Bab 42

2240 Kata
Mobil Stevan berhenti tepat di depan lorong rumah Novan. Novan melepaskan seatbelt dan membuka pintu. “Kamu nggak mau aku antar sampai depan rumah?” Tanya Stevan. Novan menatap Stevan lamat. “Kamu mau buat heboh tetangga? Terus ribut dengan papa?” Tanya Novan balik. Stevan mengerlingkan matanya. “Well, nggak. Kayaknya belum tepat waktunya ya,” jawab Stevan. “Nah, itu kamu tahu. Belum lagi nanti kalau ibu tahu, bakal lebih ribut. Udah deh, nanti aja. Tunggu agak reda dulu,” ujar Novan. “Yah, walaupun nggak tahu kapan redanya ya …” Sambung Stevan sambil mangut- mangut. “Ya sudahlah, aku kirim salam aja deh ke papa kamu, yah walaupun kamu belum tentu mau sampaikan.” Novan tersenyum kecil dan menaikkan alisnya. “Nah, itu tau. Nggak janji sih, kayaknya nggak bakal aku sampaikan juga. Udah ya, thanks Van!” Novan keluar dari mobil dan menutup pintu mobil. Stevan menyalakan klakson dan meninggalkan Novan sendirian di sana. Novan menyusuri jalanan memasuki lorong rumahnya. Lorong ini tidak sepi seperti kemarin. Tampak pedagang bakso menjajakan dagangannya di sana. Ia merogoh sakunya dan menemukan pecahan dua puluh riburan di sana. Hem, agaknya cukuplah untuk dia jajan bakso. Novan berhenti di gerobak bakso. “Mas, bakso ayamnya satu porsi ya. Makan di sini.” “Bentar ya mas, ini lagi penuh. Tunggu mas ini siap makannya nggak apa?” Pedagang bakso menunjuk pelanggannya yang masih duduk di sana, menikmati semangkuk bakso. Novan mangut- mangut. “Loh? Novan bukan?” Tanya seseorang di belakangnya. Suaranya tampak tidak asing. Novan menoleh dan terbelak kaget. Gilang sedang duduk di sana sambil menikmati bakso bersama dengan seorang laki- laki. “Eh? Gilang? Kamu ngapain di sini?” Tanya Novan sambil menunjuk Gilang. “Ya rumah aku deket sini, biasa emang makan bakso sama si akang ini kalau nggak ada makanan di rumah.” Gilang menjelaskan. Novan melirik laki- laki yang duduk di sebelah Gilang. Gilang menyadarinya dan menyikut laki- laki itu. “Oh, ini adik aku. Dek, ini temen kakak nih.” Gilang memperkenalkan Novan pada adiknya. Adik Gilang hanya meliriknya sekilas, lalu mangut- mangut dan kembali menyantap baksonya. “Heh, nggak sopan kamu ya!” Gilang menjitak adiknya. Adik Gilang meringis kesakitan. “Sori ya Van, emang ini anaknya agak- agak gimana gitu. Sori ya Van.” Novan mangut- mangut. “Ah iya, nggak apa. Dia lapar mungkin jadi nggak peduli,” ujar Novan. “Sori ya, namanya juga masih anak- anak. Masih SD kelas 4 dia,” timpal Gilang. Novan terbelak kaget mendengarnya. “Hah? SD?!” Tanya Novan tidak percaya. Ia terbelak menatap adik Gilang. Adiknya masih SD, tapi tingginya sudah hampir sama dengan Gilang. “Heh! Mana ada! Aku udah kelas 6 tahu!” Protes adik Gilang. “Ya, kan sama aja. Kamu masih SD!” Tukas Gilang. “Masih SD?!” Tanya Novan lagi tak percaya. Ia masih terbelak. “Tapi kalian kok …” “Iya, nggak cuma kamu kok yang kaget.” Gilang merangkul adiknya. “Semua juga pada kaget waktu dengernya. Emang dia cepet banget pertumbuhannya,” jelas Gilang. Novan geleng- geleng kepala. “Nggak apa, nanti kamu jauh lebih tinggi daripada abangmu. Jadi kerdil abangmu,” Timpal Novan. Ia mengacungkan kedua jempolnya. “Memang pendek dia. Padahal udah tua, keknya pertumbuhannya terhambat gitu,” timpal adik Gilang. Novan tertawa kecil mendengarnya. Gilang cemberut dan menyikut adiknya. “Elunya yang ketinggian! Makan galah elu ya?!” Kakak beradik ini mulai ricuh. Novan hanya diam saja memandangi mereka berdua. Mungkin lucu ya kalau jarak umur dengan saudara tidak terlalu jomplang seperti mereka. Dia mana bisa begitu dengan Mikel, yang ada dia yang akan di marahi kalau sampai Mikel nangis. “Nganu mas, jangan ribut di sini mas. Kasian mas ini jadi kelamaan nunggunya,” relai pedagang bakso sambil menunjuk Novan. Mereka berdua terdiam melirik Novan, lalu duduk kembali dengan tenang. “Maaf kang, maaf juga Van,” ujar mereka serempak. Pedagang bakso hanya bisa geleng- geleng kepala. “Memang kalian kakak beradik ini nggak penah kalem,” komentar pedagang bakso. Gilang dan adiknya menundukkan kepalanya dan saling sikut. “Kang, kami udah selesai makannya.” Gilang bangkit dari duduk. Pedagang bakso dengan sigap mengambil mangkuk kosong yang sudah di tumpuk dan menaruhnya di dalam ember cucian. “Ini ya, pesanan kalian buat di bawa pulang.” Pedagang bakso memberikan plastik berisi sebungkus bakso kepada mereka. “Makasih ya kang. Tadi udah di bayar sekalian sama yang ini ya kang,” ujar Gilang memberitahu. Pedagang bakso mangut- mangut. Ia menepuk pelan pundak Novan. “Duluan ya Van. Kapan- kapan main yak ke rumah,” pamit Gilang. Ia melambaikan tangannya dan pergi dari sana bersama dengan adiknya. Lihatlah, mereka jalan beriringan seperti itu, lebih tampak seperti teman sebaya daripada kakak adik. “Mas? Jadi pesan?” Tanya pedagang bakso. Novan tersadar dan mengangguk. “Iya kang. Bakso ayamnya satu ya kang, makan di tempat.” “Oke, siap!” **** Novan pulang ke rumah dengan perut kenyang. Lumayan juga bakso kang Ejak. Enak dan lumayan murah juga. Banyak pembeli yang berdatangan setelah Novan. Hem, apa mungkin dia pembawa keberuntungan pada kang Ejak? Ah, mana mungkin. Itu pasti karena bakso kang Ejak yang enak dan sudah menarik orang- orang di komplek. “Van, makan,” ajak ibu Novan. “Udah kenyang bu,” jawab Novan sambil menaiki anak tangga. “Heh? Kamu makan apa? Ibu udah masak banyak ini. Hei, Novan!” Novan menghiraukannya. Ia terus menaiki anak tangga dan menutup pintu kamarnya agak kencang. Terdengar omelan ibunya di bawah sana. Biarkan saja, toh memang ibu selalu seperti itu. Ia menggantung tas sekolahnya di gantungan tas dan melemparkan dirinya begitu saja ke kasur. Hem, mungkin nanti malam Novan pesan makanan via ojek saja. Ia yakin ibunya akan mengadu ke papa soal ini, dan papa akan mengomeli Novan saat ia pulang kerja nanti. Sebaiknya dia tetap di kamar saja, karena tidak ada yang bisa mengusiknya di sini. Terdengar nada dering panggilan dari smartphone. Ia merentangkan tangannya untuk mengambil smartphone di atas meja. Ada panggilan masuk dari .. Karyo. “Ya, hallo Yo.”            “Van, kamu kemana aja hah?! Aku daritadi telponin kamu tahu!” Gerutu Karyo di ujung sana. Novan mengernyitkan alis dan mengecek log panggilan. Benar, ada 3 panggilan tak terjawab dari Karyo. “Oh, daritadi kamu nelpon toh. Maaf, maaf. Aku nggak cek smartphone tadi. Kenapa Yo?” Tanya Novan.            “Aelah kamu mah. Kamu dimana nih? Sampai rumah dengan selamat kan?” “Iya, baru sampai. Ada apa dah? Langsung ke inti aja, jangan basa- basi.”            “Kita ada job baru nih. Agak banyak, jadi kayaknya harus di bagi dua kerjainnya. Tapi … kamu .. gak apa? Sehat? Baik- baik aja gak?”            “Hah? Tenang aja, aku nggak apa kok. Mana job barunya itu? Kamu kirim aja ke aku.”            “Bener nih nggak apa? Aku nggak enak minta tolong sama kamu, kan kamu tadi habis pingsan ya, mungkin masih nggak enak badan. Tapi aku juga nggak sanggup kerjain sendiri, soalnya banyak dan … agak rumit …”               “Gak apa, aku udah sehat kok. Tenang aja. Job apa memang?”            “Tugas MTK, tapi … ini punya kelas 12 … dan ini MTK Peminatan …”            “Waduh, berat banget MTK Peminatan.” Novan menggaruk rambutnya. Matematika yang biasa saja dia sudah eneng mengerjakannya, apalagi Matematika Peminatan yang jauh lebih susah.            “Makanya, aku minta tolong kamu. Mana aku kan IPS, nggak ada mapel itu.”            “Ya udah deh, kamu kirim aja ke aku nggak apa. Kamu kerjain yang kamu bisa aja.”            “Oke bentar ya. Aku kirim lewat chat.”            “Oke.” Telpon di matikan. Tak lama, ada notifikasi chat masuk dari Karyo. Ia mengirimkan soal yang sudah ia rangkum dalam PDF. Novan membaca soal itu satu persatu dan geleng- geleng. Ah, ini mah nggak bisa dia kerjakan sendiri. Sepertinya dia butuh bantuan Stevan. *****            “Ya, hallo. Ada apa Van kamu telpon aku malem- malem gini?” Tanya Stevan di ujung sana. Hening. Tidak ada jawaban dari Novan.            “Woi Van? Kenapa kamu? Hei? Halo? Ada orang di sana?” Tanya Stevan panik. Tidak ada jawaban juga, yang terdengar hanya suara helaan napas pendek. “Woi Van? Kenapa kamu telpon aku jam segini hah? Jangan bikin aku panik dong! Kamu ini!”            “Stevan …” Terdengar panggilan lirih di ujung sana. “Tolong … tolong bantu aku …”            “Bantu apa? Kamu kenapa memangnya?” “Aku … aku nggak bisa lagi kerjain tugas ini … kepalaku … kepalaku pusing …” Novan memegang kepalanya. Dia tadi minum obat karena merasa tidak nyaman setelah pingsan. Memang agak terlambat, tapi ia berharap obat ini bisa sedikit menenangkannya. Bukannya dia jadi tenang, kepalanya malah sangat pusing. Sekarang ia hanya bisa terkapar di meja belajar dengan tumpukan kertas yang berserakan.            “Van? Kamu nggak apa? Hei. Kalo sakit kepalanya, kamu mending istirahat dulu aja. Kamu mending itu apa, tiduran dulu atau apalah. Jangan paksa dulu buat lakuin apa gitu.” Novan hanya mangut- mangut di ujung sana. Pandangannya berputar. Ia tidak dapat mendengar suara Stevan sepenuhnya. “Van .. aku tutup ya …” Smartphone Novan meluncur jatuh dari tangannya. Ia memegang kepalanya yang semakin sakit saja rasanya. Wajahnya tenggelam dalam tumpukan kertas di meja.            “Hallo? Van? Hei, Novan!” **** Novan terbelak kaget. Ia memperhatikan sekeliling. Ia melihat dari jendela kalau di luar sudah gelap. Sudah malam rupanya. Apa ia pingsan lagi tadi? Ia tidak sadar, yang ia ingat hanya pandangannya yang memudar perlahan dan … ia terbangun saat hari sudah malam. Kepalanya masih agak berdenyut. “Ah .. HP mana …” Novan meraba meja belajarnya. Tidak ada smartphone di sana. Ia celingak- celinguk dan menemukan smartphone tergeletak di lantai. “Kenapa bisa di sana?” Tanya Novan sambil mengambil smartphone. Ya, sesuai dugaan. Smartphone-nya mati kehabisan baterai. Novan mengambil powerbank dari laci meja dan menyambungkannya ke smartphone. Ia menyalakan smartphone dan tersentak kaget dengan notifikasi yang masuk beruntun. Semuanya dari Stevan. Ah iya juga. Tadi dia sempat telpon Stevan sebelum tidak sadarkan diri. Pasti sekarang Stevan sangat khawatir. Stevan spam chat sampai ratusan notifikasi yang masuk.            Vaan            Ya Tuhan Novan            Tolong balas            Are u okay? Hei? Kamu kenapa? Kamu nggak apa?            Woi! Jawab!            Ya Tuhan, belum mati kan anak ini? Woi jawab woi kalo belom mati (T_T) Novan Hei, jangan ngaco. Aku masih hidup, Sori hp aku habis batre. Aku gak apa. tenang aja. Novan meninggalkan smartphone di atas kasur. Ia membereskan meja belajarnya. Terdengar nada dering yang nyaring dari smartphone. Novan langsung mengangkatnya tanpa melihat nama penelpon. “Hallo, ini sia …”            “Van?! Novan?! Kamu nggak apa kan? Kenapa tadi hah? Kamu tadi mau bilang apa? Kamu kenapa aku panggilin tadi nggak kamu jawab hah?!” Tanya Stevan beruntun. Novan tersentak kaget dengan runtunan pertanyaan itu. “Van, selaw. Aku nggak apa, kan udah aku bilang. Tadi emang smartphone aku mati, rupanya udah habis batre …”            “Bukan itu masalahnya! Kamu tadi kenapa aku panggil kok nggak jawab? Terus kenapa kok kayaknya aku denger ada barang jatuh gitu tadi ha? Kamu nggak apa?”            “Nggak, nggak apa kok. Cuma ya .. aku tadi kayaknya … pingsan lagi …”            “HAH?! APA?! PINGSAN LAGI?!” Teriak Stevan di ujung sana.  Novan menjauhkan smartphone dari telinganya. “Kok bisa hah? Tadi kamu di sekolah juga pingsan kan? Kamu kecapekan atau gimana hah?”            “Iya, tadi di sekolah itu karena ya di kerumuni sama anak perempuan kan … jadi yah kambuh biasa. Terus …”            “Terus?” Tanya Stevan penuh selidik. Novan menghela napas. “Terus … aku tadi minum lagi obatnya … biar makin tenang … eh tapi jadinya kepala aku sakit sampai ya, putar- putar gitu … jadi gitu …”            Hening. Tidak ada suara Stevan di ujung sana. Hanya terdengar helaan napas. “Ya Tuhan …kamu itu … kenapa kayak begitu … ITU NAMANYA UDAH HAMPIR OVERDOSE TAU GAK?! BUKAN GITU MINUM OBATNYA! ITU TUH OBAT, BUKAN PERMEN YANG BISA DI MAKAN SEENAK JIDAT!” Omel Stevan dengan nada tinggi. “UNTUNG KAGAK LEWAT ELU!”            “Ya kan aku kira bisa bikn lebih tenang …”            “Tapi gak gitu! Itu udah sesuai dosis! Jangan kamu lebih- lebihin! KAMU MAU MATI HAH?! NGGAK KAN? JANGAN BOSAN HIDUP, LU TUH MASIH BISA SEMBUH! YA TUHAN … Pengen gue geplak kepala lu memang!”            Novan nyengir lebar. “Heh! Lu nggak usah nyengar- nyengir! Udah hampir copot jantung aku tuh, gila lu ya memang.”            “Tapi sebenarnya aku telpon kamu bukan buat bilang kalo aku pingsan sih, tapi ada keperluan lain …”            “Keperluan apa tuh?”            “Anu … ini soal tugas aku sih ya …”            “Oh, ada yang kamu nggak ngerti?”            “Hehehe …iya … hehe … biasalah ya …”            “Ya udah, kamu kirim aja deh tugasnya. Nanti aku bantuin kerjain sebisaku. Kamu juga jangan terlalu forsir ya buat belajar, jangan lupa istirahat. Udah makan malam belum? Kalau belum, langsung makan malam habis ini ya. Terus tidur juga langsung. JANGAN SEMBARANGAN MINUM OBAT LAGI YA. Denger?” Stevan menceramahinya. Novan mangut- mangut. “Iya iya, maaf. Nggak lagi deh. Aku kirim tugasnya ke kamu ya. Lewat chat nggak apa?”            “Nggak apa. Ingat ya, habis ini langsung makan, terus tidur! Jangan begadang!”            “Iya iya … ya udah, aku kirim sekarang ya. Aku tutup dulu. Bye Van, makasih.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN