Bab 64

2585 Kata
“Kemana Van?” Tanya Andi setibanya ia di kelas. Ia tiba di kelas bertepatan saat bel masuk terdengar nyaring.            “Ah, ada perlu tadi, ada urusan di toilet,” jawab Novan. Gilang mengernyitkan alis. Ia merangkul Novan.            “Kamu … nggak ada transaksi terlarang di antara kamu kan?” Bisik Gilang. Novan menepis rangkulan Gilang.            “Heh! Enak aja! Aku ini anak baik- baik ya!” Jawab Novan membela dirinya. Gilang mengedikkan bahunya.            “Yah, kali aja kan.. tapi mana mungkin lah ya, kamu ngerokok nggak?” Novan mengeleng. “Oh, oke. Anak baik- baik memang.”            “Memang! Enak aja lu asal ambil kesimpulan!” Novan mendengus kesal.            “Loh loh kenapa nih? Kamu habis sebat di toilet Van?” Andi membelakkan matanya. Novan geleng- geleng.            “Heh! Ya enggaklah! Enak aja, aku bersih ya!” Novan mendengus kesal dan duduk kembali di tempatnya. “Urusan perut tadi, biasalah ya.”            Novan tidak bohong. Memang urusan perut. Ia mampir ke kantin sebentar tadi untuk sarapan sebelum kembali ke kelas.            “Makanya, jangan makan yang pedes. Kan nggak kuat perutnya,” ujar Andi. Novan nyengir lebar.            “Selamat pagi anak- anak …” Seorang guru perempuan masuk ke dalam kelas. Semua kembali duduk di tempat masing- masing.            “Selamat pagi bu Khaira.”            Smartphone Novan menggetarkan mejanya bersamaan dengan salam sekelas serempak. Novan buru- buru mengambil smartphone yang ia taruh di dalam laci. Ada chat masuk dan panggilan tidak terjawab dari Karyo. Novan memilih untuk mematikan smartphone dan memasukkannya ke dalam tas. Nanti saja dia baca chatnya, sekarang belajar lebih penting. ****            Novan meruntuk dalam hati. Oke, sepertinya keputusannya minum bergelas- gelas kopi kemarin itu hal yang salah besar. Sangat salah besar. Perutnya baru terasa sakit sekarang. Ia merutuk badannya yang lambat bereaksi, juga dirinya yang terlalu kalap. Padahal minum secangkir kopi saja perutnya tidak kuat, apalagi sampai 3 cangkir kopi. Kerasukan apa dia kemarin sampai minum sebanyak itu sih?            Novan duduk meringkuk di tempatnya sambil memegang perut. Ini sudah jam istirahat, semua anak pergi keluar kelas, kecuali Novan. Jangankan untuk jalan, untuk berdiri saja dia tidak sanggup.            “Novan! Novan!” Panggil seseorang antusias. Novan berdecak kesal. Ia menarik napas dalam dan melirik sekilas. Karyo melambaikan tangan dan menghampirinya.            “Woi Van! Nggak keluar kelas nih?” Karyo menepuk pelan pundaknya. Novan mengeleng pelan sambil tetap meringkuk memegang perutnya. “Van? Kamu kenapa?” Novan menarik napas dalam dan mengangkat kepalanya. Ia menyinggungkan senyum kecil.            “Nggak, nggak apa kok. Ada apa Yo?” Tanya Novan. Ia berusaha menahan sakit perutnya.            “Bener nggak apa? Kok agak pucat? Terus kamu keringetan gitu …” Tanya Karyo sambil menunjuk wajah Novan.            “Nggak, nggak apa kok. Cuma agak panas kan, AC kelas kami lagi rusak, terus kipas anginnya juga gak guna sih …” Jawab Novan. Ya, memang AC kelas mereka sedang rusak dan kipas angin juga tidak terasa anginnya. Karena itu, teman sekelasnya kebanyakan memilih menghabiskan jam istirahat di perpustakaan. Bukan untuk baca buku, hanya sekedar cari adem saja.            “Iya sih.” Karyo mengibaskan kerah bajunya. “Pantesan aja kelas kalian panas gerah kayak gini. Udah kayak di sauna. Kamu udah tahu kelas panas gini, kenapa nggak keluar kelas? Terpanggang kamu di dalam sini!” Novan tersenyum kecil. Ia merutuk dalam hati. Ya kalau dia sanggup jalan, dia juga milih untuk keluar kelas. Kelasnya dengan sauna udah nggak ada bedanya lagi.            Perut Novan terasa seperti di blender. Sakit berputar- putar yang tak bisa ia jelaskan dengan kata- kata. Novan kembali meringkuk dan memegang perutnya. Ia menelan ludah. Gawat, perutnya semakin parah. Sepertinya ia mau mengeluarkan isi dalamnya dengan brutal. Novan bangkit dari duduk sambil memegang perutnya.            “Loh? Mau ke mana Van?” Karyo ikut bangkit dari duduk. Novan jalan tertatih sambil meringkuk.            “Toilet…” Jawab Novan lirih.            KRRRUUUKKK.            Novan memegang perutnya dengan kencang. Gawat, ini hampir keluar! Ia berlari sekencang- kencangnya ke toilet. Jangan sampai keluar duluan, please, tahan dulu sebentar! *****            Novan nangkring di dalam bilik toilet. Ia merasa setengah jiwanya sudah melayang. Buang hajat kali ini seperti memeras sari- sari kehidupannya. Oke, dia sudah kapok minum kopi. Mungkin dia tidak akan minum kopi sampai waktu yang lama. Novan terduduk lemas di toilet sekolah. Hanya buang hajat, tapi menghabiskan seluruh tenaganya.            Novan keluar dari bilik sambil menghela napas lega. Perutnya sudah lumayan membaik sekarang. Mungkin ia bakal ke UKS untuk minta minyak kayu putih, atau obat sakit perut kalau memang ada. Novan keluar dari toilet dan tersentak kaget saat melihat Karyo berdiri tak jauh dari sana.            “Lama amat sih!” Gerutu Karyo.            “Lah, kamu juga ngapain nunggu di sini?” Tanya Novan.            “Ya kan aku khawatir gitu kenapa- kenapa. Malah tadi kamu pucat gitu, terus pergi ke toilet. Tadi aku mau masuk, tapi bunyi plang plung broot kenceng banget, jadi males mau masuk.” Novan tersipu. Ya ampun, ternyata suaranya sampai keluar. “Sakit perut ya?”            “Hehehe .. iya ..” Novan nyengir lebar. “Kebanyakan minum kopi.”            “Emang minum berapa banyak dah?”            “Hem, 3 gelas?” Novan nyengir. Karyo terbelak dan geleng- geleng.            “Edan. Ya panteslah sakit perut. Kenapa minum banyak banget hah? Nyari penyakit memang.”            Ya kan biar kuat kerjain tugas gambar itu! Lagian kenapa baru juga bilang kalau tugasnya kumpul mendadak sih?! Novan menggerutu dalam hati. “Biar semangat! Biar nggak ngantuk aja semalam.”            “Memang ada- ada aja. Sekarang gimana perutnya?”            Novan mengacungkan jempolnya. “Aman, udah enakan kok. Udah lumayanlah. Tapi aku mau ke UKS dulu, mau minta minyak kayu putih.”            “Minta sama si Kirana aja. Kalo minta di UKS susah, ini lagi jadwal piketnya si Shafiya. Dia galak kalo sama anak cowok,” saran Karyo. Ah iya, dia lupa kalau anggota PMR kebanyakan perempuan. Tapi sama saja kan, kalau minta ke Kirana?            “Ah, itu dia! Pas banget! Woi Kir!”            Karyo memanggil Kirana yang sedang menyusuri lorong seorang diri sambil membawa setumpuk buku. Kirana menolehkan kepalanya.            “Kenapa Yo?” Tanya Kirana.            “Ini buku apaan kok banyak banget?” Tanya Karyo.            “Ini, buku latihan geografi. Tadi bu Saidah minta tolong bawain ke kelas dan bagiin ke anak- anak,” jawab Kirana. Karyo mangut- mangut.            “Ya udah, sini.” Karyo mengambil tumpukan buku itu dari tangan Kirana. “Biar aku aja yang bawa.”            “Eh, nggak usah Yo. Emang aku lagi giliran piket kok,” tolak Kirana. Ia hendak mengambil balik tumpukan buku itu dari tangan Karyo.            “Nggak, nggak usah. Nggak apa, biar aku bantu. Kasian kamu cewek bawa berat kayak gini,” jawab Karyo.            “Oh, oke. Thanks, sori ngerepotin.” Karyo tersenyum kecil dan menaikkan kedua alisnya. “Oh ya, tadi kamu kenapa manggil aku?”            “Oh iya. Ini nih.” Karyo menunjuk Novan dengan dagunya. “Ini anak sakit perut, gegara kebanyakan minum kopi. Jadi dia mau pakai minyak kayu putih, habis pup lama tadi. Kamu ada bawa minyak kayu putih nggak?”            Kirana menoleh ke Novan. Novan membuang wajahnya yang tersipu. Ia mengutuk Karyo dalam hati. Ya ampun, kenapa sih harus di perjelas? Kenapa tidak bilang saja kalau dia butuh minyak kayu putih?            “Gila lu ya, minum kopi sebanyak apa sampai sakit perut begitu?” Tanya Kirana.            “Katanya dia minum 3 gelas sih,” jawab Karyo. Kirana geleng- geleng kepala.            “Oalah edan, banyak banget itu. Pantesan aja sampai kayak gitu sakit perutnya. Aku ada sih minyak kayu putih, tapi di kelas. Ke kelas aja dulu.”            “Boleh, boleh! Makasih Kir! Untung ada kamu,” ujar Karyo. Kirana berdecak.            “Apaan sih. Kan di UKS juga ada minyak kayu putih toh.”            “Males, yang jaga UKS si Shafiya. Galak dia, susah masuk UKS kalau ada dia.”            “Ya iyalah. Bagus dong dia kayak gitu, jadi nggak ada lagi yang pergi ke UKS buat bolos. Biasanya kan kalian yang cowok tuh kayak gitu. Nggak berani kan kalian kayak gitu jadinya.” Karyo berdecak.            “Cih, diskriminasi. Padahal yang cewek lebih sering ke UKS, terus tiduran di sana sampai bolos pelajaran,” gerutu Karyo.            “Sori, it’s girl thing. Itu urusan cewek, yang cowok nggak bisa rasain,” jawab Kirana.            “Iya deh, emang cuma cewek doang yang bisa rasain. Cowok enggak, iya deh iya.”            “Iya, emang. Banyak yang cowok nggak bisa rasain, kecuali mereka jadi cewek. Jadi jangan ada yang protes kalau ada cewek yang tiduran di UKS sampai bolos, kalau tuh perut bisa di bongkar pasang, mending di lepas aja dah rasanya.” Karyo mangut- mangut.            “Iya iya.”            Mereka menyusuri lorong kelas dalam diam. Mereka akhirnya tiba di lantai 2, tempat kelas 11 berada. Lorong sebelah kanan di isi oleh kelas MIPA 1- MIPA 7, sedangkan lorong sebelah kiri di isi oleh kelas IIS 1- IIS 5. Mereka menyusuri lorong di sebelah kiri. Hampir semua mata memandangi mereka sambil kasak- kusuk. Beberapa anak perempuan yang duduk di lorong tampak kesemsem sambil melirik Novan. Novan menggaruk punggungnya, merasa risih dengan tatapan mereka.            “Wih, pada nengokin kemari semua. Pada terpesona kali ya sama aku?” Tanya Karyo dengan penuh percaya diri. Kirana menoleh dan menatap Karyo dari atas sampai bawah.            “Ya nggak mungkin sih. Picek mata mereka kalau terpesona sama kamu,” jawab Kirana. Karyo cemberut, sedangkan Novan mengulum senyum.            “Iya dah, palingan di sini pada liatin si Novan.” Karyo meliriknya. “Padahal lebih gantengan aku kemana- mana.”            “Ye, pede bener lu!” Cemoh Kirana. “Gantengan Novanlah!”            “Mereka kenapa nengokin aku sih?” Tanya Novan setengah berbisik.            “Karena kamu kelewat ganteng, terus kamu juga jarang kan kelihatan keliaran di sekolah, jadi bisa papasan sama kamu kayak sekarang itu ya kayak langka gitu,” jawab Kirana. Ternyata dia mendengarnya.            Mereka tiba di kelas Kirana, XI IIS 2. Kirana membuka pintu dengan kencang sampai seisi kelas menoleh. Mereka terbelak kaget dan mulai kasak- kusuk seperti anak- anak di luar.            “Taruh di meja guru aja Yo, nanti biar aku bagiin sendiri,” pinta Kirana. Karyo menaruh tumpukan buku di atas meja. “Masuk aja Van. Bentar aku ambil minyak kayu putihnya dulu.”             Novan mengekori Karyo, sedangkan Kirana pergi ke bangkunya yang ada di tengah kelas. Beberapa anak perempuan menghampirinya.            “Eh Kir, itu si Novan yang anak baru itu kan?” Tanya seorang anak perempuan, yang di jawab dengan anggukan oleh Kirana. Ia sibuk mencari minyak kayu putih di dalam tasnya.            “Oh itu ya anaknya? Ya ampun, ganteng banget ya,” timpal yang lain, di ikuti dengan anggukan.            “Kan? Ya ampun, cuci mata banget sih liatnya.”            “Tapi dia ngapain ya ke kelas kita? Mana sama kamu lagi Kir. Dia mau ngapain sih di kelas kita?”            “Itu, dia perlu minyak kayu putih,” jawab Kirana. Ia membuka lebar tasnya dan mengintip ke dalam. “Nah, ini dia. Yo, Van!”            Kirana menghampiri mereka sambil mengacungkan botol minyak kayu putih ke atas. “Nih Van.” Kirana memberikan botol minyak kayu putih itu pada Novan. Novan menerimanya. Ini merk minyak kayu putih legendaris, dengan gambar ayam di labelnya.            “Ah, ma … makasih …” Jawab Novan terbata.            “Ya, sama- sama. Nanti aja kamu balikin, waktu pulang sekolah.”            “Kamu pake aja sekarang Van, di sini,” saran Karyo.            “Heh! Gila aja! Masa aku pamer perut di kelas orang?!” Tolak Novan. “Udahlah, aku pake di toilet aja!” Novan balik badan dan pergi meninggalkan kelas XI IIS 2.            “Eh, eh, tunggu Van!” ****            Novan menghela napas lega. Akhirnya, perutnya terasa jauuh lebih hangat dan lebih baik setelah mengoles minyak kayu putih. Ia bersandar di kursi sambil mengelus perutnya. Minyak kayu putih memang penyelamat. Ia juga mengoleskan sedikit minyak kayu putih di tengkuk leher.            “Bau apa nih,” gumam Andi. Ia mengendus sekeliling dan berhenti mengendus tengkuk Novan. Novan merasa geli dan menepisnya. Ia berdecak.            “Ck, apaan sih Ndi,” gerutu Novan. Andi mengernyitkan alisnya sambil memegang hidungnya.            “Kamu kok bau minyak kayu putih banget?”            “Ya, emang aku pake minyak kayu putih tadi. Kenapa?” Andi menggeleng dan buang muka. Ia menutup hidungnya. “Nggak suka bauya. Nyengat banget.”            Novan mengernyitkan alis. Ia mengendus bajunya. Apa ia baunya sangat menyengat? Apa dia kebanyakan oles minyak kayu putih?            “Kenapa tuh si Andi?” Tanya Gilang menghampiri mereka. Ia mengernyitkan alis dan mengelus hidungnya. “Hah? Bau apaan nih? Kok kayak bau bayi?”            “Itu, si Novan, pake minyak kayu putih.” Andi menunjuk Novan. Gilang mengendus di sekitar Novan, lalu mangut- mangut.            “Eh iya, bau minyak kayu putih. Bau bayi.”            “Kok bau bayi?” Tanya Novan bingung.            “Ya kan, biasanya bayi yang pakai minyak kayu putih,” jawab Gilang. Andi menelan ludah dan merasa mual.            “Duh Van, aku nggak bisa cium minyak kayu putih. Duh, bau banget!” Andi menutup mulut dan hidungnya.            “Heh? Jadi gimana nih? Emang bau banget ya?” Tanya Novan bingung.            “Ya emang kerasa sih baunya …” Gumam Gilang. “Tapi ini anak emang agak sensitive sama bau menyengat kayak gini.” Gilang menunjuk Andi yang semakin menjauh.            “Lah, jadi gimana nih?”            “Ya udah sih, palingan nanti baunya juga ilang. Ndi, tukar tempat duduk aja dulu. Kamu duduk di tempatku aja,” saran Gilang yang di balas dengan acungan jempol oleh Andi. Ia membawa tasnya dan duduk di bangku Gilang di depan. Gilang mengambil tasnya dan duduk di depannya.            “Ganggu banget ya bau aku ya? Aku bilang aja kali ya biar nggak bau lagi.” Novan hendak bangkit dari duduk, tapi di cegat oleh Gilang.                  “Eh, nggak usah. Nggak apa. Biarin aja.”            “Nggak apa nih? Nanti malah ganggu yang lain pula.” Gilang menggeleng.            “Nggak apa, duduk aja.” Gilang menarik paksa Novan sampai duduk kembali. “Nggak apa, nggak menyengat kok. Malah enak wanginya, kayak bayi.” Gilang menarik napas dalam. Novan geleng- geleng.            “Ada- ada aja si Gilang ini memang.”            “Kamu kenapa kok pakai minyak kayu putih? Bukannya tadi nggak pake ya?” Tanya Gilang.            “Ah eh .. nggak apa sih. Cuma tadi lagi nggak enak perut aja, makanya pake minyak kayu putih ..” Jawab Novan.            “Masuk angin? Nggak mungkin. Kelas kita udah kayak sauna gini, darimana bisa masuk angin.”            “Ng … karena kebanyakan minum kopi sih semalam …” Gilang geleng- geleng kepalanya.            “Makanya, tuh minum kopi jangan kebanyakan. Minum kopi 3 gelas sehari udah cukup, jangan lebih dari itu,” ujar Gilang. Novan melongo.            “Hah? Emangnya kamu biasanya minum kopi seberapa banyak sih?” Tanya Novan heran.            “Aku? Biasanya sehari 3 gelas sih, tiap pagi selalu minum kopi, terus sore juga minum kopi,” jawab Gilang. Novan melongo mendengarnya.            “Bisa tidur tuh minum sebanyak itu?” Tanya Novan. Gilang mengernyitkan alis.            “Hah? Ya bisalah. Itu mana banyak kalau segitu. Ayahku biasanya malah 5 gelas kopi tuh sehari. Mana ngaruh kalo cuma segitu doang mah, nggak ada apa- apanya,” jawab Gilang. Novan melongo lebar. Edan.            “Edan.” Novan geleng- geleng kepala. “Aku minum kopi 3 gelas aja udah kopyor nih perut, udah nggak bisa tidur juga. Kamu malah minimal 3 gelas, ya ampun … ada aja emang …”            “Hah?! Yaelah, kalau cuma 3 gelas sehari mah biasa aja itu! Lemah ah kamu, gitu aja sakit perut, nggak bisa tidur. Huh!” Gilang mengacungkan jempol terbalik. Novan mendengus.            “Elu yang nggak normal!” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN