baliklah yuk Van.” Karyo menggendong tasnya dan menepuk pelan pundak Novan. “Udah, tidurnya di sambung nanti malem di rumah.” Karyo memberikan tasnya yang ia titip di perpustakaan. Novan menerimanya dan meninggalkan lapangan basket yang lenggang. “Oh ya Van.” Karyo menepuk pelan pundaknya. Novan menoleh. “Kita ada tugas baru lagi nih, lebih banyak nih dapatnya. Kamu … mau kan kerjainnya?” Tanya Karyo. Novan mengedikkan matanya. Ah, lagi- lagi. “Kenapa nggak kamu aja yang kerjain?” Tanya Novan balik. “Aku nggak ngerti nih, blas sama sekali nggak ngerti. Soalnya ini tuh pelajaran anak IPA. Kali ini ada yang minta tolong kerjain tugas Fisika kelas 10. Aku nggak ngerti sama sekali tuh soal Fisika atau apalah itu,” jawab Karyo. “Makanya belajar! Kan waktu SMP pernah kena tuh pelajaran Fisika, kelas 10 juga sempat kan belajar Fisika? Harusnya bisalah kamu kerjain, kan punya kelas 10 doang.” “Kalo aku kerjain bakalan lebih banyak yang salah daripada yang benar. Kalau kamu kerjain kan, kemungkinan besar tuh banyak benarnya,” jawab Karyo. Ia menatap Novan lamat- lamat sambil tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi kelincinya. “Ya Van ya? Mau kan ya? Ayolah Van .. dia udah ngarep banget loh sama kita … ya Van ya?” Mohon Karyo. Novan mendengus dan mendelikkan matanya. “Terserah deh, terserah,” jawab Novan akhirnya. “Oke. Berarti boleh kan ya kalau terserah? Oke! Ini dia ada kasih tugasnya, nih.” Karyo mengeluarkan lembar soal dari dalam tasnya dan memberikannya pada Novan. “Thank you ya Van! Emang kamu paling baik deh!” Karyo memberikan kiss bye dan melambaikan tangan, lalu meninggalkan Novan. “Ih! Geli! Centil bat lu!” **** Novan sudah menunggu di halte selama setengah jam, tapi tidak ada angkot yang melewati rumahnya. Yah, ini memang sudah pukul 17.30. Angkot tujuan ke rumahnya memang agak jarang di sini, dan ia juga baru tahu akan hal itu. Akhirnya dengan sangat terpaksa, ia menelpon Stevan. “Ya, hallo. Kenapa Van? Tumben telpon,” tanya Stevan di ujung sana. “Van, tolong jemput dong, di halte biasa. Aku baru pulang nih, soalnya tadi ada rapat devisi,” pinta Novan. “Yaelah, daritadi di tanyain di chat nggak di balas, di telponin juga nggak angkat. Sibuk banget anak sekolah satu ini memang,” ujar Stevan. “Ya udah, tunggu bentar ya. Kebetulan ini bisa pulang cepat. Tunggu aja di situ, paling lama 15 menitlah aku baru sampai.” “Oke, thanks Van.” “Kalau udah datang angkot duluan sebelum aku datang, kamu naik aja. Tapi jangan lupa bilang ke aku, biar bisa putar balik nanti.” “Iya iya. Kalau ketemu pun. Aku udah nungguin setengah jam, belum datang juga.” “Ya, ya udah. Tunggu aja dah pokoknya. Udah ya, nih mau siap- siap pulang.” Stevan mematikan telpon. Novan mendengus kesal. Ah, rasanya ia ingin pulang secepatnya dan melanjutkan tidurnya. Ia bersandar pada tiang halte. Halte ini tidak ramai, mungkin karena sudah terlalu sore. Bosan hanya melihat kendaraan yang berlalu lalang saja, akhirnya Novan memutuskan untuk melihat sedikit soal- soal Fisika yang ia pegang. Soal Fisika kelas 10 mah, masih gampang untuknya. “Oh, ini kebanyakan tentang gerak parabola ya … sama … oh, ini hukum Newton kayaknya. Hem, gitu …” Novan mangut- mangut. Ia mengeluarkan kotak pensil dari dalam tas dan mulai mencoret- coret rumus di kertas soal. Beberapa soal sudah ia ketahui di luar kepala. Ia tenggelam dalam coretan rumus Fisika. “Ini … hukum Newton 3 bukan ya? Kalau di kasih gaya, maka benda kasih gaya yang sama juga tapi berlawanan arah bukan ya … Faksi dan Freaksi kan? Hem, oh, ini mah mudah sih.” Novan membuka kalkulator di smartphone dan menghitung berdasarkan rumus yang ia ingat. Ia tenggelam dalam soal- soal Fisika dan tidak sadar kalau beberapa orang di halte memperhatikannya. Ia lebih tidak sadar lagi saat Kirana duduk di sebelahnya sambil memperhatikan yang ia kerjakan. Setelah selesai mengutak- atik rumus, ia membolak- balik kertas soal dan membacanya satu persatu, kali saja ada soal yang bisa ia kerjakan saat itu juga. Setelah memastikan tidak ada lagi soal yang bisa ia kerjakan, ia melipat kertas soal itu dan memasukkan ke dalam tas. “Serius amat,” gumam Kirana. Novan menoleh dan tersentak kaget melihat Kirana duduk di sampingnya. Ia sedikit menggeser duduknya. Ia berusaha menjaga jarak, tapi ia duduk di paling ujung. Novan meringis kecil. “Lagi banyak tugas ya?” Tanya Kirana. Novan hanya mengangguk pelan. “Yah, katanya memang anak IPA itu tugasnya gila- gilaan banyaknya, terus kebanyakan susa. Katanya sih, gitu. Apalagi anak kelas 10. Wah, tobat deh pokoknya,” ujar Kirana. Ia menyinggungkan senyum kecil. “Untung aku milih keluar dari IPA. Masuk IPA itu udah kayak neraka buatku.” Ia menundukkan wajahnya. Novan yang tadinya hanya mangut- mangut saja mendengarnya, kini mengernyit saat melirik Kirana yang sedang menunduk. Ia mendekam wajahnya di telapak tangan. Ia bisa mendengar isakan kecil di sana, lalu berakhir dengan helaan napas panjang. Kirana mendongak. Matanya sedikit memerah. “Yah, emang IPA itu susah banget ya. Emang dari awal aku nggak cocok sih ya, aku nggak suka hitung- hitungan gitu. Hehe …” Kirana nyengir lebar. Hidungnya sedikit memerah sekarang. “Hehe … iya .. gitu ..” Balas Novan. Ia mengepalkan tangannya erat. Ia melirik Kirana sesaat dan membuang wajah. Tidak, ia tidak bisa melihat Kirana. Ia berusaha menahan seluruh badannya yang gemetar. Keringat dingin mulai mengucur. Suara klakson mobil mengalihkan perhatiannya. Sebuah mobil yang amat dia kenal berhenti di depan halte. Kaca mobil itu setengah terbuka dan tampaklah Stevan di dalam sana. Novan menghela napas lega. Syukurlah Stevan datang di saat yang tepat. Ia menggendong tasny dan bangkit. “Anu … aku udah di jemput …” Novan menunjuk mobil Stevan. Stevan kembali menekan klakson. “Aku … duluan ya …” Pamit Novan tanpa menoleh pada Kirana. Kirana mengangguk. “Oh iya, nggak apa. Hati- hati ya Van,” balas Kirana. Novan mengangguk. Ia membuka pintu mobil dan duduk di jok depan. “Siapa tuh?” Tanya Stevan sambil menunjuk Kirana dengan dagunya. “Ketua devisi,” jawab Novan sambil memakai seatbelt. Stevan mangut- mangut. “Ajak sekalian aja deh. Kasian kalau dia sendirian di sana, mana cewek pula,” ucap Stevan. Novan menoleh dan melotot. “Nggak! Nggak ada! Udah, kita langsung pulang aja!” Tolak Novan tegas. Stevan mendengus. “Dasar pelit,” gerutunya. Ia kembali menyalakan klakson dan melambaikan tangan pada Kirana yang melirik mereka. Kirana membalas lambaian tangannya. Novan menutup kaca mobil rapat. “Dih, nggak boleh gitu loh. Harusnya kamu pamit juga tuh sama temenmu,” ucap Stevan. “Udah,” jawab Novan. “Udah ah, jalan. Pulang terus udah, capek aku,” pinta Novan ketus. “Dasar anak puber ini. Sensi amat sih.” Stevan berdecak kesal. Ia memutar kunci mobil dan menekan pedal gas perlahan. Mobil pun meninggalkan halte yang semakin ramai itu. **** Stevan mengajak Novan untuk makan malam dulu di luar sebelum balik ke rumah. Novan menyetujuinya. Perutnya juga sudah lapar. Akhirnya Stevan memberhentikan mobilnya di salah satu warung pecel lele yang baru buka. “Pecel lele aja, nggak apa kan?” Tanya Stevan begitu mobil berhenti. “Terserahlah, di mana pun juga boleh. Udah lapar nih,” jawab Novan sambil mengelus perutnya. “Ya udah. Ayo keluar.” Stevan keluar lebih dulu. Novan membuka seatbelt dan mengikuti Stevan keluar. Pegawai warung pecel lele ini masih mengatur posisi meja dan kursi. Mereka baru saja membuka warung. “Maaf mas sebelumnya, tenda kami baru buka. Jadi kami mau susun dulu semua kursinya. Mas tunggu dulu nggak apa?” Tanya salah satu pegawai di sana. “Oh ya, nggak apa mas. Kami cari tempat duduk aja dulu,” jawab Stevan. “Silakan mas, silakan.” Pegawai itu mempersilakan. Stevan memutuskan duduk di tengah. Novan mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan pegawai yang tampak sibuk bolak- balik sambil menenteng kursi plastik. “Eh Van,” panggil Stevan. Novan menoleh. “Kenapa?” Tanya Novan. “Cewek yang tadi, cantik juga ya kalau di lihat- lihat. Manis anaknya,” jawab Stevan. “Heh. Anak sekolah itu. Sadar dirilah, udah om- om juga,” celetuk Novan. Stevan menatapnya tajam. “Enak aja om- om! Aku ini masih muda ya!” Stevan membusungkan dadanya. “Masih darah muda aku tuh. Tuh, muka aku juga masih muda. Nggak jauh bedalah sama kamu, ya kan?” Novan geleng- geleng. “Sadar diri Van. Udah tua mah tua aja. Kita kan beda 8 tahun.” “Cuma 8 tahun doang, ya nggak jauhlah itu.” “Jangan yang aneh- aneh deh Van. Tuh anak masih minor, di bawah umur. KTP aja belum punya.” “Tahun depan kan udah punya KTP, nggak minor bangetlah itu. Minor tuh kalau misalnya masih SMP gitu ..” “Heh! Tobat! Inget, kamu tuh punya doi. Kemarin kamu ada cerita kan kalau ada doi? Jangan selingkuhlah …” Wajah Stevan langsung berubah muram saat Novan mengatakan soal doi. Ups, sepertinya ia salah bicara. “Nggak ada doi,” gumam Stevan. “Udah di suruh mundur duluan sebelum bertindak. Ya udah mending mundur aja, daripada nanti dia jadi benci samaku.” Novan terbelak kaget. Oke, ia salah bicara. Ia mengelus pelan pundak Stevan. “Udah, nggak apa. Kalau jodoh pasti datang lagi nanti. Nggak bakal terpisah mah kalau jodoh. Kalau nggak jodoh ya, yaudah. Bakal di ganti sama yang lebih baik dari dia kok. Udah, masih banyak kok cewek.” Stevan mendongak. “Iya, memang masih banyak cewek. Salah satunya teman kamu itu. Nggak apa kan?” Novan memukul pundak Stevan pelan. Stevan meringis kecil. “Ingat umur bos. Nanti kamu di kira p*****l, dekatin anak yang umurnya jauh. Nggak usah ngadi- ngadilah.” Stevan mendengus kesal. “Eh, tapi kan tadi tuh cewek cantik ya. Yah, lumayan lah. Lebih ke manis sih. Tadi kamu nggak apa tuh? Kan dia duduk sebelahan sama kamu. Nggak tremor kamu? Serangan panik gitu?” Tanya Stevan. “Yah, bisa kamu tebaklah gimana … pasti kena serangan paniklah. Tapi menurutku sih, Kirana itu biasa aja dah. Nggak kayak menurut kamu…” Stevan menepuk pundaknya dan menatap Novan lamat- lamat. “Heh! Itu anaknya manis banget tau! Coba deh, kamu perhatiin. Manis banget anaknya tu! Kamu perhatiin tuh, lamat- lamat, bakalan dah liat sisi sangat manisnya itu.” Novan menepis tangan Stevan dari pundaknya. “Mana bisa aku lihat dia kayak gitu. Keburu pingsan nanti,” ucap Novan. “Oh, iya juga,” ujar Stevan. “Tapi bener deh Van, temenmu itu manis banget loh. Pasti banyak kan yang naksir dia, yang mau kenalan sama dia. Anak famous ya? Banyak cowok yang dekatin ya?” Novan menggeleng. “Nggak sih. Nggak famous, biasa aja. Nggak banyak juga cowok yang dekatin dia. Palingan sahabat cowoknya, itu pun dua orang doang.” “Hah? Masa?” Tanya Stevan tak percaya. Novan mengangguk. “Aneh. Padahal manis gitu. Aku kirain bakal banyak yang naksir gitu. Jangan- jangan, di sekolah kamu ada cewek yang lebih manis dan lebih cantik dari dia ya?” Tanya Stevan. Novan mengedikkan bahunya. “Mungkin, ya. Kayaknya. Sepertinya begitu sih. Buktinya kayak Sarah Claryson tuh. Kalau di bandingin sama Kirana mah, jauh sih.” Stevan berdecak. “Ya, nggak gitu juga. Masa di bandingin dengan Sarah si selebgram itu. Itu kan emang aura famous dan hedonnya udah terpancar banget. Maksudnya selain Sarah gitu.” “Ya, gengnya si Sarah? Yah kalau di bandingin mereka …” Novan terdiam sebentar. “Hem, entahlah. Geng Sarah memang cantik- cantik sih …” “Kalau kayak Sarah mah, udah nampak tipenya main sama yang sebanding dengannya. Selain Sarah deh, siapa gitu. Pasti tuh temen kamu siapa sih .. Rana ya?” “Kirana.” “Hah, Kirana tu. Pasti lebih cantik kan daripada murid lain? Ya, selain Sarah dan geng, tentunya.” Novan berdehem. “Entah deh, nggak tau. Nggak urus soal cewek juga. Biar aja. Menurutku semua cewek mah sama aja, punya cantiknya masing- masing. Udahlah nggak usah di bahas lagi. Nggak penting.” Novan mengalihkan pandangannya. Sepertinya warung pecal ini sudah buka sepenuhnya. Novan mengangkat tangannya untuk memanggil pegawai di sana. Seorang pegawai datang menghampiri mereka. “Mau pesan mas?” Tanyanya. Novan mengangguk. “Iya bang. Pecel ayam satu ya! Minumnya es teh manis.” **** Novan baru sampai di rumah pukul 20.30, karena macet panjang saat perjalan pulang setelah selesai makan. Stevan lupa kalau malam hari selesai adzan maghrib, jalanan akan macet karena banyak karyawan yang baru pulang kerja. Sedaritadi Stevan merutuk kesal di mobil. Ingin putar balik dan melewati jalan tikus, tapi mereka sudah terjebak di tengah kemacetan. Seluruh sisi mereka di keliling oleh mobil. Novan membuka pintu pagar perlahan. Meski sudah jam segini, tapi ia masih bisa mendengar suara tawa Mikel dari dalam. Ya ampun, udah jam segini tapi anak itu belum tidur? Gumam Novan dalam hati. Ia membuka pintu rumah dan masuk ke dalam. “Abang pu… LANG!” Novan melepas sepatunya dan tersentak kaget saat melihat papanya sudah berdiri di depannya sambil menyilangkan tangannya di d**a. Wajahnya tampak sangat garang, bersiap untuk meledak. “Kenapa baru pulang semalam ini?” Tanya papa dengan tatapan tajam. “Tadi ada rapat buat persiapan event sekolah. Abang di tunjuk jadi panitia,” jawab Novan. Ia menaruh sepatunya di dalam rak dengan rapi. “Rapat apaan sampai pulang malam begini? Memangnya sekolah nggak tutup apa kalau udah malam?” Tanya papa lagi. “Ya, udah dari sore di tutupnya. Tapi tadi di ajak makan dulu sama mereka, jadi ya lama. Kejebak macet juga tadi pulangnya.” Dia tidak akan bilang kalau Stevan yang mengajaknya makan. Itu hanya akan memperkeruh suasana. “Udah tahu macet, kenapa kalian nggak balik lebih cepat? Kenapa juga makan di luar? Boros banget sih kamu, baru juga di kasih uang jajan tadi pagi. Udah di masakin makan malam di rumah, masih aja makan di luar. Udah capek di masakin juga.” Mending makan di luar sih kayaknya daripada harus makan masakan dia, gumam Novan dalam hati. “Ya kan di ajak pa. Mana enak nolak. Lagian di bayarin kok sama mereka.” Papa menyinggungkan senyum kecil. “Baguslah kalau begitu. Bilang temanmu, sering- sering aja,” ujar papa. “Lah, itu mah ngelunjak. Udah ya, aku mau ke kamar. Capek.” Novan melengos pergi melewati papa yang masih berdiri di depan pintu. Ia menghampiri Mikel dan mencium pipi adiknya. Mikel yang sedang asyik menonton kartun merasa risih karen Novan menciumnya berkali- kali. Ia menepis Novan menjauh. “Ih abang, jangan ganggu ah!” Gerutu Mikel. Novan cekikian melihatnya. Ia mengacak- acak rambut adiknya dan pergi naik ke kamar. “Lain kali kamu bilang ya kalau pulang telat, jangan kayak sekarang,” pinta papa dari bawah. Novan hanya mengangguk dan mengacungkan jempolnya. Novan melempar tasnya sembarangan dan melempar tubuhnya ke kasur. Sudah 2 hari ia pulang malam terus. Capek sekali rasanya. Ia mengambil smartphone dari saku celananya dan membuka notifikasi yang ada. Biasalah, notifikasi dari grup. Ia membuka grup itu sesaat, hanya untuk menghapus notifikasi yang ada. Ah, palingan mereka hanya ngalor ngidul saja di grup. Jarang sekali ada yang penting. Palingan kalau ada yang penting bakalan di tag. Ia membuka grup divisi Dana Usaha. Mereka membahas soal hasil penjualan hari ini, yang lebih banyak daripada hasil mereka menjual risol. Balik modal sih, karena modalnya tidak terlalu banyak. Tentu saja karena di diskon, kekuatan orang dalam sangat membantu. “Aneh. Padahal manis gitu. Aku kirain bakal banyak yang naksir.” Perkataan Stevan tadi terngiang di kepalanya saat ia melihat Kirana muncul di grup divisi. Ia membuka profil Kirana dan mengecek foto profilnya. Sebuah foto candid dari samping dengan pantulan cahaya sunset yang menyinari di belakangnya. Lekuk wajahnya dapat terlihat jelas, tapi seluruh wajahnya gelap. Ya, kalau dia lihat sih, lekuk wajah Kirana memang bagus. Ia baru sadar kalau Kirana itu lumayan mancung juga. Perkataan Stevan tadi memang tidak salah. Kirana itu manis, ia akui saja. Meski sering kali hanya melihatnya sekilas saja, hanya sekedar lirikan, tapi ia bisa menilai bahwa Kirana itu manis, juga cantik. Bahkan lebih manis daripada Sarah. Sarah sedikit tertolong dengan riasan di wajah, sedangkan Kirana tampak polos apa adanya. Benar juga sih. Ia jadi teringat perkataan Gilang dan Iwan tempo hari. Mereka juga sedikit underestimate dengan Kirana, karena kasusnya yang dulu. Kasus kalau dia yang merebut pacar Sarah.Tapi ia tidak yakin dengan gossip itu, karena menurutnya Kirana bukan anak yang seperti itu. Ia tidak pernah melihatnya dekat dengan anak laki- laki lain, selain Karyo dan Valdi. Hanya itu yang ia tahu. Ia juga tidak merasa Kirana kegatelan dan coba merayunya, seperti yang di lakukan siswi lain. Tidak ada perilaku istimewa yang ia berikan. Biasa saja. Novan sedikit bersyukur akan hal itu. Karena itu, sebenarnya ia sedikit nyaman dengan Kirana, karena dia tidak agresif seperti yang lain. Ia juga terlihat sangat cuek, kecuali untuk sesuatu yang penting. Ia menatap kosong langit- langit kamar. Iya juga, kenapa tidak ada yang mendekati Kirana ya? Apa sebegitu percayanya anak- anak di sekolah soal rumor itu? Memang, kekuatan dari rumor itu mengerikan. Novan jadi teringat dengan yang terjadi di halte sekolah. Ia sedikit yakin kalau tadi Kirana menahan nangis. Entah apa yang terjadi di masa lalu sampai Kirana mengundurkan diri dari kelas IPA dan membuatnya sampai begitu terguncang. Ia tidak mau bertanya dan tidak mau menduga juga. Itu masa lalunya, permasalahan dirinya, biarlah ia yang menyimpannya sendiri. Orang asing sepertiku tidak berhak mengetahuinya. Ia hanya bisa berharap, sesuatu yang baik dapat terjadi pada Kirana. Menurutnya, Kirana itu anak baik. Anak baik seharusnya mendapatkan sesuatu yang baik juga, bukan? Ia berdoa, semoga nanti sesuatu yang baik terjadi padanya dan Kirana, serta pandangan soal Kirana di mata orang lain juga berubah menjadi lebih baik. Novan mengerjap. Hei, kenapa dia jadi kepikiran dengan Kirana? Kenapa pula dia sampai mendoakan Kirana? Ia bahkan tidak dekat sama sekali dengannya. Novan geleng- geleng kepala. “Oalah Van, entah apa sih yang kamu pikirin,” gumam Novan. “Udahlah, mending mandi aja dulu.” Novan bangkit dari kasur dan meraih handuk yang di gantung. Ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan badannya yang lengket karena keringat dan untuk menyegarkan badannya. **** Novan berencana langsung tidur setelah mandi. Tapi ia membatalkan hal itu saat ia mengecek smartphone. Ada chat masuk dari Andi. Andi Van, kamu udah kerjain tugas Bahasa Inggris? Novan Hah? Tugas yang mana? Andi Oalah, lupa anak ini. Itu loh, tugas yang di suruh rangkum cerita dari film yang kita nonton kemarin di kelas. Film itu loh, kartun itu. Novan Oh, film itu. Eh itu beneran? Kirain tadi cuma angin lalu aja. Andi Nggak, beneran. Tadi beliau chat aku, suruh kumpul tugasnya besok. Besok pagi udah harus di terima beliau di mejanya. Novan HAH?BESOK PAGI BANGET?! Novan terbelak kaget membaca chat dari Andi. Ia sama sekali tidak ingat soal tugas Bahasa Inggris itu. Padahal ia sudah senang karena akhirnya bisa menonton film di tengah pelajaran. Ia kira mereka hanya di suruh menonton saja sambil mempelajari speaking. Tapi ternyata ia salah. Novan melirik jam dindingnya. Sudah pukul 21.00. Ia bahkan tidak ingat sama sekali dengan isi filmnya, karena ia tertidur di tengah film. Novan Ndi, film yang kemarin kita nonton apa judulnya? Nonton dimana? Andi Di aplikasi nontonyuk. Ada tuh, judulnya .. entar deh, aku kirim link aja. Kamu tinggal streaming aja nanti. Andi mengirim link. Novan membuka link itu dan langsung terhubung ke situs untuk menonton film. “Hah? Filmnya 2 jam 15 menit? Buset dah, lama banget!” Gerutu Novan. Yah, sebenarnya dia sedang malas nonton film. Tapi ini demi tugas, dengan berat hati ia menontonnya dengan seksama. Ia memperhatikan setiap percakapan dan adegan di film itu dengan teliti, meski matanya sudah mengantuk. Beberapa kali dia hampir jatuh tertidur. Ia mengerjapkan matanya dan menampar pipinya sampai merah. “Wah, nggak bener sih ini. Kayaknya butuh itu dah.” Novan keluar dari kamar sambil membawa laptopnya. Ia terus menonton film itu sambil turun ke bawah. Ia pergi ke dapur dan mengambil kopi sachet. Ia menaruh laptop di atas meja makan dan mengencangkan volume, sedangkan ia sibuk menyeduh kopi. Setelah kopi jadi, ia kembali ke kamar sambil menenteng laptop dan kopi. Ia masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Oke, mari kita begadang lagi. **** Novan menguap lebar. Berkat kopi, ia masih terjaga sampai sekarang. Ia berhasil menonton film itu hingga habis. Ia merutuk kesal pada Andi. Ia baru sadar kalau film itu tidak memiliki subtitle setelah setengah jam menontonnya. Karena terlalu malas untuk translate sendiri, akhirnya Novan mencari subtitlenya. Setelah berjelajah kesana kemari, ia menemukannya. Novan melirik jam dinding. Sudah pukul 3 pagi dini hari. Filmnya memang sudah selesai sedari tadi, tapi ia kesulitan merangkumnya dalam bahasa Inggris. Ia bolak- balik mengulang film itu dan memberhentikannya di adegan yang ia rasa perlu masuk ke dalam rangkumannya. Novan merenggangkan tangannya yang sudah sangat pegal. Sepertinya tangannya perlu di kompres dengan hangatnya koyo. Novan menyimpan tugasnya di dalam tas dan bangkit dari duduk. Ia berjalan kesana kemari mengelilingi kamarnya. Ia mengantuk, tapi tidak bisa tidur. Efek kafein dari kopi masih terasa olehnya. Ia juga tidak mau tidur, takut kebablasan dan telat bangun nanti. Ia lompat- lompat dan melakukan stretching agar badannya tetap terasa bugar dan matanya tetap melek. Tadinya ia ingin memutar musik dengan kencang, tapi urung ia lakukan karena itu akan menganggu banyak orang. Novan celingak celinguk memperhatikan sekitar. Harus ada sesuatu yang ia lakukan untuk mengalihkan rasa kantuknya. Ia membuka tas, barangkali ada yang bisa ia kerjakan. “Oh ya, kerjain ini aja!” Novan mengeluarkan kertas soal Fisika kelas 10, tugas jokinya yang baru ia kerjakan setengah. Ia membolak- balik soal itu, mencari soal mana lagi yang belum ia kerjakan. Tinggal 4 soal lagi memang, tapi taka pa. Setidaknya bisa mengalihkan perhatiannya. Ia mengeluarkan kertas coretan dan mulai mencoret- coret rumus di sana. Ia juga mengeluarkan catatan Fisika kelas 10 miliknya. Soal- soal Fisika itu berhasil mengalihkan rasa kantuknya. Matanya semakin melek setelah ia menghabiskan kopi itu hingga ludes. Efek kafein semakin terasa. Ia jadi sangat bersemangat. Ia mengambil headset dan menyalakan lagu di smartphone untuk menemaninya di malam yang sunyi. Ia bersenandung mendengar lantunan lagu yang mengalun. Ia mulai tenggelam dalam kumpulan soal Fisika. Ia mengerjakannya sambil bersenandung dan menggoyangkan kepalanya mengikuti irama lagu. Ia terlihat seperti anak yang gila belajar, karena lanjut mengerjakan soal Fisika setelah mengerjakan tugas rangkuman Bahasa Inggris. Tidak, dia bukan anak yang sebegitu cintanya dengan belajar. Terkadang, Novan terlalu rajin. Oke, bukan terkadang. Tapi ia terlalu rajin, sampai mendahulukan orang lain sampai melupakan tugasnya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN