Bab 61

1587 Kata
Novan menutup pintu kamar Mikel dengan perlahan. Akhirnya, ia berhasil menidurkan Mikel. Ia sengaja mengajaknya bermain sampai ia letih dan tertidur sendiri. Ia pergi ke ruang keluarga dan menghela napas panjang. Ia bisa maklum jika ruang keluarga berantakan dengan mainan Mikel. Namanya juga anak- anak. Tidak salah membiarkan ia bermain sepuasnya, yang salah adalah orang dewasa yang tidak mengajarkannya cara merapikan mainan sendiri. “Harusnya tadi ajak Mikel rapikan dulu sebelum tidur,” gumam Novan. Ia mengambil keranjang mainan dan memasukkan semua mainan ke dalamnya. Saat itulah, ibunya keluar sambil menguap lebar. “Mana Mikel?” Tanya ibu Novan. “Tidur,” jawab Novan singkat. Ibu Novan mangut- mangut. Ia berjalan keluar kamar dan tiba- tiba teriak kesakitan. “Haduh! Haduh! Apaan ini?!” Gerutu ibu Novan sambil mengecek kakinya. “Apa ini? Lego? Ya ampun!” Ibu Novan melempar lego ke lantai. “Anak ini, selesai main bukannya di beresin! Malah pergi tidur!” “Tapi tadi di suruh tidur ...” Gumam Novan. “Ya tapi harusnya kan beresin mainan dulu! Nggak lihat dia apa berantakan kayak gini?!” Gerutu ibu Novan. “Namanya juga anak- anak. Harusnya orang dewasa yang inisiatif buat nyadarin kalau ini berantakan dan harus di beresin. Kalau di bilangin doang mah, mana ngerti. Harus di tuntun.” Ibu Novan mendengus. Ia melempar lego yang berserakan di depannya ke dalam keranjang. “Dia udah makan siang tadi? Habis nggak?” “Nggak. Sisanya aku yang makan.” “Kok bisa nggak ha ...” “Ya gimana mau habis, di kasih makan dengan porsi kayak orang dewasa. Mereka masih anak- anak, perutnya juga masih kecil. Mana sanggup habisin semuanya.” Novan memotong pembicaraan. Ibu Novan berkacak pinggang dan melotot menatap Novan. “Oh, jadi semua ini salah ibu gitu ya? Iya? Kamu mau nyalahin saya?” Bentak ibu Novan. “Aku nggak nyalahin, tapi kalau situ merasa bersalah ya bagus. Sadar diri, seengaknya. Ibu mana yang malah telantarin anak, biarin anak lakuin sendiri nggak di bimbing? Memangnya anak itu kayak robot apa, udah di program biar ngerti sama semuanya?” Wajah ibu Novan memerah. Matanya melotot lebar. “Jadi kamu mau nyalahin saya? Iya? Memangnya kamu pikir jadi ibu gitu mudah apa hah?! Kamu nggak tau kan betapa susahnya jadi ibu?! Harus mengurus anak dan suami, nggak sempat urus diri sendiri ...” “Tapi kamu nggak kelihatan seperti itu kok. Kamu kelihatan seperti sangat mengurus diri sendiri kok.” Ibu Novan terdiam. “Ya, aku harus lakuin itu dong. Biar tetap di sayang sama papamu.” Ia mengibaskan rambutnya yang hitam lebat itu, namun ada sedikit uban yang terselip di dalamnya. “Ya, kalau kamu nggak mau jadi seorang ibu, makanya jangan nikah. Jangan punya anak. Kalau gitu kan nggak perlu stress sama banyak hal ka...” Sebuah tamparan keras dari ibu Novan melayang di pipinya. Novan terdiam. Ia terbelak kaget, tidak menyangka hal seperti itu akan terjadi. Napas ibu Novan menggebu- gebu dengan wajahnya yang semakin memerah. “Jaga ya ucapan kamu!” Bentak ibu Novan. Novan memegang pipinya yang memerah. Ia meringis kesakitan. “Nggak ada sopannya kamu ya sama orangtua! Mana sopan santunmu hah? Nggak pernah ya ibu ajarin kamu kayak gitu!” “Memangnya kamu ada ajarin apa?” Tanya Novan. Ia menatap ibunya dengan tatapan tajam. “Kamu memangnya ada ajarin apa hah? Kamu ada kasih apa ke aku hah? Kamu tuh cuma mau papa! Mau harta papa aja, makanya kamu deketin papa!” “Anak ini …” Ibu Novan melayangkan tangannya di udara, tapi kemudian dia menurunkannya. Ia menarik napas dalam dan membuangnya perlahan. “Ah, sudahlah.” Ia membalikkan badannya. “Merasa bersalah ya? Ya, memang harus begitu sih,” gumam Novan. Ibu Novan balik badan dan mencengkram pundak Novan kuat. Ia menatap Novan lamat- lamat. “Iya, saya memang cuma mau harta kamu. Jadi, saya nggak peduli sama kamu, mau kamu sakit juga, saya nggak peduli. Jangan kamu pancing saya lagi, nanti habis kamu!” Ia melepas cengkramannya sampai Novan sedikit terdorong ke belakang. Novan mengerjap kaget, lalu tersenyum sinis. Ibu Novan kembali masuk ke dalam kamar. Ia membanting pintu dengan kencang. “Kenapa nggak kamu habisin aja aku terus sih? Nanggung.” Novan kembali mengutip satu persatu mainan yang berserakan dan memasukkan ke dalam keranjang. Ia menghela napas. “Hidup juga percuma rasanya.” ****            Novan kembali ke kamar setelah selesai membereskan ruang keluarga. Ah, bukan hanya ruang keluarga. Ia membereskan seluruh bagian di lantai bawah. Ia menyapu setiap sudut, kecuali kamar orangtuanya dan kamar Mikel. Setelah itu ia pel semuanya dan juga tidak lupa mengelap meja dan jendela yang sedikit berdebu. Sebenarnya rumahnya tidak kotor sih, kan sebelumnya sudah di bersihkan oleh mbak Atik. Tapi itu ia lakukan untuk melepaskan segala emosi yang ia pendam tadi. Ia sampai mengepel setiap anak tangga.            Ia merebahkan badannya di kasur. Bajunya sudah basah dengan keringat, badannya juga sudah letih. Ia menatap langit- langit kamarnya. Ah, ia tidak suka kalau badannya lengket keringat, tapi dia juga sedang malas untuk mandi. Masih capek.            “Perempuan itu memang …” Gumam Novan.            Ia tidak pernah akur dengan ibunya. Ya, dengan ibunya yang satu ini. Novan punya 2 ibu, yang satu lagi ia panggil ‘mama’. Mama adalah ibu kandungnya, sedangkan ibu yang saat ini tinggal dengannya adalah ibu tiri. Ibu tiri yang seperti ada di dongeng, tapi ini versi bermuka dua. Ia seperti wanita baik yang sayang anak di depan suami, tapi akan jadi ibu tiri yang kejam di belakangnya. Sikap ini yang membuat Novan jengah, tapi ia kini tidak bisa menghindarinya.            Dulu dia bisa menghindarinya karena ia masih tinggal dengan sepupu jauhnya. Tapi ia terpaksa tinggal dengan papa karena sepupunya sudah menikah. Sedangkan mama, sejak cerai dengan papa, mama pergi entah kemana dan tidak ada yang tahu kabarnya. Kecuali Stevan, sepertinya. Kemarin ia sempat mengungkit tentang mama kan?            Atau dia yang salah dengar? Ah, entahlah. Ia masih berharap mama ada di sini, tapi ia juga tidak ingin bertemu dengan beliau. Entahlah, batinnya selalu berperang saat mengingat mama. Ia rindu dengan mamanya, sangat rindu. Tidak mungkin ia tidak rindu dengan mama yang merawatnya sewaktu kecil. Tapi jika ia harus bertemu dan tinggal kembali dengan mama, rasanya ia agak keberatan. Kembali bersama mama sendirian, bukan hal yang menyenangkan.            Ia tersadar dari lamunan saat smartphone berdering kencang. Ia merentangkan tangannya untuk mengambil smartphone di pinggir kasur. Stevan menelpon.            “Ya, hallo Stevan.”            “Hallo Van. Kamu udah sampai rumah belum? Kok belum ada kabarin aku?” Tanya Stevan di ujung sana.            “Udah, daritadi. Sori, aku urusin Mikel dulu tadi.”            “Mikel? Siapa Mikel?”            “Adikku. Anaknya dia. Anaknya baik, nggak kayak dia. Manis, penurut, nggak banyak tingkah. Baiklah pokoknya.”            “Oh, anak baik ya. Syukurlah. Kamu jagain aja dia dekat kamu, jangan sampai nanti dia malah kenapa- kenapa nanti kalau dekat dia.”            “Iya, ini aja dia udah nggak nyaman kayaknya dekat- dekat dengan dia. Aneh, kayak nggak mencerminkan sikap orangtua aja. Untung anaknya nggak niruin sikapnya. Jangan sampai deh, amit- amit!”            “Nah kan, baru dah tuh dia ngerasa agak aneh. Eh, eh, bentar Van … ya, kenapa?”            Terdengar suara seseorang memanggil Stevan di ujung sana. Suara yang lembut, seperti suara perempuan. Mereka membicarakan sesuatu di ujung sana. Novan tidak bisa mendengarnya karena mereka seperti berbisik. “Oh, oke. Iya, aman tuh. Nah, Van …” “Siapa tadi tuh?” Tanya Novan penasaran. “Hah? Oh itu tadi .. itu …” “Pacar kamu ya? Cie Stevan … akhirnya …” Goda Novan. Stevan tertawa kecil di ujung sana. “Akhirnya, aku bakalan punya tante. Stevan bakalan punya istri!”            “Hush! Ngaco! Mana mungkin sampai kayak gitu! Itu tadi kenalanku, bukan pacarku.”            “Halah, ngakunya kenalan, padahal punya status. Udahlah, ngaku aja Van ..”            “Nggak, benar deh. Tadi cuma kenalan aku doang. Kalo pacar mah beda lagi ya, ada kok ada ..” Novan bersiul.            “Asik, ada pacar rupanya. Siapa tuh? Anak mana? Teman kantor juga? Atau teman sekolah dulu? Atau temannya teman? Atau gimana?” Tanya Novan penuh selidik.            “Kepo. Ada pokoknya. Cakep. Cantik. Baik. Nanti dah, kalau ada waktu, kalau aku mau dan dia mau juga, aku kenalin ke kamu.” “Pokoknya cepat- cepat kenalin ke aku! Cepat- cepat nikah juga kalian! Ingat umur Van..” Stevan tertawa di ujung sana. “Memangnya nggak apa kamu ketemu sama dia? Nanti pingsan pula, susah aku.” Novan menelan ludah. Ah, dia lupa akan hal itu. “Ya … nggak usah sih kalau gitu … tapi aku kepo … pokoknya kamu tuh nikah ya sama dia! Cepetan kalian nikah!”            “Kamu ini, udah kayak ibu- ibu komplek aja. Aku belum setua itu kok, kalau hitungan cowok mah ini masih muda. Lagipula aku nggak bisa secepat itu nikahin dia, kan dianya belum lulusan juga.” “Oalah. Suruh cepat kelarin skripsi deh tuh, biar cepet lulus. Terus kalian nikah. Terus aku bakal dapet sepupu baru! Ya ampun! Senang banget aku sumpah! Langgeng ya kalian pokoknya!” Terdengar nyengiran Stevan di ujung sana. “Nanti kalo aku nikah kamu kangen pula.” Novan mendengus.            “Nggak, udah aku ikhlasin pokoknya.” Stevan tertawa kecil.            “Iya, doain aja deh pokoknya. Udah dulu ya Van, aku masih kerja nih. Jangan lupa makan. Bye!” “Iya, bye Stevan.” Telpon di matikan oleh Stevan. Novan menaruh smartphone di pinggir kasur. Ah, nanti saja mandinya. Ia menatap langit- langit kamar dan menguap lebar. Ia mengerjapkan matanya dan perlahan matanya mulai terpejam. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN