Bab 43

1071 Kata
      Novan menuruti Stevan. Setelah dia mengirim tugasnya pada Stevan, ia memilih turun untuk makan malam bersama. Suasana makan malam kali ini agak canggung, hanya ada dia dan kedua orangtuanya. Mikel demam dan sedang tidur di kamar. Ia sudah makan malam tadi sore.            “Karena kamu kasih jajan sembarangan, makanya jadi sakit adik kamu. Udah tau anaknya badannya nggak sekuat kamu, malah di kasih banyak jajan,” omel papa Novan di tengah makan malam. Novan hanya mangut- mangut sambil makan. Apapun yang terjadi, pasti dia juga ketiban salah.            “Kamu iya iya aja, tapi nggak di dengerin,” gerutu papa Novan.            “Iya pa.”            “Kan, kamu iya iya aja. Jangan cuma denger, di lakuin juga!”              Novan mengerlingkan matanya. Ah, dia memang tidak pernah di mata papa. Ia berdecak kesal. Papa meliriknya dengan tatapan tajam. Novan menghabiskan makanannya dengan cepat, lalu langsung menaruh piring kotor di westafel.            “Aku udah selesai.”            Novan menaiki tangga menuju kamarnya. Ia masuk ke kamar dan mengunci pintu. Dia melempar badannya ke kasur dan langsung duduk begitu ingat kalau ia baru selesai makan.            “Mikel terus .. kalau Mikel sakit langsung di peduliin.” Novan menghela napas panjang. Ia memutar- mutar kursi dan membuka laci meja. Ada satu strip obat di dalam sana.            “Kalau aku bilang aku sakit, pasti mereka bakal bilang aku gila.”            Novan mengambil beberapa kertas kosong di sana dan menutup lacinya dengan kencang. Ah sudahlah. Lebih baik dia mengerjakan tugas jokinya sebagian. Ia sudah memberikan setengah soal kepada Stevan.            Waktu terus bergulir. Novan tenggelam dalam kumpulan soal yang sedang ia kerjakan. Smartphone miliknya bergetar, menunjukkan ada notifikasi masuk dari … Stevan. Stevan Hei Ini udah aku kerjain sedikit, sebisaku ya. *picture* Sisanya aku buat besok lagi. Kapan kumpulnya nih? Novan Ok, thanks. Minggu depan, kayaknya. Kurang lebih gitu. Sisanya biar aku kerjain aja. gak apa. Stevan HEH KOK BELUM TIDUR ELU HAH?! UDAH JAM SEGINI. UDAH TENGAH MALEM. TIDUR! MATIIN HP LU. TIDUR! BESOK AJA KERJAIN TUGASNYA LAGI. TIDUR SANA! Novan Y. Bye.            Yah, memang sudah tengah malam sih. Sudah jam 12 pagi. Ia menutup buku dan merapikan kembali tumpukan kertas coretan di atas meja. Ia mematikan lampu kamarnya dan menyalakan lampu tidur. Lebih baik dia tidur sekarang. ****            Novan mengerjapkan matanya. Ia memperhatikan sekitar. Ia berada di sebuah rumah yang tampak tidak asing. Rumah ini tidak besar, rumah 1 lantai dengan 2 kamar di dalamnya. Saat ini dia sedang duduk di ruang tamu. Terdengar suara ribut- ribut di ujung sana. Novan menghampiri sumber suara.            “Van, mana si Novan?” Tanya seorang perempuan paruh baya dengan rambut yang di ikat ekor kuda. Ia memakai celemek dan sibuk memasak di dapur.            “Gak tau. Aku kan juga baru balik,” jawab seorang remaja. Novan terbelak kaget. Itu Stevan waktu remaja. “Nih titipan.”            “Kamu ini. Coba tengok dulu itu adekmu. Nanti malah dia kelayapan keluar pula. Masih sakit dia itu. Tengok dulu,” pinta wanita itu. Stevan berdecak kesal.            “Ih, kok asik aku- aku aja bah yang di suruh,” gerutu Stevan.            “Ya udah, gak ada uang jajan ya seminggu,” ujar perempuan itu.            “Eh, jangan dong. Iya iya, ini aku tengok si Novan dulu ya.” Stevan membalikkan badannya dan berhenti saat melihatku berdiri tepat di belakangnya.            “Stevan?”            “Eh, ini dia rupanya. Mah, ini dia si Novan mah.” Stevan merangkul tangan Novan. Novan melihat Stevan dari atas sampai bawah. Stevan jauh lebih tinggi darinya, padahal harusnya ia yang lebih tinggi daripada Stevan.            “Van? Kok kamu lebih tinggi daripada aku? Terus … kamu kok jadi lebih muda? Bukannya kamu … udah tua ya?” Stevan terbelak kaget mendengar pertanyaan Novan.            “Heh! Enak aja! Aku masih muda tau! Buat KTP aja belom!” Stevan berkacak pinggang. “Kamu pikir umurku itu udah hampir 30-an apa hah?!”            “Ya kan … memang gitu kan …” Stevan membelak lebar, sedangkan perempuan yang mencuri dengar percakapan itu menahan tawa.            “Heh, mamah itu yang kayak gitu! Nih, udah jadi orangtua paruh baya yang jompo!” Stevan menunjuk ke arah perempuan di sebelahnya. Perempuan itu menjewer kupingnya.            “Heh! Dasar kamu! Aku belum jompo ya!” Gerutu perempuan itu. Stevan meringis kesakitan. “Kamu ini, memang asal nyeplos aja kalau ngomong!”            “Ampun! Iya iya nggak .. mama cantik dan baik pokoknya!” Rayu Stevan. Perempuan itu tersenyum kecil dan melepaskan jewerannya.            “Nah. Anak baik memang.” Perempuan itu menghampiri Novan. Tampak jelas wajahnya yang cantik, dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya. Wajah campurannya dengan mata abu- abu agak gelap mempercantik dirinya. “Kamu udah gak apa Van?” Ia memegang kening Novan. “Oh iya, udah nggak apa. Udah turun panasnya.”            Novan terbelak kaget. Ia mundur perlahan dan menepis tangannya. “Kamu siapa?”            Stevan dan perempuan itu terbelak kaget. Mereka saling menatap satu sama lain. Stevan mengangkat bahunya.            “Kamu kok bilang gitu? Kan ini mama nak, mamanya Novan,” jawab perempuan itu. Novan mengernyitkan alis.            “Hah? Mama?”            “Wah, masih sakit kayaknya ini mah. Makin parah kayaknya, jadi amnesia dia,” timpal Stevan.            “Pasti bercanda dia mah. Kan sering begitu, biasanya kamu yang suruh kayak gitu.” Perempuan yang mengaku mama Novan melirik tajam Stevan. Stevan geleng- geleng.            “Engga mah, sumpah deh. Aku nggak ada tuh suruh dia becanda kayak gitu. Dia aja bilang aku tua, ngapain aku suruh dia ngatain aku coba.” Stevan membela dirinya. Mamah Novan mangut- mangut.            “Benar juga ya kamu. Kamu nggak apa Van? Masih sakit ya?”            Novan geleng- geleng kepala. “Aku … aku nggak apa kok …”            “Kayaknya nih anak kejedot dimana deh mah, jadinya dia lupa ingatan gitu,” tukas Stevan.            “Ih, kamu mah. Mana ada yang kayak gitu! Ngaco!”            “Ya kali aja kan mah … nggak mungkin dia kan tiba- tiba lupa sama mamahnya sendiri, tapi masa dia inget samaku? Kan aneh toh?!”            “Iya sih ..”            Perempuan itu menatap Novan lamat- lamat. Ia bolak- balik menaruh tangannya di kening Novan, lalu meraba- raba leher dan lengan Novan. Novan merasa risih dan menepis tangannya.            “Heh, apa sih?! Kamu kenapa sentuh sentuh aku hah?! Ih! Kamu memangnya mamah aku hah?!” Perempuan itu terbelak kaget dan menjewer kuping Novan.            “Kamu ini! Makin ngaco ya ngomongnya! Masa ngomong begitu ke orangtua hah?! Ini udah sembuh sakit malah makin ngaco dah ngomongnya!” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN