bab 144

1104 Kata
Seperti yang di janjikan, papa kembali mengantarnya ke sekolah. Tidak ada percakapan, suasana sunyi senyap memenuhi mobil. Smartphonenya berdering nyaring saat ia baru tiba di sekolah. Novan mengintip dan terbelak kaget. Kenapa Stevan menelponnya sekarang? “Siapa tuh? Kenapa nggak di angkat?” Tanya papa. “Ini, si Andi nelpon. Nggak apa, palingan dia udah sampai.” Novan kembali mengantongi smartphone. “Pamit ya pa.” Novan salim dan keluar dari mobil. Ia menunggu mobil jauh meninggalkan sekolah, baru ia lanjut masuk ke gerbang. Ia mengeluarkan smartphone dan melihat ada 3 missed call dari Stevan. Ia hendak menelpon lagi, tapi keburu di telpon balik oleh Stevan. “Hallo, kenapa Van? Tadi masih ada papa,” tanya Novan. “Van! Aku baru di kabari sama temanku, nanti kamu aku jemput ya,” jawab Stevan di ujung sana. “Hah? Mau jemput? Kemana? Kapan?” “Kamu di suruh kontrol lagi. Gimana? Kamu rutin nggak minum obatnya? Gimana perasaan kamu akhir- akhir ini?” Novan melongo. Ya ampun, bahkan ia lupa untuk minum obat. Obatnya masih banyak. “Baik- baik aja sih. Nggak ada problem apa- apa, yah amanlah. Aman pokoknya. Memang harus ya kontrol?” “Iya, kata temenku harus. Seharusnya sih seminggu sekali, tapi ini udah dua minggu nggak kontrol. Temanku akhirnya nanyain soal kamu, sempat ketemu dengannya kemarin. Nanti aku jemput ya, kayak kemarin.” “Hah? Nanti kalau pulangnya lama gimana? Keburu di jemput sama papa nanti.” “Bentar aja. Nggak sampai pulang kok. Nanti di tengah pelajaran aku jemput, kayak kemarin. Pokoknya siap- siap aja sih.” “Eh, tapi …” Stevan mematikan telponnya lebih dulu. Novan berdecak kesal. “Kan, kebiasaan anak ini,” gerutu Novan. Ia kembali mengantongi smartphone. Ya sudahlah, kita lihat saja nanti. Semoga saja dia tidak terlalu lama jemputnya. ***** Jam istirahat pertama sudah tiba, tapi belum ada kabar apapun dari Stevan. Novan mengecek smartphone sedaritadi, menanti kabar dari Stevan. “HP mulu lu liat,” ujar Andi. “Nungguin kabar?” Novan mengangguk. “Mau di jemput nanti, katanya. Tapi belum di kabarin.” “Mau kemana memang?” “Ada urusan sih.” Andi hanya mangut- mangut. “Kantin aja dulu yuk, nanti rame,” ajak Andi. “Yuklah.” Novan mengantongi smartphone dan mengekori Andi ke kantin. Harus cepat, sebelum ramai dan papasan dengan Novia. Syukurlah ia tiba di kantin sebelum ramai. Sebenarnya dia agak ragu untuk jajan, karena nanti Stevan akan mengajaknya makan. Tapi rasa laparnya tidak bisa di tahan lagi. “Itu aja?” Tanya Andi saat melihat jajan yang di beli Novan. Hanya tiga biji kue basah dan es teh. “Iya. Nggak terlalu lapar. Palingan nanti juga bakalan di ajak makan sih,” jawab Novan/ “Memangnya bakal di jemput kapan?” Novan mengedikkan bahu. “Palingan bentar lagi sih.” “Bentar lagi itu kapan?” “Yah … palingan habis istirahat ini sih …” “Oh, oke. Selamat ya bisa bolos dengan legal.” **** Novan mengecek smartphone untuk kesekian kalinya di tengah pelajaran. Ini sudah selesai jam istirahat, tapi tidak ada juga kabar dari Stevan. Bahkan sekedar chat pun tidak ada. Apa dia tidak jadi menjemputnya? Kalau memang itu yang terjadi, maka dia akan sangat bersyukur. Dia juga tidak ingin pergi ke sana. Entah apa yang harus ia katakan di sana nanti. Apa dia harus bilang tentang perasaannya akhir- akhir ini? Ia bahkan tidak tahu perasaannya. Apa yang harus ia lakukan nanti? Jam pelajaran sudah selesai, tapi belum ada kabar dari Stevan. Oke, sepertinya mereka tidak jadi pergi kali ini. Syukurlah kalau memang begitu. Tapi tidak, dia harus menunggu setidaknya sampai jam pulang sekolah tiba. “Nggak jadi di jemput ya?” Tanya Andi. “Kayaknya nggak jadi sih.” Novan menaruh smartphone di laci. Ah, perutnya masih lapar. Kue basah itu tidak cukup untuk menganjalnya. Semoga saja nanti dia bisa kabur ke kantin walau hanya sebentar saja. Atau mungkin Stevan menjemputnya dan mengajaknya makan. Itu lebih baik karena akan menghemat uang jajannya. Ini sudah hampir jam istirahat kedua, tapi Stevan belum juga datang. Oke, baiklah. Ia akan menggunakan jam istirahat yang singkat itu untuk pergi ke kantin secepat mungkin. Semoga saja bakso atau mie ayam masih ada. Ah, dia sangat ingin memakannya! Pintu kelas di ketuk oleh seseorang saat jam pelajaran tengah berlangsung. Tampak pak Broto berdiri di depan pintu. “Permisi bu, maaf menganggu,” pinta pak Broto pada bu Indah. “Maaf, ada apa ya pak? Saya sedang mengajar,” tanya bu Indah. “Maaf bu, menganggu sebentar. Apa di kelas ini ada yang namanya Novan? Novan Andriansyah?” Tanyak pak Broto sambil mendongak. Novan mengangkat tangannya. “Ah, kamu nak. Kamu di jemput oleh om kamu. Tolong ya bu, izin nak Novan pulang duluan.” Novan memasukkan semua buku dan menggendong tasnya. Ia salim bu Indah dan pamit sebelum pergi keluar. “Ada perlu apa kok kamu di jemput duluan?” Tanya bu Indah. Novan tidak menjawab, ia hanya menyinggungkan senyum kecil. Pak Broto membisikkan di telinga bu Indah, yang hanya di balas mangut- mangut olehnya. “Oalah. Begitu. Ya sudah nak, kamu boleh pulang. Sehat- sehat ya!” Ujar bu Indah. “Iya bu, makasih ya bu. Saya pamit …” Novan membungkukkan badannya dan pergi keluar kelas, meninggalkan tanda tanya seisi kelas dengan kalimat terakhir bu Indah. **** “Nah, ini dia anaknya!” Ujar Stevan saat melihat Novan menghampirinya di meja piket. “Maaf ya, aku terlambat jemput. Tadi ada rapat. Ini juga susah aku minta izinnya.” “Padahal kalau nggak bisa pun nggak apa sih …” Gumam Novan. “Hah? Apa?” Novan menggeleng. “Nggak, nggak apa. Ayo pergi!” Novan mendorong pelan Stevan. “Makasih ya pak. Mari pak, kami pamit dulu,” pamit Stevan pada pak Broto yang menjaga di meja piket. “Iya nak, hati- hati.” Mereka segera masuk ke dalam mobil. Stevan menyalakan mobil dan menyetir meninggalkan area sekolah. “Harus banget ya Van?” Tanya Novan di tengah perjalanan. “Yah, gimana ya. Udah di tanyain sih. Kalau di bilang harus, ya harus,” jawan Stevan. “Kita langsung pergi ke rumah sakit ya, biar nggak lama.” “Tapi aku lapar.” Stevan berdecak. “Nanti aja makannya, bisa nanti di kantin rumah sakit. Sekarang tuh yang penting dapat nomor antrian dulu, biar nggak lama,” jawab Stevan. “Ya udah deh.” Nggak apa, sabar ya perut. Nanti di traktir Stevan kok! Gumam Novan dalam hati sambil mengelus perutnya. “Kita harus cepat, sebelum jam pulang sekolahmu kalau bisa udah balik, jadi abang nggak mencarimu nanti.” “Oh iya, benar juga.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN