Bab 142

2002 Kata
“Woi Van!” Andi menepuk pelan pundak Novan. “Oi Ndi! Baru sampai?” Tanya Novan sambil menunjuk helm yang di tenteng Andi. “Helmnya nggak taruh di motor?” “Nggak, ini helm abangku. Helm mahal, berabe kalau hilang. Mending di bawa aja.” Andi memeluk erat helmnya. “Sekolah ini butuh loker khusus helm, sepertinya. Nggak cukup sekedar CCTV doang di parkiran.” “Kenapa? Banyak helm yang hilang ya?” Andi mengangguk. “Dari dulu malah katanya. Abangku kan alumni sini ya, katanya dari dia sekolah emang ada aja kasus helm hilang, malah pernah juga tuh motor kecolongan. Udah dari dulu minta ke pihak sekolah untuk pasang CCTV, tapi baru di pasang saat kita kelas 10. Tapi nggak ada yang berubah, tetap ada aja yang kecolongan helm, meski nggak sesering dulu sih.” “Kalo kecolongan helm sih udah biasa, tapi kecolongan motor itu gimana ceritanya? Memangnya nggak di awasin security atau gimana dah?” Andi mengedikkan bahunya. “Entahlah. Udah tiga kali kejadian sih kayak gitu. Katanya karena security nggak jagain, asyik sendirian entah kemana. Ya udahlah, kecolongan. Kabar terakhir sih, itu security udah di pecat, padahal baru beberapa bulan di sini.” “Ya, nggak amanah sih. Ini beneran mau di bawa masuk ke dalam?” “Ya iyalah!” Andi memeluk helm. “Bakalan di cabik aku kalau hilang!” “Memang berapaan dah harganya?” Tanya Novan penasaran. Andi membisikkan sesuatu di telinga Novan. Novan terbelak kaget mendengar bisikan Andi. “Sekarang paham kan?” Tanya Andi. Novan mengangguk. “Kalau hilang sih, bakalan di hapus namamu dari KK kayaknya,” ujar Novan. “Nah, makanya. Ini lebih mahal dari Tupperware emak! Harus di jaga baik- baik!” Andi mengelus- elus helm. “Terus? Nanti helmnya mau taruh dimana?” “Di …” **** Novan dan Gilang saling tukar pandang. Setiap meja memiliki gantungan kecil di sampingnya, untuk menggantung tas mukena atau tas kecil lain. Tapi gantungan itu Andi gunakan untuk menggantung helmnya di sana. “Nah, kalo gini kan aman!” Andi berkacak pinggang dan mengelus helmnya. “Baik- baik di sini ya, jangan kemana- mana. Lu kalo hilang bakalan di makan aku sama si abang.” Gilang geleng- geleng kepala melihatnya. “Kamu ngapain bawa helm ke dalam kelas?” Tanya Gilang. “Biar nggak hilang. Punya abang soalnya.” “Tumben bawa helm abang. Helm proyekmu mana?” Ya, Andi biasa mengenakan helm batok seperti yang di pakai oleh pekerja proyek. “Terbawa bapak. Helmku yang Spongeboo di pakai ibu, ya udah aku ambil punya abang. Dia juga lagi pergi sama temen- temen kampusnya.” Gilang mangut- mangut. “Helmnya kece sih. Mahal kayaknya. Berapaan nih?” Tanya Gilang sambil mengelus helm, yang di pukul pelan tangannya oleh Andi. Gilang meringis kesakitan. “Mahal. Dia belinya hampir 6 juta,” jawab Andi. Gilang terbelak kaget. “Hah? E- enam juta?! Buat helm doang?!” Andi mengangguk. “Makanya aku bilang, kalau hilang bakal berabe. Jangankan hilang deh, lecet sedikit aja tuh anak udah mengamuk. Makanya kamu jangan sentuh- sentuh deh, tahu sendiri kan tuh anak gimana …” Gilang mangut- mangut dan menjauh dari meja Andi. “Permisi gais, permisi, mau nyapu …” Iwan mnghampiri mereka sambil menyapu lantai. Sontak mereka pindah dari sana. Iwan menggeser meja Andi dengan serampangan. “Heh, pelan- pelan! Nanti jatuh tuh helm! Udah sini, biar aku sapu sendiri!” Andi menarik sapu dari tangan Iwan dan menyapu kolong mejanya sampai bersih, lalu mengembalikan sapu pada Iwan. Iwan mengernyitkan alis dan bertukar pandang pada Gilang dan Novan. Mereka mengedikkan bahu. “Jangan ada yang geser mejaku! Pokoknya jangan ada yang sentuh mejaku! Awas aja kalian, aku pantau!” Ancam Andi. **** Andi menjaga helm dan mejanya dengan sangat hati- hati. Biasanya saat menulis, seluruh meja Andi bisa bergoyang, tapi tidak kali ini. Andi menulis dengan sangat pelan. Novan geleng- geleng melihatnya. Entah siapa yang ia jaga, meja atau helmnya. Novan malah merasa hebat dengan gantungan kecil itu yang mampu menahan beban helm yang berat. Untung saja itu gantungan tidak bengkok ataupun patah. “Van, kamu jangan pulang dulu nanti ya,” ujar Andi saat istirahat tiba. Mereka memilih untuk makan di kelas, menghabiskan bekal yang di bawa oleh Gilang dan Novan. Iya, dia tidak sadar kalau ternyata diam- diam ibu menaruh bekal di tasnya. Ia merasa seperti anak SD sih, tapi tak apalah. Jadi hemat uang jajan kan? “Kenapa? Rapat lagi? Rapat terus kalian, tapi nggak dapat keputusan apa- apa, jadi nggak penting.” “Heh! Penting itu! Setidaknya, buat Valdi.” Andi mendelikkan matanya. “Tapi kali ini rapatnya kamu doang, anggota lain nggak ada.” “Lah? Kok gitu?” “Ya, perlunya sama kamu doang. Pokoknya nanti jangan pulang ya, bilang tuh. Kan biasanya kamu di jemput.” “Iya, iya.” Novan mengeluarkan smartphone dan mengirim chat ke Stevan, memberitahu kalau dia akan pulang telat karena akan ada rapat lagi. “Kamu kenapa nggak bawa motor aja sih Van?” Tanya Andi. “Nggak ada motor di rumah,” jawab Novan tanpa mengalihkan pandangannya dari smartphone. Novan Andriansyah Van, aku nanti pulang telat. Soalnya ada rapat lagi. Stevan Oh, oke. Bilang aja nanti kalau udah siap. Aku juga kayaknya lembur sih. “Padahal lebih enak naik motor daripada di antar jemput atau naik angkot,” gumam Andi. “Kalau anak ini naik motor, apalagi yang motor gede, kayaknya tuh fans dia bakalan nambah,” celetuk Gilang. “Iya juga sih, nggak kayak kita. Mau pakai motor model gimana pun nggak bakalan ada yang mau lirik,” timpal Andi sambil melirik Novan. “Heh, ngaco kalian! Kan udah di bilang, aku nggak ada motor.” Andi dan Gilang mangut- mangut. Yah, mustahil juga kalau dia minta belikan motor ke papa. Mungkin suatu saat nanti, dia bisa beli motor sendiri. “Yaudah, bawa mobil aja ke sekolah,” timpal Andi. “Kayaknya kamu ada banyak mobil, ganti terus mobilnya tuh.” “Ngaco. Mana boleh ke sekolah bawa mobil. Mau parkir dimana? Terus, nanti bapakku kerja pakai apa?” Novan mengambil bakwan dari bekal Gilang. “Mobilku cuma satu. Biasanya yang nganterin aku tuh abangku, baru tadi di antar papa.” “Oalah, pantes kok beda. Mirip sih, kukira abangmu yang biasa.” Novan tersenyum geli. Hem, setelah di pikir- pikir sih benar juga. Stevan dan papa memang mirip, hanya saja papa versi Stevan yang lebih tua. Yah, abang adik itu memang mirip, meski keduanya sangat bertolak belakang. **** Ruang rapat OSIS kali ini di isi oleh orang- orang asing yang tak di kenal oleh Novan, terkecuali Andi dan Valdi. Valdi memperhatikan sekitar dan berdehem. “Baiklah, udah kumpul semua kan? Kalau begitu, biar saya mulai rapat singkat ini …” Valdi menyalakan power point yang sudah ia siapkan. “Jadi ..” “Permisi …” Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Pintu sedikit terbuka dan muncullah seorang anak laki- laki perawakan kurus dan pendek dari balik pintu. “Anu, maaf bang Valdi di interupsi sebentar. Tapi ada yang cari bang Novan di pos security.” “Novan?” Valdi melirik Novan. Novan mengernyitkan alis. “Cari aku?” Novan menunjuk dirinya. Anak itu mengangguk. “Iya bang, udah nungguin di pos security daritadi. Udah kesal orangnya.” “Hah?” Novan bangkit dari duduk. “Maaf Val, permisi sebentar.” Valdi mengangguk dan mempersilakan Novan keluar dari ruangan. Novan pergi k epos security bersama anak laki- laki itu. Siapa yang datang? Apa mungkin, itu Stevan? Tapi tidak mungkin, ia sudah mengabarinya dan Stevan hafal jam pulang sekolahnya. Lantas siapa lagi selain Stevan? Selama ini kan dia hanya di jemput oleh Stevan saja. Atau mungkin … Novan terpenjat kaget saat melihat papa duduk di depan pos bersama security. Dugaannya benar, tapi ia tidak menyangka kalau papa ada di sana. Novan berlari menghampiri papa yang sudah menekukan wajahnya. “Papa ngapain di sini?” Tanya Novan. “Ya jemput kamulah! Daritadi papa nungguin kamu di sini, semua anak udah keluar. Kamu kenapa kok belum pulang?” Papa melirik ke belakang. “Mana tas kamu? Hilang? Apa di sembunyikan teman? Mana orang yang sembunyikan tas kamu hah?!” Papa memperhatikan sekeliling dengan seksama. Novan menggeleng. “Bukan pa, bukan. Novan hari ini pulang telat, soalnya lagi ada rapat …” Novan menjelaskan. “Rapat apa? Rapat ekskul?” Novan menggeleng. “Bukan .. anu .. rapat di ruang OSIS …” Kali ini papa yang terpenjat kaget. “Hah? Kamu masuk OSIS bang? Hah! Ya ampun! Hebat kamu, masih anak baru tapi bisa masuk OSIS! Papa bangga sama kamu!” Papa menepuk pelan pundak Novan. Novan melongo. “Nggak pa, bukan gabung ke OSIS. Tapi rapatnya di ruang OSIS, buat persiapan acara sekolah. Abang jadi panitianya,” jawab Novan meluruskan kesalahpahaman. Papa mangut- mangut. “Nggak apa, tetap hebat! Terus, kamu di bagian apa?” “Dana Usaha … dan bantu sponsor …” “Sponsor? Kalian butuh sponsor? Gimana kalau perusahaan papa yag jadi sponsor kalian? Biar nanti papa bilang ke atasan, mau nggak?” Papa merogoh kantung kemejanya dan mengeluarkan kartu nama dari sana. “Nggak, itu bukan urusan abang. Abang kan bantu- bantu dikit aja, abang tetap di danus.” Novan menggeleng dan menolak kartu nama papanya. “Oh, ya sudah. Kalau ada perlu, bilang aja sama papa ya?” Novan mengangguk. Ya, papa sih pilihan terakhir, gumam Novan dalam hati. “Jadi kamu belum bisa pulang sekarang dong?” Tanya papa kecewa. Novan mengangguk. “Iya pa, rapatnya baru aja mau di mulai tadi,” jawab Novan. Plis, pulang dong. Plis, udah pulang aja … Novan berdoa dalam hati. Papa mangut- mangut. “Oh, oke …” Novan terbelak. Oke? Berarti papa akan balik pulang kan? Akhirnya … “Ya udah, biar papa tunggu aja di sini sampai selesai.” Novan melongo. “Tapi, tapi … rapatnya lama loh pa. Nanti papa kalau ada urusan di kantor gimana?” “Nggak apa, tenang aja. Ada asisten papa kok yang bakal gantiin,” jawab papa enteng. “Udah, kamu balik sana. Biar papa tunggu kamu di sini.” Papa kembali duduk di tempat semula. Novan melongo. “Nggak apa kok pa, papa balik aja duluan. Aku nanti bisa pulang sendiri kok, naik angkot atau sama temen,” tolak Novan. “Nggak apa, nggak usah. Biar papa tungguin aja di sini. Daripada naik angkot, mending pulang sama papa kan, hemat ongkos. Udah sana kamu balik ke ruang rapat, udah di tungguin sama yang lain!” Papa mendorong Novan pelan. “Iya pa. Abang balik dulu ke dalam.” “Iya, iya. Selamat rapat abang!” Novan membalas lambaian tangan papa dan pergi meninggalkan pintu gerbang, sambil sesekali melirik ke belakang. Ia terpenjat kaget saat melihat papa duduk di sana sambil menikmati kopi yang di suguhi oleh security. Itu papa beneran tunggu di sana? Itu beneran? Dia harus menghubungi Stevan secepatnya. **** “Halo? Ada apa Van? Nggak jadi rapat?” Tanya Stevan di ujung sana. “Nggak, jadi rapat kok.” “Lah, jadi ada apa kok telpon aku?” “Mau bilang, kamu nggak usah jemput aku ya. Soalnya papa udah jemput duluan, sekarang lagi nunggu aku siap rapat.” “Hah? Abang?” “Iya .. papa .. abangmu …” Jawab Novan terbata. “Tumben. Ya udah, nggak apa. Aku juga kayaknya nggak sempat jemput sih, soalnya banyak kerjaan.” “Oh, oke. Nggak apa. Sori ya kalau ngerepotin.” “Nggak, santai ajalah. Kamu hati- hati ya sama papamu. Lagi agak lain dia tuh.” Hah? “Hah? Agak lain? Maksudnya?” Tanya Novan bingung. “Yah, biasalah. Nanti juga kamu tahu sendiri. Pokoknya kalau dia udah nanya- nanya tentang aku, kamu sok bodoh aja dah. Pura- pura nggak tahu aja. Kamu nanti bilang ke aku kalau dia ada nanyain tentang aku atau gelagatnya aneh gitu.” “Sekarang juga aneh gelagatnya,” ujar Novan. Stevan cekikian kecil di ujung sana. “Ya udah, udah ya. Kamu rapat lagi sana.” “Iya, iya.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN