Bab 53

1151 Kata
Semua mata memandang ke Kirana. Ia pergi meninggalkan kelas XI MIPA 2. “Kir? Itu kenapa?” Tanya Ghea sambil menunjuk pipinya. Kirana langsung menutup pipinya. Suara riuh rendah memenuhi seisi kelas. “Itu si Kirana kenapa?” “Emang dianya kenapa?” “Tadi pipi si Kirana kenapa memangnya?” “Itu loh, kayaknya tuh pipinya ada plester gitu. Kayaknya bekas luka.” “Hah? Luka kenapa?” “Nggak tau dah.” “Kayaknya kena cakar gak sih? Dianya di cakar sama Sarah kali ya?” “Hah? Gile si Sarah main cakar- cakar kayak kucing. Kasar banget mainnya.” “Marah kali kayaknya si Sarah tuh. Makanya dia sampai cakar si Kirana.” “Mungkin si Kirana kali rebut cowoknya. Kan dia tuh pelakor.” “Hah? Kirana? Pelakor? Muka polos gitu pelakor?” “Kamu nggak tahu? Kirana itu pelakor. Dia dulu tuh ribut sama Sarah karena pelakor itu.” “Hah? Sumpah? Karena itu?” Simpang siur kabar soal Kirana terdengar dimana- mana. Mereka kembali membahas soal permasalahan Sarah dan Kirana terdahulu. “Eh, itu si Kirana memangnya beneran pelakor gitu ya? Katanya parah banget pepetnya ya? Wih serem sih kalo sampai kayak gitu,” timpal Gilang. “Nggak tahu sih ya. Tapi katanya sih, katanya ya. Karena masalah itu, yah dia jadi nggak pernah lagi deket sama Kirana, terus nggak lama si abang malah pindah keluar kota. Katanya sih dia minta orangtuanya pindah, karena dia nggak sanggup di omongin kayak sekarang,” jelas Iwan asal. “Kan katanya. Belum tentu kan kabarnya kayak gitu,” tukas Andi, yang di sertai dengan anggukan Novan. “Jangan cuma dengar dari kata orang deh. Coba nanya ke orangnya langsung, biar tau yang sebenarnya,” timpal Novan. “Kalian kenapa nggak tanya ke dianya langsung?” “Susah, soalnya dia anaknya nggak ramah. Kalau nengok orang itu kayak apa ya, tajam gitu. Terus ngomongnya udah ketus, pedas lagi. Tengoklah tadi dia kayak gimana kan ngomongnya tuh, sama si Gilang?” Iwan menunjuk Gilang. “Ya ketus lah kalau kayak gitu. Jangankan dia, aku pun bakalan kayak gitu. Malah udah aku tampol seengaknya,” timpal Andi. “Ini kalian kenapa sih kayak ngebela banget si Kirana? Kalian naksir sama dia ya?” Tanya Gilang curiga. Novan dan Andi terbelak, lalu mengeleng serentak. “Kami kan cuma bilang, jangan berasumsi dari katanya doang. Itu bisa jadi kan fitnah. Jadi biar jelas, nanya aja ke orangnya langsung gitu,” jelas Novan. Gilang mendengus. “Halah, kedok kalian aja itu. Padahal memang kan kalian tuh naksir dia? Udahlah ngaku aja!” Bantah Gilang. Novan geleng- geleng. Tidak habis pikir dengan dugaan asal dari Gilang. “Terserah kamu ajalah Lang. Terserah,” ujar Novan akhirnya. Terserahlah, tidak ada gunanya juga jelasin ke mereka. **** Bel istirahat kedua berbunyi. Istirahat kali ini lebih cepat dari biasanya, jadi kebanyakan murid- murid menghabiskan waktunya di kelas daripada berdesakan ke kantin. Seperti Novan saat ini. Dia memilih duduk di pojokan sambil bermain game online. Ia tenggelam dalam game, sampai seseorang masuk ke kelasnya tergopoh- gopoh. “Novan mana?” Tanyanya di pintu kelas. Semua menunjuk Novan di pojokan kelas. Karyo menghampiri Novan dengan napas terengah. “Van!” Karyo menggebrak mejanya pelan. Novan tersentak kaget dan langsung melepas headset yang di pakainya. “Kenapa Yo?” Tanya Novan bingung. Karyo tampak sangat terburu- buru. Napasnya masih terengah. “Tadi ... Kirana ada kemari ya?” Tanya Karyo. Novan mengernyitkan alis dan mengangguk. “Iya ... Tadi dia sempat kemari, sebentar aja,” jawab Novan. “Dia ada ngomong sama kamu nggak?” Tanya Karyo lagi. Novan menggeleng. “Nggak ada. Tadi dia langsung keluar, kayaknya kesal karena si Gilang mulutnya lambe kali tadi. Terus nggak tahu dah dimana,” jawab Novan. “Dia nggak ada ngomong apa- apa ke kamu?” Tanya Karyo lagi memastikan. Novan menggeleng dan mengangkat bahunya. Dia menepuk jidatnya. “Ya ampun anak itu memang! Nah kan, udahlah ngambek lagi dia. Pasti baper lagi dia nih,” gerutu Karyo. “Memang kenapa sih? Jadi si Kirana tadi kemari mau ngomong samaku gitu?” Tanya Novan. Karyo mengangguk. “Iya. Tadi dia bilang, dia mau minta maaf ke kamu karena kemarin itu kan kamu sempet pingsan kan ya? Jadi dia merasa itu salahnya. Dia ngiranya kamu pingsan karena kecapekan sama dia,” jelas Karyo. Novan mengernyitkan alisnya. “Nggak kok, bukan salah dia sama sekali. Memang akunya yang penyakitan, jadi ya gitulah. Bukan salah dia kok,” bantah Novan. “Tapi nanti kamu jangan bilang gitu ya ke dia. Nanti kalo dia minta maaf, jangan bilang kamunya begitu karena penyakitan. Nanti dianya kepikiran, lebih ngerasa bersalah,” pinta Karyo. “Jadi aku harus bilang gimana?” Tanya Novan. “Yah ... Apa aja dah, pokoknya jangan yang bikin dia lebih kepikiran lagi deh. Anaknya itu nggak enakan sebenarnya, dia nggak mau nyusahin orang lain. Nanti dianya yang jadi susah karena mau nolong orang lain,” jawab Karyo. “Tolong ya? Aku nggak mau nanti dia jadi kepikiran, dan dianya nanti malah jadi stress sendiri. Bawa perasaan sendiri.” Karyo memohon. Novan mengangguk. “Yah ... Nanti aku usahain deh. Aku cari jawaban yang nggak bikin dia kepikiran,” jawab Novan akhirnya. Karyo tersenyum kecil dan menghela napas. “Thanks bro.” Karyo menepuk pelan pundak Novan. Novan membalasnya. “Ur welcome. Kamu peduli banget ya sama si Kirana.” Karyo mengangguk pelan. “Ya, karena dia sahabat cewekku satu- satunya. Dia sahabat yang berharga. Aku nggak mau dia sedih lagi. Cukup sekali aja, dia ngerasa terpuruk, dan aku nggak bisa bikin dia happy.” Karyo menundukkan wajahnya. “Ngerasa gagal jadi sohib yang baik kalau lihat dia sedih begitu.” “Kamu baik banget ya sama dia. Sahabat karena rasa atau memang sahabatan?” Tanya Novan. Ia tidak menyangka dengan reaksi yang ia dapatkan. Wajah Karyo tampak bersemu merah. Ia menyinggungkan senyum kecil. “Sahabat kok, sahabat doang. Kami kan udah dekat dari kecil, keluarga kami juga udah saling kenal satu sama lain.” Karyo mendongak. “Mungkin, ada rasa. Kayak yang orang bilang, tidak mungkin ada persahabatan lawan jenis yang nggak punya rasa. Pasti salah satunya menyimpan rasa.” “Kenapa kamu nggak bilang ke dianya kalau kamu ada rasa? Kan kalian udah lama dekat ya?” Tanya Novan. Karyo menatap Novan lamat, lalu menggeleng. “Nggak, nggak bisa. Aku nggak bisa lakuin itu. Kalau aku confess, mungkin kami nggak bisa sahabatan lagi. Nggak bisa dekat lagi kayak sekarang.” Novan mengernyitkan alis. “Tapi kenapa? Memangnya bakalan kenapa kalau kamu confess?” “Bakal ada yang berubah, Van. Nggak akan ada yang sama lagi.” Ia melirik Novan. “Kayaknya kamu nggak ngerti, karena belum pernah sohib sama cewek ya.” Ya iyalah! Dekat sama cewek aja ogah! Gumam Novan dalam hati. “Nggak apa, kalau kamu nggak ngerti. Aku juga lebih nyaman kalau kami kayak gini, selamanya juga nggak apa.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN