BAB 66

1323 Kata
      Stevan memutuskan untuk berhenti sebentar di warung tenda pinggir jalan sebelum melanjutkan perjalanan. Dia masih shock akrena tadi nyaris saja menabrak orang lain. Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di warung bakso di temani dengan teh manis hangat. Tak lama kemudian, hujan turun dengan derasnya.            “Ini mas, bakso pesanannya.” Pelayan menaruh dua mangkuk bakso urat di meja mereka.            “Oh ya, makasih ya mas.” Novan mengambil salah satu mangkuk dan menggesernya ke depan Stevan. Hum, bakso dan hujan. Kombinasi yang sangat sempurna untuk menghangatkan diri.            Itu yang di rasakan oleh Novan, tapi tidak dengan Stevan. Novan bisa merasakan hawa dingin dari Stevan. Ia termangu sambil menatap layar smartphone.            “Van, ini baksonya,” ujar Novan. Stevan tidak bergeming. Novan menyikutnya. Stevan tersadar dan melirik Novan.            “Baksonya. Udah sampai. Makan,” ujar Novan. Stevan mangut- mangut dan mengantongi smartphone di saku kemejanya.            “Oh ya, makasih.” Stevan menarik mangkuk bakso ke dekatnya. Ia menggulung lengan kemejanya yang panjang. “Mantep nih.” Stevan mengambil botol cuka dan meneteskan sedikit cuka di sana. Setelah itu dia menuangkan saus sambal sampai mangkuknya tertutupi sepenuhnya dengan saus sambal. Novan geleng- geleng kepala melihatnya.            “Itu mah makan sambel pakek bakso,” gumam Novan. Stevan nyengir. Setelah itu dia menuangkan sedikit kecap, sangat sedikit. Hanya setetes kecap. Stevan hendak mengambil cawan sambal, tapi di cegat oleh Novan.            “Nggak. Kasihani perutmu,” ujar Novan.            “Dikit aja,” mohon Stevan. Novan menggeleng.            “Nggak. Pokoknya engga.” Novan menaruh cawan sambal itu jauh dari Stevan. Stevan merengut.            “Ah, ya udahlah.” Stevan mengaduk saus sambal di mangkuknya sampai kuahnya berubah menjadi merah. Ia menyeruput sedikit kuahnya dan mangut- mangut, lalu lanjut makan.            “Aneh. Kuat perutmu makan kayak gitu ya,” gumam Novan.            “Lebih aneh kamu sih.” Stevan melirik Novan dan menunjuk mangkuknya dengan dagu. “Apa- apaan itu, kuah baksonya udah kayak air comberan,” komentar Stevan. Novan melirik mangkuk baksonya yang sudah berubah warna menjadi coklat kehitaman karena kebanyakan kecap. Ya, biasanya memang seperti itu. Kecap yang banyak dan sedikit sambal.            “Setidaknya ini lebih ramah di perut daripada itu.” Novan menunjuk mangkuk Stevan dengan dagunya.            “Emang ini nggak ramah di perut, tapi ini ramah di diabetes,” balas Stevan. Novan mendengus dan lanjut memakan baksonya. Mereka makan dalam diam. Baru ia makan sesuap, Stevan kembali menatap layar smartphone dengan tatapan nanar.            “Simpan dululah hp itu, lagi makan juga,” ujar Novan. Stevan melirik dan menaruh smartphone di atas meja. Ia lanjut makan sambil melirik layar smartphone. Ia menggoyangkan kakinya.            “Nunggu notifikasi dari siapa sih? Kok kayaknya gelisah gitu?” Tanya Novan. Stevan menggeleng.            “Nggak, bukan kok.” Stevan mengantongi smartphone ke kantung celananya dan lanjut makan. Ia mengunyah lebih lambat dari biasanya, dengan tatapan kosong. Novan memperhatikan tingkah laku Stevan yang tidak biasa ini.            “Kenapa? Ada masalah di kantor?” Tanya Novan. Stevan tidak merespon. Oke, kalau bukan masalah di kantor, mungkin saja …            “Ada masalah sama si doi ya?” Tanya Novan. Stevan terbelak kaget. Ia tersedak mendengarnya dan terbatuk. Novan menyodorkan teh manis hangat padanya. Stevan meminumnya dengan cepat sampai tersisa setengah.            “Argh! Panas!” Gerutu Stevan sambil mengipasi bibirnya dengan tangan.            “Jadi beneran kepikiran si doi nih?” Tanya Novan. Stevan meliriknya dengan tatapan kesal. Ia mengambil sebotol air mineral yang ada di meja dan meminumnya hingga tersisa setengah.            “Eh? Ini beneran karena doi nih, kamu jadi kayak gitu?” Tanya Novan penasaran. Ia menyikut Stevan. Stevan berdecak kesal..            “Iya, karena doi. Kenapa memangnya? Kepo banget sih,” gerutu Stevan.            “Kenapa kalian? Berantem ya? Yaelah, entah apa pun nih orang pacaran asik berantam aja. Kayak yang bener aja sampai jadi jodoh.”            “Heh!” Stevan menatap tajam Novan. “Biasalah itu dalam hubungan kalau ada berantamnya, nggak asik kalau damai terus. Perlu sedikit ribut dulu biar seru.”            “Seru apanya.” Novan mendengus. “Seru memang, bikin orang jadi agak nggak waras. Bawa mobil gila- gilaan, terus makan sambal pake bakso kayak gitu.” Novan melirik ke mangkuk bakso milik Stevan. Stevan menghela napas. Ia bertopang dagu sambil mengaduk baksonya.            “Aku bilang, tadinya aku mau ajak dia nikah,” gumam Stevan. Novan melirik Stevan dengan tatapan tidak percaya.            “Hah? Kamu ajak dia nikah? Beneran?” Stevan mengangguk. Novan mengepalkan kedua tangannya. Ia menepuk punggung Stevan.            “Tapi … dianya nggak mau. Karena dia bilang, dia masih terlalu muda, dan kami juga baru mengenal setahun belakangan ini. Dia juga belum ada cerita tentangku ke orangtuanya, jadi selama ini kami masih backstreet. Dia belum berani cerita soal hubungan kami ke orangtuanya, karena menurutnya ia masih di pandang anak- anak oleh mereka. Orangtuanya juga cukup strict, jadi kami jarang pergi ngedate.” Stevan mengacak rambutnya. “Aku jenuh dengan keadaan yang kayak gini, aku nggak pernah kayak gini sebelumnya dengan mantanku. Kalau kayak begini, aku yang kesusahan buat nahan kangen. Mana dia sekarang lagi hilang- hilangan, katanya mau fokus ujian …” Gumam Stevan lirih.            “Ya udahlah kalau dia memang mau fokus ujian, kan bagus toh itu. Daripada kamu pacaran dengan cewek yang pemalas, b**o pula ..” Komentar Novan.            “Ya, aku maklumin sih kalau dia mau fokus ujian. Memang anaknya juga rajin dan pinter ..”            “Bagus dong, kamu dapat cewek yang kayak gitu. Kan jadi imbang sama kamu gitu.”            “Nggak juga sih, kan aku nggak rajin.” Novan mengernyitkan alis.            “Kamu? Nggak rajin?” Tanya Novan tidak percaya. Jelas dia tidak percaya. Stevan adalah salah satu orang yang paling rajin dan pintar yang pernah dia temui. Meski dia tampak santai, tapi nyatanya dia adalah orang yang paling rajin dan sibuk, juga paling bersih. “Bohong banget sih itu.”            “Lah? Kan aku memang anak yang malas? Aku aja kadang masih nunda kerjaan aku,” ujar Stevan. Novan melongo.            “Jadi menurutmu, nunda pekerjaanmu selama sejam doang itu namanya sering menunda pekerjaan gitu?” Tanya Novan, yang di jawab oleh anggukan oleh Stevan.            “Lah kan harusnya tuh langsung di kerjain gitu, bukannya di biarin dulu.” Oh gosh! “Ah kan karena kamu bilang gitu, aku jadi ingat ada kerjaan yang belum beres. Untung aku bawa juga. Bentar, aku ambil dulu.” Stevan bangkit dari duduk, tapi Novan mencegatnya.            “Habisin dulu makannya, baru kerja,” ujar Novan.            “Bentar, cuma ambil aja kok …” Novan menatapnya tajam. “Hum, okey. Okey. Aku makan dulu. Okey.” Stevan kembali duduk di tempatnya.            “Habisin. Baru kerja. Ingat istirahat, kita bukan robot.” Novan menasihati. Dia tidak hanya menasehati Stevan, tapi juga dirinya sendiri. Mereka berdua tidak berbeda jauh. Stevan duduk dan memakan kembali baksonya yang masih banyak. Novan menatap kosong keluar warung. Hujan masih turun dengan derasnya.            Enak banget sih ini, kalau habis makan bakso langsung tidur. Ah, dirinya rindu dengan kasur yang empuk. Smartphone Novan yang ia taruh di celana bergetar. Novan mengeluarkannya. Ada notifikasi chat dari Karyo. Karyo Van, thanks ya. Tadi katanya anak itu happy karena nilainya tinggi. Jadi seluruh anak kelas 10 nilainya aman. Kayaknya mereka bakal repeat order lagi.            Novan menghela napas lega. Syukurlah, hasil kerja kerasnya semalam tidak sia- sia. Novan mengetik balasan chat untuk Karyo.            “Heh, makan dulu. Simpan dulu tuh hp,” ujar Stevan dengan nada menyindir.            “Iya, bentar.” Novan Syukurlah. Tapi kalau ada repeat order, aku nggak ambil lagi. Yo, jangan kebanyakan ambil joki. Nanti keteteran. Karyo Ah, tenang aja. Asal bisa atur waktu aman kok. Baru terkumpul sikit nih, mana bisa kasih ke Kirana. Kan aku bantuin juga.            “Hpnya Novan, di simpan dulu …” Stevan kembali mengingatkan. Novan berdecak kesal membaca balasan Karyo. Ia menyimpan kembali smartphone di saku celananya.            “Iya iya …”            Novan kembali menikmati bakso. Baru terkumpul sedikit? Alasan macam apa itu? Seharusnya dia memberikan semuanya sejak awal, bukan? Mau sampai kapan dia kumpulin, sedangkan acara ini tinggal menghitung bulan saja? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN