Bab 41

1365 Kata
      “Kalian kemana aja?” Tanya Kirana begitu melihat Karyo dan Novan menghampiri mereka.            “Sori, sori. Tadi .. ke toilet dulu ..” Jawab Karyo.            “Ke toilet berdua? Kok kayak anak cewek aja,” timpal Gisel. oik            “Nggak, nggak barengan. Tadi kebetulan ketemu waktu keluar dari toilet …” Jawab Karyo ngeles. Ia menyikut Novan. Novan hanya mangut- mangut.            “Aneh,” gumam Gisel. Karyo dan Novan saling bertukar pandang.            “Udah deh terserah. Yang penting semua udah di sini kan? Nih.” Kirana membagikan satu persatu kotak risol. “Oh ya, Gisel, Dewi, Thalita, Fio, Karyo, kalian minta maaf sama Novan soal semalam,” pinta Kirana.            “Lah? Kok aku juga? Kan aku nggak ikutan,” protes Fio.            “Semua minta maaf sama Novan! Mungkin kita ada salah yang nggak di sengaja ke dia,” ujar Kirana. Fio berdecak kesal.            “Maafin kami ya Novan,”ujar mereka serempak. Novan gelagapan. Ia hanya mangut- mangut.            “Eng … udah .. nggak apa kok ... udah aku maafin .. udah, udah! Kalian jangan bungkuk gitu hei!” Pinta Novan. Wajahnya tersipu malu karena seisi kantin melirik mereka sambil bisik- bisik. Mereka bangkit bersamaan.            “Ya udah yuk, kita balik jualan lagi. Kita ganti tugas ya, yang di kelas 11 itu Karyo dan Novan, sama aku juga. Gisel dan Fio, kalian di kelas 12. Dewi dan Thalita masih sama ya, di kelas 10.” Kirana memberikan perintah.            “Eh? Kok kami di kelas 12?” Protes Gisel.            “Gantian bentar sama si Novan. Kan kemarin habis dia di gangguin sama kakak kelas, kasian,” jawab Kirana.            “Tapi …”            “Kalau memang mau ganti tugas, tuh coba minta sama Karyo dan Novan aja langsung.” Kirana menunjuk Karyo dan Novan yang berdiri di sebelahnya. Gisel menatap mereka penuh harap.            “Duh, sori nih. Tapi ini kasian si Novan, udah kemakan setengah energi dia sama kakak kelas itu,” jawab Karyo. Gisel memanyunkan bibirnya.            “Ya udahlah.”            “Udah, nggak apa Sel. Berdoa aja semoga kamu nggak ketemu sama abang itu,” goda Kirana.            “Heh, abang mana itu hah? Nggak ada abang- abang! Ayo Fi!” Kirana menarik tangan Fio. Ia pergi meninggalkan mereka. Ia mendengus sebal sepanjang jalan.            “Ya udah, kita juga pergi yuk. Sebelum jam istirahat habis.” ****            Novan dan Karyo kebagian menjajakan jualannya di kelas 11 IPS, sedangkan Kirana di kelas 11 IPA. Novan mengira dia akan sedikit tenang di lingkungan kelas 11, tapi ternyata ia salah. Mereka malah lebih bawel dan lebih bar- bar daripada kakak kelas. Mereka beramai- ramai menghampiri Novan.            “Eh, ini Novan kan? Anak baru di kelas MIPA 2 itu kan?!” Tanya seorang anak perempuan yang rambutnya di kepang ekor kuda. Karyo mengangguk. Novan sembunyi di belakang Karyo.            “Hai, kenalin! Aku Syintia, dari kelas MIPA 4!” Seorang anak perempuan berbadan mungil menghampiri mereka. Ia menyodorkan jabatan tangan. Anak perempuan lain menyerobotinya.            “Aku Cilla! Aku di kelas IIS 3, kelasnya di sebelah kamu!”            “Aku Kalila, dari kelas IIS 1!”            “Van, tau aku nggak? Aku Kesya, sekelas sama kamu juga. Tapi aku duduk paling depan.”            “Ih, yang sekelas nanti aja dong kenalannya! Kan bisa di kelas!”            “Tapi nggak sempet kalo mau kenalan di kelas…”            “Hei kenalin, aku Sheila dari kelas IIS 1”            “Heh, kamu dari IPA ngapain ke daerah anak IPS hah?! Sana sana!”            “Ih biarin! Momen langka ini! Kalian kan anak IPA bisa ketemu kapan aja!”            “Apanya yang bisa ketemu kapan aja! Kami aja baru ini jumpa dia! Tuh anak sekelas dia tuh yang bisa kapan aja!”            “Ih! Sirik aja lu! Kalo di kelas nggak bisa tahu kenalan sama dia, tau- tau anaknya udah raib aja!”            “Dih! Kan bisa kenalan waktu jam pelajaran! Sana, sana! Biarin kami yang beda kelas ini kenalan sama dia!”            “Nggak, aku yang mau kenalan sama dia! Kasihani anak IPA yang jauh- jauh kemari!”            “Apanya yang jauh?! Kan kelas kalian cuma di ujung sana! Masih satu lorong juga!”            “Ya kan tapi dari ujung ke ujung juga!”            Suasana mulai ricuh. Mereka saling sikut satu sama lain, saling berdebat hanya untuk kenalan dengan Novan, yang sedaritadi masih sembunyi di balik punggung Karyo. Karyo malah kewalahan menghadapi mereka.            “Heh! Heh! Udah! Jangan ada yang berantem! HEY!” Karyo berusaha menengahi mereka, tapi gagal. Mereka masih saling sikut dan tak sengaja Karyo terkena sikutan mereka hingga pipinya merah.            “WOI! BERHENTI DI BILANGIN!” Bentak Karyo membahana sampai ke ujung lorong. Gerombolan cewek- cewek yang saling sikut itu berhenti. Semua mata tertuju pada Karyo. “Kalian apa hah sampai berantam gitu cuma buat kenalan sama Novan hah?! Kan dia cowok biasa juga, mending kenalan sama aku aja sini!”            “Ye! Ngapain juga kenalan sama elu Yo. Beda jauh elu sama dia!” Timpal seorang anak perempuan, yang di ikuti oleh anggukan yang lain.            “Iyalah! Nggak bisa di bandingin. Udah jelas cakepan dia kemana- mana daripada kau.” Karyo berdecak kesal.            “Ini cewek- cewek emang mulutnya pedes banget ye,” gumam Karyo. “Gini dah. Yang mau kenalan sama Novan, beli dulu nih dagangan kami. Kalo kalian mau beli, baru kalian boleh kenalan sama dia!” Karyo menunjuk Novan yang sembunyi di belakangnya. Novan terbelak kaget. Ia menyikut Karyo.            “Eh Yo, kok gitu …” Gerutu Novan sambil berbisik.            “Udah, biarin aja dulu,” balas Karyo. “Baris dulu kalian, baris! Baru boleh kenalan sama si Novan nih!”            Seketika gerombolan cewek- cewek yang tadinya rusuh langsung berbaris rapi di depan Karyo. Suasana yang ricuh seketika menjadi damai.            “Yuk baris- baris, risol ayam sayurnya kakak. Murah murah, tiga biji lima ribu aja kakak.” Karyo menjajakan seperti pedagang di pasar.            “Dih, mahal banget sih. Diskon kek, seribu satu ya?” Timpal seorang cewek yang memakai scraf.            “Nggak bisa kak, ini udah mentok harganya. Nggak ada diskon. Tapi ini di jamin enak kok, nih cobain deh satu buat tester.” Karyo memberikan satu risol kepadanya. Ia menerimanya dan memakannya sesuap. Ia mangut- mangut.            “Hem, memang enak sih daripada yang biasa di kantin. Ini kayak yang di jual di bakery gitu,” gumamnya. Karyo menyinggungkan senyum kecil dan mengangguk.            “Ya, memang kak. Ini home made, buatan rumah. Fresh kak, bahan- bahannya juga kualitas punya.” Karyo mengacungkan jempol.            “Hem, ya udah. Boleh deh. Kalo gitu aku beli 3 ya.” Karyo dengan cekatan memasukkan 3 bji risol ke dalam plastik dan memberikannya pada cewek itu.            “Makasih ya kak, silakan ke sebelah buat kenalan sama Novan.”            Cewek itu menyinggungkan senyum girang. Ia segera pergi ke sebelah Karyo, dimana Novan berdiri di sana dengan tatapan mata yang kosong dan keringat dingin yang mulai mengucur di jidatnya.            “Hai, halo. Namaku Sheila, dari IIS 1.” Cewek itu memperkenalkan dirinya. Novan hanya mengangguk pelan dan tidak membalas jabatan tangannya. Ia malah menyembunyikan tangannya di balik punggung sambil terus mengusap tangannya yang berkeringat.            “Udah? Udahan kenalannya? Minggir sana, aku juga mau kenalan sama dia!”            Cewek bernama Sheila itu berdecak kesal saat seorang cewek di belakang menolaknya. Sheila bersungut kesal. Cewek di belakangnya tersenyum manis.            “Halo, aku Syintia, dari MIPA 4. Kelas kita nggak jauh loh, kapan- kapan main ke kelasku ya,” ajak cewek bernama Syintia itu. Lagi, Novan hanya mangut- mangut dan tidak membalas jabatan tangan Syintia. Ia menggenggam tangannya erat. Satu perempuan lewat, dua perempuan lewat .. gumam Novan dalam hati.            “Minggir, minggir! Aku mau kenalan woi!” Seorang cewek di belakang Syintia mendorongnya hingga nyaris terjungkal.            “Eh, kamu! Jangan kasar gitu kenapa?! Hampir jatuh aku!” Protes Syintia.            “Dih, lebay banget. Kan aku dorongnya pelan, badan kamu aja tuh lemah banget. Letoy. Tolak dikit udah jatuh!”            “Apa lu bilang hah?!”            Kericuhan kembali terjadi, kali ini lebih parah. Mereka berdua saling dorong dan saling bentak. Beberapa anak yang ada di sana mencoba merelai. Suasana semakin riuh, keduanya tak saling mengalah dan meminta maaf. Novan hanya bisa menonton pemandangan itu. Suara- suara ribut itu membuatnya pusing. Pandangannya mulai berputar- putar.            “Novan!!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN