Bab 54

1143 Kata
“Oh ya, gimana dengan tugasnya? Udah kamu kerjain?” Tanya Karyo. Ia masih di kelas Novan. Ia merasa bersalah tentang kejadian di kantin tadi, karena itu, dia membawa banyak cemilan dari markasnya. Mereka menyantap cemilan itu bersama Gilang dan Andi. “Udah sih, tapi belum selesai,” jawab Novan. “Memangnya ada di tanyain ya sama itu orangnya?” “Yah, enggak sih. Belum ada di tanyain. Aku cuma nanya aja, buat jaga- jaga,” jawab Karyo. “Eh eh, kalian bahas apa?” Tanya Gilang penasaran. Karyo dan Novan menggeleng bersamaan. Gilang mengernyitkan alis dan mendengus. “Dih, kalian malah pake rahasia segala. Kasih tau kek,” rengek Gilang. Andi menjewer kuping Gilang. Gilang meringis kesakitan. “Jangan kepo sama urusan orang lain.” Andi memperingatkan. Gilang mendengus. “Eh, ngomong- ngomong, kalian tau nggak sih?” Gilang membuka percakapan. “Nah kan, mulai lagi dah mulut lambenya,” gerutu Andi. Gilang berdecak. “Tau apaan memang?” Tanya Novan. “Aku pernah denger ya, tuh dari anak kelas lain. Katanya ada yang buka jasa joki tugas gitu di sekolah kita,” jawab Gilang. Novan dan Karyo terbelak kaget sesaat, lalu berusaha untuk bersikap biasa. “Jasa joki di sekolah? Itu bukannya hoax ya?” Tanya Andi tak percaya. “Eh, enggak! Katanya ada tuh yang pakai jasa mereka, terus cepet banget di kerjainnya. Udah cepet, bagus pula nilainya. Pokoknya keren banget deh!” Gilang mengacungkan kedua jempolnya. Novan menghela napas lega dalam hati. Syukurlah kalau memang seperti itu. “Oh ya? Terus kamu mau coba ngejoki tugas kamu sama mereka gitu?” Tanya Andi. “Pengen sih, tapi... Agak ragu ...” Gilang menghela napas. “Soalnya nggak ada price list gitu sih. Takutnya nanti malah kemahalan, mana bisa aku bayar kalo mahal banget.” “Nggak ada di sertain price list? Agak mencurigakan juga ya,” gumam Andi. Gilang mengangguk. “Tapi yah, ada harga ada rupalah ya,” gumam Karyo. “Memang sih..” “Emangnya nggak bisa di tawar ya?” Tanya Novan. Gilang mengendikkan bahunya. “Pengennya bisa sih. Kalau bisa, kayaknya bakal aku tawar sampai harga termurah.” “Ya, tapi jangan yang murah banget jugalah. Kasian juga yang ngejoki woi, dia dah belain buat kerjain tugas kamu, sama tugasnya dia juga,” ujar Novan. “Lah kan tapi dia udah di bayar toh,” tukas Gilang. “Ndi, tolong di toyor bentar kepalanya. Biar sadar diri dikit,” pinta Novan pada Andi. Gemas dia mendengar pernyataan Gilang tadi. Andi menjitak kepala Gilang pelan. “Nggak sopan tau jitak kepala orang!” Gerutu Gilang. Ia meringis sambil mengelus kepalanya. “Makanya. Kalo ngomong itu jangan asal jiplak, yang dengar jadi gemas mau ngejitak kamu,” ujar Andi. “Ck, kalian ini mah. Ah udahlah.” Gilang bangkit dari duduk. Ia mengambil sekeping keripik kentang dan berlalu dari sana. “Nggak asik lu Ndi, ringan tangan!” Gerutu Gilang sebelum pergi meninggalkan mereka. “Makanya mulut tuh di rem,” balas Andi. Gilang pergi meninggalkan mereka setelah mengacungkan jari manis. “Biarin aja. Palingan nggak lama dia marahnya,” ujar Andi. “Biasalah, namanya juga Gilang,” lanjut Karyo. “Tapi ya sejujurnya ...” Andi mengunyah keripik kentang. “Aku kurang setuju, nggak. Sangat nggak setuju soal itu. Soalnya ya ... Itu kan tindakan illegal ya. Sekolah kita kan, nyontek aja di larang keras. Meski kita sering ngebandel juga. Tapi kalo ngejoki ini ketauan oknumnya siapa, aku nggak bisa bayangin sih bakalan kayak gimana hukumannya,” ujar Andi. “Ya makanya mereka harus pintar, harus tau taktik. Jangan sampai ketahuan,” tukas Karyo. Novan mengangguk. “Kalau ketahuan, bakalan kayak gimana itu ya ...” Gumam Andi bertanya- tanya. “Hem. Palingan kalau ketahuan, bakalan kena SP. Atau diskors. Atau paling buruklah, di DO,” jawab Andi. Novan dan Karyo saling lirik. Mereka menelan ludah. Ternyata ini bukan permasalahan sepele kalau sampai ketahuan. Berarti mereka harus main aman. Mereka harus nutupin semuanya sebelum tercium oleh pihak sekolah. **** Novan tidak kaget lagi melihat mobil Stevan sudah ada di depan pintu gerbang sekolah. Sebelum jam pulang sekolah, Stevan sudah memborbadir dirinya dengan menyepam chat hanya untuk bertanya jam pulang sekolah. Ia sudah menduga, Stevan pasti bakal menjemputnya lebih cepat dari kemarin. Meski dia masih tidak menyangka akan di jemput secepat ini. Terdengar suara klakson motor di belakangnya. Novan menoleh. Motor matic merah berhenti di sampingnya. Sang pengendara membuka kaca helm dan tampaklah Gilang di sana. “Pulang naik apa Van?” Tanya Gilang. “Pulang bareng aja mau nggak?” Tawar Gilang. “Sori Lang. Aku udah di jemput abangku.” Novan menunjuk ke mobil Stevan di depan gerbang. Gilang mangut- mangut. “Oke. Yaudah kalo gitu.” Gilang menurunkan kaca helm dan memutar kunci. “Duluan ya,” pamit Gilang. Ia memutar gas motor dan pergi meninggalkan Novan. Terdengar klakson motot lain di belakangnya. Novan menoleh. “Van, luan ya!” Pamit Andi. “Oh. Oke.” Novan melambaikan tangan, yang di balas dengan klakson oleh Andi. “Pamit pak,” pamit Novan pada satpam sekolah, pak Guna. Pak Guna melambaikan tangannya. “Ya nak. Hati- hati.” Novan membuka pintu depan dan masuk ke dalam. Stevan tampak sibuk menelpon seseorang. “Iya. Iya, sori ya. Bisa tolong gantiin bentar nggak? Aku ini lagi jemput ponakan di sekolahnya ... Ah, iya, gak lama kok. Tinggal dikit lagi aja kok. Ya? Ah, oke oke. Thanks ya Yon! Nanti aku traktir kopi! Bhay!” Stevan mematikan telpon dan mengantongi smartphone di sakunya. Ia menoleh pada Novan yang sudah duduk manis di sebelahnya. “Pakai seat belt. Udah?” Novan mengangguk. “Oke.” Stevan memutar kunci dan menginjak pedal gas. Ia membunyikan klakson untuk pamit pada pak Guna. Perlahan, mobil Stevan pergi meninggalkan lingkungan sekolahnya. **** “Udah makan siang?” Tanya Stevan saat mereka tengah terjebak lampu merah. Novan menggeleng. “Belum.” “Udah minum obat belom?” Tanya Stevan. “Kan udah tadi pagi,” jawab Novan. Stevan mangut- mangut. “Oh, kukirain kamu bakal minum lagi obatnya kayak kemarin. Bagus, bagus.” “Cukup sekali aja ngadi- ngadi kayak kemarin. Kalau di ulangi, tandanya aku terlalu bego.” Stevan mangut- mangut. “Kamu mau makan siang dimana?” Tanya Stevan. Novan mengedikkan bahunya. “Ngikut kamu aja deh,” jawab Novan. Stevan berdecak. “Kayak cewek ada dah kamu,” ujarnya. “Makan di resto cepat saji aja ya? Nggak apa kan? Biar nggak lama nunggu makanannya.” “Boleh juga. Terserah. Aku kan ngikut aja,” jawab Novan. “Restoran ayam atau restoran Jepang?” “Kan aku bilang, ngikut kamu aja.” Stevan berdecak kesal. “Minta bantu pilihin, malah jawab terserah. Nggak membantu sama sekali memang.” Stevan menekan pedal gas perlahan saat lampu berubah menjadi hijau. “Ya udah, terserah aku kan? Kita makan di sana aja.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN