Bab 72

1069 Kata
      Novan bersungut kesal. Dia tidak setuju dengan ide baru yang agak sedikit gila dan aneh ini. Ia lebih tidak menyangka kalau pak Gono menyetujui ide ini. Yah, sepertinya dia sangat sayang dengan adiknya itu. Pak Gono juga siap menjadi backingan semisal mereka ketahuan oleh kepala sekolah. Yah karena, sekolah ini punya aturan tertulis yang sedikit aneh, yaitu tidak boleh pacaran di sekolah dan tidak boleh ada siswa/siswi yang duduk berduaan. Coba tebak siapa yang membuat hal konyol itu? Ya. Benar. Bu Julia.            Ya, bu Julia memang guru BK, tapi saat ini beliau sedang di gantikan oleh pak Gono. Belum lama, memang. Sebelumnya pak Gono ini sempat menjadi bagian dari Tata Usaha, tapi kemudian menggantikan bu Julia yang saat ini sedang melakukan pengobata di luar kota dan baru saja berangkat 2 hari yang lalu. Meski begitu, peraturan konyol ini masih berlaku karena seluruh guru dan kepala sekolah menyetujuinya. Katanya demi menghindari “hal-hal” yang tidak seharusnya mereka lakukan sebelum umurnya.            “Nah kalo Novan, bagiin bunga ini nih. Kamu jualin di depan gerbang sekolah ya.” Gisela dengan semangat menaruh sebuket bunga mawar merah di depannya. Mawar merah itu sudah di bagi menjadi satu buket kecil yang berisi setangkai mawar merah.            “Rasanya ide ini agak sedikit aneh sih,” gumam Karyo. Gisela menatapnya tajam.            “Udah, nggak usah banyak protes! Lakuin aja dulu pokoknya! Yo, kamu rapiin sikit itu bajunya, kamu sisir dulu tuh rambut, terus itu lagi … kerahnya ya ampun. Nih nih, kamu sisir dulu rambut kamu, terus pakai ini!” Gisela melempar sisir dan memberikan parfum pada Karyo.            “Eh, itu kan parfum mahal,” celetuk Kirana. Karyo terbelak kaget.            “Udah, biarin aja. Yang penting si Karyo jadi wangi. Itu parfum kan wanginya tahan lama, enak lagi.” Karyo nyengir lebar.            “Ya ampun, akhirnya aku bisa merasakan pakai parfum mahal!” Ia menyemprotkan parfum itu di mengelilingi tubuhnya, bahkan sampai ke ketiak. Gisela merebut kembali parfumnya.            “Heh! Ini parfum, bukan deodorant!” Protes Gisela. Karyo nyengir lebar dan mencium lengan tangannya.            “Nggak wangi kok Sel,” gumamnya.            “Ya, memang gitu parfumnya. Kamu nggak bisa cium wanginya, tapi wanginya semerbak sampai tercium orang lain,” ujar Gisela.            “Oh ya? Van, Van, coba cium. Aku udah wangi nggak?” Tanya Karyo sambil mengangkat ketiaknya tinggi- tinggi. Novan mengendusnya, lalu mengangguk.            “Iya sih, wangi sih Yo.” Karyo nyengir makin lebar. Ia membusungkan dadanya.            “Wih, wangi kali aku ya? Wih, makin ganteng akulah kek gini. Kalah ganteng kau nanti Van daripada aku. Nanti cewek- cewek lebih klepek- klepek nengok aku daripada kamu!” Karyo tertawa kencang.            “Terserah kamulah,” ujar Novan.            “Jauh sih Yo. Kalo aku di suruh pilih sih, bakal lebih pilih si Novan. Dia dari awal emang udah wangi kok, nggak kayak kamu,” timpal Fiona. Tawa Karyo berhenti, di ganti dengan cemberut.            “Halah, rusak suasana aja lu!” Gerutu Karyo.            “Udah udah!” Relai Kirana. “Kalian udah pegang kan tugas masing- masing? Nah, kita bakal laksanain nanti istirahat dan Novan, karena kamu kebagian di pintu gerbang, jadi bagian kamu nanti sepulang sekolah.” Kirana memberikan instruksi, yang di jawab oleh anggukan setuju yang lainnya.            “Semangat! Nanti kita kumpul lagi di dekat pintu kantin waktu jam istirahat ya! Sekarang balik aja ke kelas masing- masing.” ****            Novan kembali ke kelas saat bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Guru pelajaran sebelumnya baru saja keluar dari kelas saat Novan masuk. Novan duduk di tempatnya dan membenamkan wajahnya di meja.            “Kamu kok bisa di panggil pak Tono, Van?” Tanya Andi. Novan mengendikkan bahunya.            “Jadi kamu baru balik darimana?” Tanya Gilang.            “Ruang BK.”            “Hah? Ngapain? Buat salah apa kamu sampai di panggil ke ruang BK sama bu Julia?!” Tanya Gilang heboh.            “Eh, kan bu Julia lagi nggak ada. Jadi ruang BK sepi dong, nggak ada gurunya,” celetuk Novan.            “Ada, ada penggantinya.” Novan mendongak dan bertopang dagu. “Ada kok, penggantinya itu ya, pak Gono tau nggak? Katanya beliau dulu di Tata Usaha,” cerita Novan. Gilang dan Andi mengernyitkan alis.            “Hah? Pak Gono? Kok pak Gono yang gantiin jadinya?” Tanya Andi heran. Novan mengedikkan bahunya.            “Entahlah, nggak tahu. Terserah aja. Nggak urus aku.” Novan kembali memendamkan wajahnya di meja. Ia menghela napas panjang.            “Jadi kamu tadi di panggil sama pak Tono buat jumpain pak Gono di ruang BK? Kenapa? Kok bisa?” Tanya Andi.            “Kamu belum lengkapi administrasi waktu pindah apa gimana?” Tanya Gilang. Novan menggeleng.            “Nggak, bukan itu. Bukan masalah administrasi. Ada hal lain sih, hal konyol pokoknya. Aku udah nggak habis pikir.”            “Hal konyol?” Tanya mereka berbarengan. Novan mendongak dan mendelikkan matanya. “Hal konyol kayak apa tuh?” Tanya Gilang.            “Entahlah. Aku juga bingung buat jelasinnya. Tau dah, terserah. Tanpa aku bilang juga kalian bakal tau kok, nantinya. Tunggu aja.” ****            Seperti yang di perintahkan, Novan sudah stand by di pintu gerbang sekolah begitu bel baru saja berdering nyaring. Ia melepas tas dan menitipnya di pos satpam, lalu memakai jas yang warnanya senada dengan jas almameter OSIS. Ia merapikan sedikit rambutnya sambil bercermin. Ia menarik napas dalam dan membuangnya perlahan.            Ide konyol ini sebenarnya agak beresiko, karena akan membangkitkan kembali phobia dirinya. Ia kembali mengatur napas untuk menenangkan pikiran. Sudahlah, tenang saja. Tidak akan ada yang mendekatinya kok, apalagi tampangnya yang kucel layaknya siswa pulang sekolah. Karyo yang sudah pakai parfum dan berpenampilan rapi saja tidak ada yang mau membeli, apalagi dirinya.            Ia berdiri di depan pintu gerbang dan menyodorkan setangkai bunga mawar. Ia tidak menyangka ternyata yang terjadi malah sebaliknya. Banyak dari mereka yang menghampiri Novan dan membeli bunga mawar itu. Novan berusaha menahan tangannya yang gemetar saat hendak memberikan bunganya. Tidak apa, hanya satu orang kok. Belum ada gerombolan ramai kok. Tidak mungkin ada gerombolan kan, konyol sekali.            Ya, tapi semuanya memang berbeda dengan harapan Novan. Tiba- tiba saja segerombolan anak perempuan dari kelas 11 menghampirinya. Mereka mengerumuni Novan dan berebutan membeli bunga mawar dari Novan.            “Aku mau bunganya 3 tangkai!”            “Eh, aku dulu. Aku mau beli 4 tangkai!”            “Aku beli semuanya dah, gimana?”            Novan linglung melihat kerumunan ini. Ia melihat Gilang dan Andi yang hendak pergi ke parkiran. Ia melambaikan tangannya setinggi mungkin, meminta pertolongan pada mereka. Tapi mereka tidak menoleh sedikit pun dan malah pulang duluan. s**l. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN