BBA 62

1040 Kata
Novan terbangun saat smartphone berdering nyaring. Ia meraih smartphone di pinggir kasur dengan setengah sadar. Ia mengangkat telpon tanpa melihat yang menelpon. “Hem, ya.. Halo?” Tanya Novan lesu. “WOI VAN! GAWAT!” Teriak orang di ujung sana heboh. Novan tersentak kaget. “Apa? Kenapa? Apanya yang gawat?” Tanya Novan tak kalah heboh. “Gawat Van! Tugasnya di kumpulin besok!” “Hah? Tugas apaan?” Tanya Novan bingung. “Tugas seni lukis. Besok pagi di kumpulnya!” “HAH?!” Novan terbelak kaget. Ia bangkit dari tidurnya dan melirik jam dinding. Sudah jam 4 sore. “Aku juga baru di kabarin sama mereka. Haduh. Nggak bisa di tolak lagi, soalnya udah di bayar mahal.” “Refund aja Yo, kalo buru- buru gini.” “Nggak bisa, anaknya nggak mau. Bakal di tuntut nanti katanya.” “Udah, refund aja. Kamu transfer balik, masih ada simpan kan nomornya? Udah kamu kirim balik aja semuanya.” “Nggak bisa Van, anaknya nggak mau. Katanya nanti dia bakal nuntun kita sama ayahnya, ayahnya tuh jaksa.” Novan berdecak kesal. Cih, pengecut. Malah bawa orangtua. Dasar manja. Padahal anaknya yang malas kerjain tugasnya sendiri, tapi malah orang lain yang di tuntun. “Halah ya udahlah. Aku sempet- sempetin dah ini. Belum tentu hasilnya bagus tapi ya, jangan banyak berhLoarap.” “Iya, nggak apa. Asal ada aja Van. Nanti kamu jiplak aja biar cepet, atau gimana dah. Sori ya Van, makasih.” “Hem, iya.” Novan mematikan telpon. Ia berdecak kesal sambil mengacak- acak rambutnya. “Ck, repotin banget sih.” Seketika ia menyesal karena sudah menyarankan ide gilanya ini. Dia sudah mati- matian, tapi hasilnya di bagi bersamanya. Mungkin nanti dia akan minta bayaran lebih, jadi ada bagian untuk dirinya. Sudahlah. Lebih baik kerjakan saja dulu amanah ini. **** Kamar Novan tampak berantakan, dengan tumpukan gelas yang berserakan di lantai dan pensil warna yang berhamburan di meja. Setelah Karyo menelponnya dan memberitahu kabar yang sangat mendadak itu, Novan langsung mencari referensi gambar di internet. Setelah itu ia print referensi itu dan menjiplaknya. Tidak sepenuhnya ia tiru sih, ada sedikit yang ia bedakan. Kalau saja tidak di buru waktu seperti ini, Novan akan mencari referensi lebih dan tidak akan menjiplak seperti ini. Ah, tapi ya sudahlah. Tugas ini bukan miliknya kok, kenapa dia yang harus repot? Mau ia kerjakan juga sudah bagus. Novan menolak ajakan untuk makan malam. Tidak akan sempat, karena ada 2 gambar yang harus selesai besok pagi dan ia harus memberikannya sebelum bel masuk. Ia mengganjal rasa laparnya dengan kopi dan air putih. “Abang...” Terdengar suara Mikel memanggil di luar sana. Pasti orangtuanya yang menyuruh Mikel. “Iya Mikel,” jawab Novan tanpa bangkit dari meja belajarnya. Mikel mengetuk pintu dan memanggilnya sekali lagi. “Abang...!!” Panggil Mikel nyaring. Novan berdecak. Ia membuka pintu kamarnya dan melihat Mikel berdiri di depan sana. “Abang, abang nggak makan malam?” Tanya Mikel. “Abang masih banyak tugas. Nanti abang makannya.” “Tapi mama ajak abang buat makan sama- sama...” “Bilang mama, nanti abang nyusul. Abang masih banyak tugas. Sisain aja buat abang, ya?” Yah, kalau memang di sisain sih. Mikel menatapnya dengan mata bulatnya. Novan mengelus pelan rambut Mikel. “Abang makan kok, tenang aja. Tapi Mikel aja makan dulu ya, sama mama papa.” Mikel mengangguk. “Oke.” Ia mengacungkan jempolnya. “Anak baik. Abang masuk lagi ya. Hati- hati turun tangganya.” “Mikel bisa kok. Mikel bukan anak kecil lagi!” Mikel mendengus kesal. Ia balik badan dan menuruni tangga perlahan sambil berpegangan pada pembatas tangga. Novan memperhatikan dari kejauhan sampai Mikel turun dengan selamat. Novan masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Oke, mari kita kembali kerja. **** “Akhirnya...” Gumam Novan. Ia mengangkat tinggi- tinggi kertas A3 di tangannya. “Akhirnya selesai!!” Sorak Novan girang. Perjuangannya berjam- jam tanpa makan dan minum 3 gelas kopi membuahkan hasil. Tidak terlalu nampak seperti hasil tracing. Yah tapi hasil tracing pun tidak masalah baginya. Ini hanya tugas sekolah dan ia yakin gurunya juga tidak sadar akan hal itu. “Udah bisa masukin dalam map ini.” Ia memasukkan kedua gambar itu ke dalam map besar, lalu memasukkan map itu ke dalam tasnya. Ia merenggangkan badannya. Badannya pegal karena harus membungkuk agar tampak garis mana yang ia tracing. Sepertinya koyo adalah yang paling ia butuhkan saat ini. Ia membuka laci meja belajar dan meraba- raba isi dalamnya. Biasanya ada koyo di dalam sana. “Ini dia!” Novan mengeluarkan satu pack koyo. Ia mengambil satu koyo dari dalam sana dan menempelkannya di bahu. Ah, koyo memang penyelamat remaja jompo seperti dirinya. Ia melirik jam dinding di kamarnya. Sudah jam 01:30. Sebaiknya dia bereskan sedikit kamarnya yang berantakan ini, baru pergi tidur. Ia mengumpulkan gelas- gelas yang berserakan di lantai dan membawanya ke dapur. Ia kira semua lampu akan di matikan, ternyata tidak. Masih ada lampu dapur yang menyala. Apa ada orang di dapur? Ia mengintip dari sela pintu dapur. Tidak ada siapapun di sana, tapi kenapa lampunya tidak di matikan? Mungkin lupa. Ia masuk ke dapur dan menaruh gelas- gelas kotor itu di westafel. Ia membuka tudung saji, berharap ada makanan di sana. Tidak ada. Ia membuka lemari dan mencari makanan di sana, tapi tidak ada juga. Ia geleng- geleng. Sepertinya memang tidak ada di sisakan makanan malam untuknya. Ah, siapa pula yang mau menyisakan makan malam ke orang yang membentaknya tadi siang? Ia bukan ibu peri yang pemaaf. Ia mematikan lampu dapur dan kembali ke kamarnya. Perut laparnya tidak bisa di pungkiri. Mungkin pesan makanan lewat ojek online bisa menyelamatkannya. Ia sibuk mencari warung dan rumah makan mana yang masih buka di tengah malam begini, sampai ia mendengar suara lonceng di luar sana. “Bakso... Bakso...” Novan buru- buru turun ke bawah dan keluar dari rumahnya. Ia mengejar gerobak bakso yang menjajakan jualannya. “Bang. Bakso bang!” Pinta Novan. Gerobak bakso itu berhenti. “Bakso bang?” Tanya penjual bakso. Novan mengangguk. “Bakso ya bang satu, pake mangkuk abang aja, makan di sini.” “Oke. Bentar ya bang.” Novan merasa lega. Syukurlah ia tidak perlu menunggu lama dan lebih senang lagi, ia tidak perlu membayar ongkos kirim kan? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN