Bab 73

1128 Kata
7Novan duduk di dalam pos satpam yang kosong. Ia mengeluarkan obat dari tas dan meminumnya. Ia hampir lupa minum obat karena terlalu senang dan merasa baik- baik saja, tapi salah besar. Nyaris saja dia mengalami serangan panik dan nyaris pingsan. Ia kabur dan bersembunyi di pos satpam. Ia menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia berusaha menenangkan dirinya. “Gak apa, gak akan ada apa- apa kok. Tenang aja. Tenang, kalem ...” Gumam Novan. “Mana yang jual bunga di sini?” Tanya seseorang. Novan menutup jendela pos satpam dan sembunyi di kolong meja. “Jual bunga?” “Iya, kamu tau kan anak baru yang super ganteng itu? Nah katanya dia jadi anak danus, jualan bunga mawar mereka.” “Oh, anak MIPA 2 itu ya? Si ganteng itu jualan bunga?” “Iya. Aku pengen liat dia, soalnya anaknya tuh lebih sering di kelas. Katanya ganteng banget! Mereka terhipnotis gitu lihatnya, jadi mereka relain buat beli bunganya gara- gara dia. Kata mereka tuh, rasanya mereka di kasih bunga gitu sama pangeran. Cakep bangeet pokoknya! Aku mau ketemu!” “Jadi kepo aku, seganteng apa sih memang?” “Makanya! Kepo juga kan? Mana lagi ini anaknya ..” Novan mengintip dari sela- sela jendela. Kedua anak perempuan itu celingak celinguk mencarinya. Novan menghela napas lega. Syukurlah mereka tidak tahu seperti apa wajah Novan. Ia menyembunyikan buket bunga di kolong meja dan melepaskan jas yang ia pakai. Ia membuka sedikit jendela pos satpam agar udara segar masuk ke dalam. Oke, baiklah. Dia hanya perlu membenamkan wajahnya dan berpura- pura tidur saja. Palingan sebentar lagi mereka juga bakal pulang kok. “Eh kalian? Ngapain kalian di sini? Kok nggak langsung pulang?” Tanya seseorang yang menghampiri mereka. Novan mengintip dan mendongak kaget melihat satpam di sana. “Bentar pak, lagi nunggu yang jual bunga,” jawab salah satu anak perempuan itu. “Siapa yang jual bunga?” “Itu loh pak, anak danus yang jualan. Bapak ada lihat mereka nggak? Itu, si Kirana sama kawan- kawannya.” “Oh, neng Kirana. Tuh neng Kirana lagi di perpus, sama neng Fiona dan neng Gisel. Mungkin dia juga ada di sana kali.” “Oh gitu ya pak? Mungkin juga ya pak. Baiklah pak, makasih.” Novan kembali bernapas lega saat kedua anak perempuan itu hendak keluar dari gerbang. Tapi mereka menghentikan langkahnya saat Karyo menghampiri mereka. “Lah? Mana si Novan di sini?” Karyo celingak celinguk memperhatikan sekitar. “Pak, ada lihat si Novan nggak di sini?” “Oh, nak Novan yang ganteng itu ya?” Karyo mengangguk. “Nah, dia pak yang kami cari! Tapi dia daritadi nggak ada di sini.” “Hah? Nggak ada dia di sini? Oalah, kemana lah anak itu ...” Karyo geleng- geleng kepala. “Maaf pak, tadi saya ada tinggalin barang danusan di pos satpam. Boleh saya ambil?” “Oh ya Yo. Silakan.” Novan kembali sembunyi di bawah kolong. Ia merutuk kesal. Buat apa Karyo masuk ke dalam? Memangnya barang apa yang tertinggal di dalam? Novan tidak sengaja menyenggol sebuah kardus sampai kardus itu terbuka. Novan terbelak melihat isinya. Apa ini barang titipan yang di maksud Karyo? “Permisi.” Karyo membuka pintu dan terbelalak kaget melihat Novan yang sedang berjongkok di kolong meja sambil menutup kardus di sana. “Van? Kamu ngapain di sini?” Tanya Karyo menghampirinya. Novan memberi isyarat dengan menempelkan jari telunjuk di bibirnya. “Oalah, ada nak Novan rupanya. Ngapain kamu di sini?” Tanya satpam. “Tau nih. Ngadem kali dia pak. Van, tuh balik tuh jualin bunganya. Pelanggan nungguin tuh.” Karyo menunjuk kedua perempuan tadi. Mereka melongok dan teriak tanpa suara. “Heh, heh, itu anaknya! Ya ampun!” “Wah lumayan juga ternyata.” Mereka nyelonong masuk ke dalam pos satpam dan menghampiri Novan. “Kami mau beli bunganya!” “Aku beli semua bunganya!” Pinta anak perempuan itu sambil mengeluarkan dompetnya. Karyo dan Novan saling tukar pandang. Karyo menyikutnya dan melirik anak perempuan itu. “Ah iya ... Ini bunganya ...” Novan memberikan sekardus pada kedua perempuan itu. “Ih, aku nggak mau di kasih kardusan begini! Buat jadi buket dong,”pintanya. Halah, bikin repot aja gerutu Novan dalam hati. Novan hanya mengangguk. Ia menaruh kardus di meja dan mengeluarkan semua isinya. “Sebentar ya. Kita coba buat dulu,” ujar Karyo. Ia menghampiri Novan. “Gimana Van? Bisa nggak?” Tanya Karyo. Novan tidak menjawabnya. Ia hanya mengeluarkan satu persatu tangkai bunga mawar dan mengumpulkannya jadi satu buket yang lumayan besar, lalu mengikatnya jadi satu dengan pita. “Wah, bisa gitu ya...” Gumam Karyo. Novan memberikan buket bunga besar itu pada Karyo. “Nih, kamu aja yang kasih,” ujar Novan. “Lah kok aku?” Protes Karyo. “Nggak apa, kamu aja udah,” tolak Novan. “Bisa? Bisa nggak di buat jadi satu buket?” Tanya salah satu anak perempuan. “Kalau nggak bisa, nggak apa,” timpal temannya. “Ah. Nggak kok. Ini udah siap.” Karyo memberikan buket bunga mawar pada mereka. “Yah. Padahal maunya yang kasih itu dia, siapa namanya? Novan ya?” Tanya anak perempuan itu. “Oh, dia itu lagi capek, biasalah ya. Jadi nitip ke aku,” elak Karyo. Novan mengepalkan tangannya dan bangkit dari duduk. Ia mengambil buket bunga itu dan menatap kedua anak perempuan lamat- lamat. “Ini, buket bunga untuk tuan putri.” Novan sedikit membungkuk dan memberikan buket bunga. Kedua anak perempuan itu melongo, lalu teriak histeris. “Wah. Makasih, makasih!” Ia mengambil bunga itu dan memeluknya. “Baiklah, saya pamit dulu tuan putri ..” Novan pamit undur diri. Ia sedikit membungkukkan badannya dan perlahan keluar dari pos satpam. Kedua anak perempuan itu masih teriak histeris di dalam sana. **** Novan duduk di pinggir lapangan sambil menonton klub basket yang sedang latihan. Divisi dana usaha berkumpul di perpustakaan. Novan menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. Ia duduk meringkuk di sana dengan tatapan kosong. Tenaganya sudah habis. Dia menahan diri tadi saat menatap kedua anak perempuan itu. Nyaris saja dia menampar ataupun mendorong mereka sampai jatuh terjungkal. Ia mematikan smartphone. Karyo berkali- kali menghubunginya setelah ia keluar dari pos satpam. Stevan juga berkali- kali menelponnya, tapi tak ia angkat. Sudahlah, nanti saja ia menghubungi mereka. Saat ini dia hanya ingin sendiri, mengumpulkan sisa- sisa tenaga dan keberaniannya. Tangannya masih bergetar hebat. Ia menggenggam tangannya erat. Tenang. Tenang. Tidak apa- apa. Kamu sudah hebat tadi. Sudah berani. Mungkin dia bisa seperti itu berkat obatnya kali ya? Entahlah. Novan rebahan di tribun. Silaunya sinar matahari menyapanya. Ia menutup wajahnya dengan lengan tangan. Sudah hampir sore, tapi matahari masih bersinar terik. Teriknya sinar matahari dan angin sepoi- sepoi, membuatnya sedikit mengantuk. Perlahan, tanpa ia sadari, matanya terpejam. Ah, lelahnya. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN