Bab 143

1207 Kata
Novan tidak menyangka kalau papa menunggunya sampai selesai rapat. Ia mengira papa akan bosan dan memilih untuk kembali ke kantor, tapi ia salah. Papa masih menunggu di pos security sambil main catur. Novan menghampiri papa yang tampak serius. “Loh? Udah selesai?” Tanya papa. “Bentar ya, satu set lagi.” Novan mengangguk dan duduk di sebelah papa. Sebuah motor berhenti di sebelahnya. “Van, aku duluan ya!” Pamit Andi. “Oke. Hati- hati.” “Eh, eh, ini siapa?” Tanya papa sambil menoleh pada Andi. Andi turun dan salim. “Saya Andi om, teman sekelasnya Novan.” Andi memperkenalkan diri. “Oh, nak Andi. Saya papanya Novan. Maaf ya, kalau nak Novan nakal di kelas. Saya titip nak Novan ya.” Papa merangkul Novan. “Papa!” Andi tersenyum geli. “Nggak kok om, Novan anak baik- baik kok.” “Udah, udah. Ayo pulang pa!” Novan mendorong papa. “Tanggung bang, satu set lagi!” Pinta papa. Novan menoleh ke sekeliling. Beberapa anak yang ikut rapat mulai memperhatikan mereka sambil kasak- kusuk. “Lain kali aja, udah! Ayo pulang, pulang! Maaf ya pak, kami pamit.” Novan membungkukkan sedikit badannya ke satpam. “Iya, hati- hati ya nak. Pak Toman, kapan- kapan kita main lagi ya!” Satpam melambaikan tangan yang di balas dengan acungan jempol oleh papa. “Oke pak! Nanti kita main lagi ya. saya pasti bisa ngalahin kamu!” “Ck! Udah udah, ayo pulang!” **** “Kamu ini kenapa sih? Buru- buru pulang, padahal kan papa belum selesai mainnya! Satu set lagi loh!” Gerutu papa di perjalanan pulang. “Novan capek, mau cepat pulang,” jawab Novan. “Papa juga capek! Tapi papa masih sempat buat jemput kamu, tungguin kamu selesai rapat. Sabaran dikit dong!” “Nggak ada yang minta jemput juga,” gumam Novan pelan. “Apa kamu bilang?” Tanya papa dengan nada tinggi. Novan menggeleng. “Nggak, nggak apa.” “Kamu ini, nggak tahu terimakasih! Papa padahal juga sibuk di kantor, tapi sempat buat jemput kamu. Sempetin antar kamu walaupun papa juga bakal telat. Kamu tuhharus jadi anak yang tahu terimakasih! Jangan malah sombong begitu!” Novan berdecak kesal. Ya, memang selalu begitu. “Apa susahnya sih, tungguin papa sebentar aja? Gentian dong, kan tadi papa tunggu kamu tuh lama tahu! Heh, jangan begitu kalau orangtua ngomong tuh. Dengerin!” “Iya, iya,” jawab Novan jengkel. Ia mendelikkan matanya dan melempar pandangan keluar. Papa menghela napas. “Kamu ini, nggak beda jauh memang dengan dia,” gumam papa pelan. Novan menoleh. Dia? Dia siapa? “Kamu kalau bisanya pulang pergi gimana?” “Naik angkot, atau nggak sama temen,” jawab Novan. Tumben papa tanya begitu. Papa mangut- mangut. “Biasanya pergi sama temanmu yang mana?” Loh? Kok tumben tanya begitu? “Teman yang tadi, itu si Andi,” jawab Novan. “Baik temanmu itu ya.” Papa mangut- mangut. “Ya udah, kalau begitu bilang sama temanmu, mulai besok kamu bilang ke temenmu itu, nggak usah lagi anterin kamu sekolah. Biar papa yang antar jemput kamu sekarang.” Novan melongo. “Hah?” ***** “Papa pulang, sama abang.” Papa masuk ke dalam, di susul oleh Novan di belakangnya. Mikel tergopoh- gopoh menghampiri. “Abang, papa!” Sapa Mikel girang. Mikel memeluk papa. Papa balas pelukan itu dan menggendong Mikel. “Papa pulang sama abang?” Tanya Mikel. “Iya, abang di jemput papa,” jawab Novan sambil mencubit gemas pipi Mikel. “Waah, tumben.” Mikel memeluk leher papa. “Ayo kita masuk. Mikel udah mamam belum?” Tanya papa. Mikel mengangguk. “Mikel mamam pakai apa? Yuk masuk yuk!” Papa masuk ke dalam sambil menggendong Mikel. Novan menyusul di belakang dan langsung naik tangga menuju ke kamar. “Abang,” panggil papa. Novan menghentikan langkahnya dan menoleh. “Kamu nggak mau makan?” Tanya papa. “Nanti pa, ganti baju dulu.” “Oh, oke. Turun terus nanti ya, kita makan malam.” “Iya pa.” Novan langsung menuju ke kamar. Ia mengunci pintu kamar dan melempar tasnya sembarangan. Ia mengeluarkan smartphone dan langsung menghubungi Stevan. “Halo? Kenapa Van? Aku lagi sibuk ini …” Tanya Stevan di ujung sana. “Oh, sori. Ya udah, aku chat aja ya.” Novan mematikan telpon dan segera chat Stevan. Ia menceritakan semuanya pada Stevan. Novan Andriansyah Van, kamu nggak usah lagi antar jemput aku ya. Papa yang bakal antar jemput soalnya. Baru saja Novan mengirimkan chat itu, Stevan langsung menelponnya. “Hah? Abang yang bakal antar jemput kamu?!” Tanya Stevan terkaget. “Iya. Tadi papa bilang gitu. Papa yang suruh,” jawab Novan. “Hah? Kok tumben? Abang kenapa dah … dia ada nanya yang aneh- aneh nggak?” “Yah, dia tadi nanya sih aku pergi pulang sekolah sama siapa, terus aku jawab kalau perginya sama temenku, gitu. Nggak sepenuhnya bohong sih, kan memang pernah pergi sekolah sama dia.” “Oh, ya udah. Kayaknya sih, abang udah curiga samaku. Kayaknya sih. Ya udah, kamu turuti aja tuh maunya abang. Biar aja kamu pulang pergi sama abang dulu.” “Sebenarnya aku malas sih. Sampai kapan?” “Ya, kita nggak tahu. Sampai papamu bosan aja. Palingan bentar lagi abang juga udah bosan. Lihat aja selama beberapa hari ini.” Novan menghela napas. “Okelah.” Terdengar suara papa memanggilnya dari bawah. “Eh, udah dulu ya. Papa udah manggil.” “Ya udah, samperin sana. Nanti kalau ada apa- apa, kamu kabarin aja.” **** “Abang!” Panggil papa untuk kesekian kalinya dari bawah. Novan turun ke bawah dengan terburu- buru. “Iya pa, abang turun.” Novan turun dan bergabung dengan yang lain di meja makan yang sudah penuh dengan makanan yang mereka beli tadi. Martabak manis dan martabak telur. Novan mengambil martabak telur dan menaruhnya di piring. Ia melirik Mikel yang mulutnya belepotan dengan coklat dari martabak manis. Novan mengambil tisu dan mengelapnya. “Enak!” Mikel menyuap Novan dengan martabaknya yang sudah luber. “Iya iya, Mikel makan aja ya. Abang ada punya sendiri kok. Mikel mau punya abang?” “Nggak, pedes.” Mikel menggeleng dan kembali memakan martabaknya hingga habis. “Kalian kenapa kok pulangnya lama? Jadi nggak sempat makan malam kan. Jadi makan malam dimana?” Tanya ibu sambil menuangkan minum. “Makan malam di luar tadi. Ini nih, papa jemput abang, eh taunya abang ada rapat. Dia katanya jadi panitia kan bang, panitia apa bang?” “Panitia danus.” “Wah, hebat dong abang. Masih anak baru tapi udah di tarik ikut event sekolah!” Puji ibu. “Iya dong! Terus abang juga ada ikutan panitia lain kan bang? Panitia apa?” Tanya papa. “Bantu anak sponsor, gabung ke panitia penerima tamu,” jawab Novan. Ibu dan papa terkagum mendengarnya. “Tapia bang tolak.” Mereka melongo. “Loh? Kenapa abang tolak?” “Abang tolak yang mana? Abang tolak yang bantuin sponsor kan?” “Keduanya. Abang nggak mau jadi penerima tamu, nggak mau juga bantu sponsor.” “Loh kenapa? Kan keren kalau abang jadi penerima tamu! Pasti abang ganteng banget, kan seragamnya beda!” Novan menggeleng. “Nggak, males. Cukup satu aja biar nggak repot.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN