Bab 65

1762 Kata
      Novan menguap lebar, sedangkan pak Galih masih dengan semangat menjelaskan materi Sejarah kerajaan Hindu di Indonesia di depan kelas. Ia tidak membenci pelajaran ini, hanya saja cara pak Galih menjelaskan ini seperti mendongeng. Novan memperhatikan sekeliling. Beberapa dari teman sekelasnya yang duduk di belakang sudah jatuh tertidur, sedangkan yang duduk di depan sudah terkantuk- kantuk. Novan sempat kepikiran untuk merekam suara pak Galih saat mengajar dan akan dia dengarkan sebelum tidur. Dia berani jamin, pasti ia bisa tidur nyenyak. Mungkin dia bisa gunakan metode ini saat ujian nanti kali ya?            Novan melirik Andi yang pindah duduk ke paling depan. Hanya dia yang masih tampak sangat segar di bandingkan yang lain. Sedangkan Gilang yang duduk di depannya sudah menguap kesekian kalinya.            “Van,” panggil Gilang setengah berbisik. Novan menoleh. “Aku mau tidur, nanti bangunin aku ya,” pinta Gilang.            “Nggak janji ya, kalau aku nggak ketiduran juga,” jawab Novan. Ah, dia sendiri berusaha menahan kantuk. Dia tidak pernah tidur di tengah jam pelajaran, menurutnya itu tidak sopan dan tidak menghargai guru yang mengajar.            “Iya, iya, terserahlah.” Ia menguap lebar dan menenggelamkan wajahnya di kedua lengannya. “Enaknya duduk di belakang bisa tidur,” gumamnya.            “Emang nggak pernah duduk di belakang?” Tanya Novan.            “Pernah, dulu. Waktu awal masuk duduk di belakang, terus waktu di rombak dapat kursi di belakang. Walkel kita nggak kasih aku duduk di belakang lagi karena katanya selalu buat ribut,” jelas Gilang. Yah, memang tidak salah sih. Hari ini dia tukaran tempat dengan Andi dan Novan sudah bisa merasakan keributan yang di buat oleh Gilang di setiap jam pelajaran. Pantas saja wali kelas tidak mengizinkannya.            “Kamu kalo mau tidur mah tidur aja Van. Palingan nanti juga si Andi bangunin.” Novan melirik Andi yang dengan penuh semangat mendengar penjelasan pak Galih.            “Tuh si Andi hebat ya nggak ngantuk dengarnya. Malah makin semangat,” gumam Novan.            “Ya iyalah, kan pak Galih itu bapaknya,” timpal Gilang. Novan terbelak kaget.            “Hah? Bapaknya? Andi anaknya pak Galih?” Tanya Novan tak percaya. Gilang mengangguk pelan.                    “Susah di percaya karena mereka berdua nggak mirip kan kelihatannya, tapi ya mereka berdua  memang anak dan bapak kandung. Kami juga baru tahu waktu si Iwan ngintip dari raportnya si Andi,” Gilang menjelaskan.            “Kalian kayak anak SD aja, liat nama orangtua dari raport.” Gilang mengedikkan bahunya.            “Biasalah emang si Iwan kayak gitu anaknya. Mungkin karena itu dia tuh paling semangat kalau udah pelajaran Sejarah, paling perhatiin pokoknya.” Novan mangut- mangut.            “Ya, kalo dia ketahuan tidur di kelas kan palingan di tegur atau di omelin. Double lagi, di omelin di sekolah, nanti di rumah bisa aja di ungkit juga.”            “Bener juga sih ya. Tapi kebayang nggak sih, kalau pak Galih ngomel gimana? Apa sama aja kayak sekarang, mendayu- dayu kayak mendongeng gini?” Gilang dan Novan terdiam sesaat. Hem, ia tidak bisa membayangkan seperti apa jika pak Galih mengomel. Kalau sama seperti sekarang, rasanya tidak menakutkan, malahan dia akan terkantuk- kantuk jadinya. Novan tertawa kecil membayangkan Andi yang malah tertidur sedangkan pak Galih terus mengomel.            “Nggak bisa aku bayangin sih,” gumam Gilang, yang di balas dengan anggukan oleh Novan.            “Kayaknya aku kalo jadi Andi bakalan denger sambil ngantuk gitu dah, terus ketiduran di tempat,” timpal Novan. Gilang mengangguk setuju. Mereka berdua melirik Andi.            “Kuat banget si Andi ya,” gumam mereka berdua serempak. Mereka berdua menguap lebar dan akhirnya menenggelamkan wajah di kedua lengan mereka. Maafkan Novan ya pak Galih, bukan bermaksud tidak sopan dan tidak menghargai, tapi rasa kantuknya tidak tertahankan. ****            “Woi! Van, bangun woi!” Seseorang mengguncangkan pundaknya dengan kencang. Novan mengerjapkan matanya perlahan. Tampak Andi dan Gilang berdiri di sebelahnya.            “Bangun wei!” Andi kembali mengguncangkan pundaknya. Novan mendongak dan dan memperhatikan sekelilingnya dengan setengah sadar.            “Kok sepi? Pada kemana?” Tanya Novan sambil mengucek matanya. Ia menguap lebar.            “Udah pulang,” jawab Gilang. Novan menutup mulutnya dan terbelak kaget. Ia melirik Andi dan Gilang serta jam dinding bergantian. Ia baru sadar kalau Andi dan Gilang sudah menenteng tasnya.            “Hah? Udah pulang?!” Tanya Novan kaget. Mereka berdua mengangguk bersamaan. Novan menenteng tasnya. “Kalian kok nggak bangunin sih. Ya ampun, berapa lama aku tidur..” Gerutu Novan.            “Heh! Enak aja! Kami udah bangunin kamu berkali- kali, kamunya aja memang yang ngebo!” Balas Gilang yang di sahuti dengan anggukan Andi.            “Kamu udah tidur dari jamnya pak Galih. Tadinya aku bangunin kalian berdua, tapi yang bangun cuma si Gilang aja. Udah coba bangunin, tapi kamu tidurnya kayak orang mati. Nggak gerak, nyenyak banget. Jadi ya udahlah aku biarin aja.”            “Terus guru mapel selanjutnya nggak ada marahin gitu?” Tanya Novan.            “Yah aku bilang aja kamu tidur karena lagi kurang enak badan. Tadi ada di suruh ke UKS aja sama bu Dewi, tapi aku bilang kamu nggak sanggup jalan, jadi ya udah di izinin sama beliau kamu tidur di kelas,” jawab Gilang. Novan menepuk jidatnya. Ya ampun, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Oke, dia sangat kapok begadang dan banyak minum kopi. Dia tidak akan mengulangi hal ini lagi. Tidak akan.            “Thanks, maaf ya ngerepotin kalian. Untung aja kalian nggak kena omel juga sama guru,” ujar Novan.            “Ah, nggak apa. Santai aja mah, udah biasa di omelin,” ujar Gilang.            “Jangan kebiasaan dah Lang, nanti nilai kamu tuh jadi ancamannya.” Andi memperingatkan.            “Tenang aja tenang, aman kok. Kamu nggak pernah lihat kan aku keluar dari 10 besar? Amanlah itu.”            “Hah? Gilang masuk rangking 10 besar?” Tanya Novan tak percaya. Bagaimana ia bisa percaya, kalau ia selama ini tidak pernah melihatnya serius memperhatikan pelajaran? Ia juga bukan anak yang suka belajar dan kalau ada PR lebih sering nyontek.            “Susah di percaya, tapi dia itu sangat jarang keluar dari rangking parallel juga. Kalau di rangking parallel kelas 11, dia masuk 10 besar juga. Kalau rangking parallel satu sekolah, dia masih masuklah di 20 besar,” jelas Andi.            “Hem, 15 besar sih yang bener. Terus kamu tahu nggak siapa yang masuk rangking 5 besar parallel?” Tanya Gilang.            “Siapa?” Gilang menunjuk Andi dengan dagunya.            “Nih anak, nggak pernah keluar dari rangking 5 besar!” Gilang merangkul Andi. “Ini rival aku nih kalau udah soal rangking. Pengen banget depak ini anak dari rangking 1 di kelas, tapi nggak bisa mulu. Anaknya kelewat cair keknya otaknya.” Gilang mengacak- acak rambut Andi. Andi berdecak kesal dan menepis tangan Gilang.            “Ck! Lebih cair lagi otak si Valdi tuh! Nggak pernah terdepak dari rangking 1 paralel!” Ujar Andi sambil merapikan rambutnya. Novan melongo.            “Valdi sih udah nggak usah heran lagi sih. Kan dia professor,” celetuk Gilang.            “Oh, pantesan ya dia bisa jadi Ketua OSIS,” gumam Novan.            “Ya, memang. Dia di pilih secara langsung sama guru- guru dan kepala sekolah, pokoknya udah nggak bisa ada yang ngalahin dia di pemilihan ketua OSIS dulu. Udah menang telak dia pokoknya,” timpal Gilang.            Novan agak kaget dan tidak menyangka ternyata teman- teman barunya ini anak- anak yang pintar. Baiklah, mereka tidak hanya sekedar teman sekarang, tapi juga rivalnya di rangking rapot ke depannya. Ia harus bisa menyeimbangi ataupun mendahului mereka. Novan mengepalkan tangannya dan merasakan aliran semangat di dirinya.            Tidak ada lagi tidur di kelas! Tidak ada lagi begadang! Dia bakal memperhatikan pelajaran dengan serius. Ya, harus semangat! ****            “Lama.” Gerutu Stevan di depan gerbang. Wajahnya tampak masam. Ia berdiri di depan gerbang sambil berkacak pinggang.            “Sori, sori, tadi aku piket dulu,” jawab Novan bohong. Kalau dia bilang dia ketiduran, pasti Stevan akan mengomelinya panjang lebar. Ia tadi juga sempat menyinggung soal jadwal piket dengan Andi dan dia bilang kalau wali kelas yang bakal rombak jadwal piketnya. Mungkin minggu depan dia sudah dapat giliran.            Stevan berdecak kesal. “Ya udah, masuk cepat!” Stevan membuka kunci mobilnya dan duduk di kursi kemudi. Novan ikut masuk ke dalam. Stevan memutar kunci mobil dan menekan pedal gas, meninggalkan lingkungan sekolah.            Tadinya ia masih membawa mobil ini dengan kecepatan sedang, seperti biasa. Tapi begitu mereka keluar dari lingkungan sekolah dan tiba di jalanan yang lumayan sepi, Stevan membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Novan tersentak kaget dan hanya bisa duduk meringkuk sambil berpegangan pada hand grip.            “Van, Van, heh, jangan ngebut gila- gilaan gini hei!” Pinta Novan. Stevan tidak mendengarnya. Ia malah semakin kencang membawa mobilnya.            “Van! Tobat woi Van! Heh! Stevan!”            Stevan tidak memperdulikan segala gerutuan Novan. Ia malah semakin gila- gilaan membawa mobil di tengah jalanan yang sepi, sampai            “STEVAN! AWAS! DI DEPAN!”            “Hah? Heh?”            Stevan tersentak kaget saat melihat di depan seorang kakek yang sedang menyebrang jalan di depan sana. Sontak Stevan menekan rem dan mobil berhenti mendadak, menimbulkan suara decitan. Kakek yang sedang menyebrang jalan hanya bisa melongo melihat jaraknya dengan mobil yang sangat dekat. Napas Stevan memburu. Novan menghela napas lega.            “Van, makanya bawanya pelan- pelan a…” Omelan Novan berhenti saat melihat Stevan melepas seat belt dan keluar dari mobil. Novan mengekori Stevan.            “Maaf kek, kakek nggak apa- apa kan?” Tanya Stevan menghampiri kakek yang masih terdiam di tempat. Stevan menepuk pelan pundak si kakek. Kakek itu tersentak kaget dan tersadar.            “Hah! Ya ampun, saya kira ini bakalan jadi hari terakhir saya,” gumam si kakek. Ia menghela napas panjang. Ia menatap Stevan tajam. “Kamu ini anak muda, malah ugal- ugalan bawa mobil! Untung aja nggak ada yang luka di sini! Untung aja saya baik- baik aja! Kalau saya sampai luka parah saya tuntut kamu!” Kakek itu mengomel Stevan. Stevan hanya mangut- mangut.            “Iya maaf kek, saya … maaf kek, saya nggak sadar …” Kakek itu mendengus kesal.            “Memang ini anak muda, entah apa kencang kali bawa mobil. Udahlah sana, balik aja sana! Jangan kencang- kencang lagi bawa mobil tuh!”            “Kakek nggak mau saya antar ke tempat tujuan? Biar saya antarin …” Stevan menawarkan. Kakek itu menggeleng.            “Nggak usah, nggak usah. Nanti saya di culik lagi sama kamu, di jadiin sandera terus di minta tembusan. Nggak, nggak usah!” Tolak kakek itu. Ia mengacungkan tongkatnya. “Udah sana, pergi kalian! Saya nggak mau lihat kalian lagi!”            “Kalau gitu, kami permisi ya kek.” Stevan sedikit membungkukkan badannya dan menarikku masuk ke dalam mobil. Ia menunggu sampai kakek itu menyebrang, baru kembali menyalakan mesin mobil.            “Pelan- pelan aja Van.”            Stevan mengangguk. “Iya, maaf.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN