Bab 52

1125 Kata
Syukurlah guru datang tak lama setelah Novan dan Andi tiba di kelas. “Darimana aja kalian, kok lama masuk?” Tanya Gilang setibanya mereka di kelas. “Ke UKS tadi,” jawab Andi. “Kalian ngapain ke UKS? Tadi katanya ada ribut- ribut ya di kantin? Ribut apaan? Katanya ada yang berantem ya?” Tanya Gilang kepo. “Tau darimana kalau ada ribut- ribut tadi?” Tanya Novan. Yah, sebenarnya ini pertanyaan yang agak bodoh sih. Tidak usah dia tanya, pasti kejadian di kantin tadi langsung menjadi buah bibir dalam sekejap. “Biasalah, denger dari rumpi orang- orang. Emang kenapa sih? Katanya Sarah yang berantem ya? Wah gila, siapa yang berani berantem sama Sarahnya aku.” Gilang melipat lengan bajunya. “Maju sini sama aku! Sini maju!” “Gak usah sok berani dah kamu, kalo adu panco aja selalu kalah,” ujar Andi, yang di balas dengan cemberut Gilang. “Waktu itu kan belum siap aja. Udah latihan nih, udah ada ototnya!” Gilang membanggakan lengannya yang penuh dengan lemak itu. “Otot apaan itu, lemak bergelambir kayak gini di bilang otot!” Andi memukul pelan lengan Gilang. Gilang berdecak kesal. “Jadi, siapa sebenarnya yang berantem sama Sarah?” Tanya Gilang. “Nanti juga tahu.” “Selamat siang anak- anak.” Seorang guru perempuan yang sudah hampir memasuki masa pensiunnya masuk ke dalam kelas. “Selamat siang bu.” “Tutup semua buku kalian. Hari ini kita ulangan dadakan.” “Yaah ibu ..” **** Tidak ada yang bisa membantah perkataan bu Ana, guru Sejarah yang sudah memasuki masa pensiun itu. Sebagai guru senior yang amat di segani oleh murid- murid dan guru, setiap perkataannya adalah mutlak. Bahkan kepala sekolah sering kali kewalahan karena tidak ada yang berani membantah beliau. Sering kali orang mengira kalau beliau adalah Kepala Sekolah, padahal beliau hanya guru biasa yang tidak memegang jabatan apa- apa di sekolah. Kalau beliau mengajar saja sudah hening, apalagi kalau ada ulangan dadakan seperti ini. Tidak ada satu pun yang berani menyontek. Mata beliau dan intuisinya sangat tajam bak burung Elang. Kalau ketahuan menyontek di pelajarannya, siap- siap saja nilaimu tidak tuntas di raport. Beliau guru yang paling tegas di sekolah selain bu Julia, yang uniknya, ternyata bu Julia dan bu Ana masih satu keluarga. Novan menatap kosong kertas ulangan di depannya. Soalnya essai, yaitu menceritakan kembali Sejarah Kerajaan Majapahit dengan singkat dan jelas. Hanya itu, tapi bisa di bayangkan bukan, akan sepanjang apa jawabannya? Novan coba mengingat kembali soal kerajaan Majapahit dalam pikirannya. Ah, dia memang paling lemah dengan pelajaran Sejarah seperti ini. Apalagi dengan nama raja- rajanya yang sukar dan aneh menurutnya. “Waktunya udah jalan 15 menit. Sisa waktu kalian 10 menit lagi,” umum bu Ana. Novan tersentak kaget. Kertasnya masih kosong melompong, hanya berisi namanya saja. Novan merutuk dalam hati. Ah ya sudahlah, dia mengarang bebas saja, yang penting kertasnya tidak kosong melompong. Dia coba menulis salah satu cerita kerajaan yang pernah dia ceritakan ke Mikel. Selanjutnya dia hanya bisa pasrah pada Yang di Atas saja. ***** Novan, Andi, dan Gilang berasa kehilangan setengah tenaganya setelah mengerjakan ulangan bu Ana. Jam pelajaran yang sempit hanya di gunakan untuk ulangan. “Satu soal doang, tapi jawabannya ya Allah...” Gumam Gilang, yang di barengi dengan anggukan Novan dan Andi. “Bisa jawab nggak?” Tanya Andi. Novan dan Gilang mengeleng. “Mengarang bebas blas! Udahlah kalau memang jelek udahlah, palingan di pertanyakan jawabannya,” jelas Novan. “Sama. Ya udahlah, kalau sama bu Ana tetep dapat nilai meski remedial. Paling remedialnya nanti di suruh ceritakan lisan, atau buat makalah gitu. Selama nggak nyontek mah aman aja,” timpal Gilang. Oh, ternyata begitu ya caranya bu Ana. “Yah gimana mau nyontek kalau soalnya kayak gitu wei,” tukas Andi. “Iya juga sih.” Kelas hening meski bu Ana sudah keluar kelas sedaritadi. Sepertinya seisi kelas juga kelelahan setelah mengerjakan ulangan dadakan yang menguras otak. Gilang. Andi, dan Novan juga saling diam satu sama lain. Mereka berharap semoga guru di pelajaran selanjutnya tidak datang. “Eh, ngomong- ngomong, kalian belum jawab yang aku tanya tadi.” Gilang membuka pembicaraan. “Hah? Emang kamu tanya apa tadi?” Tanya Andi bingung. “Itu, soal yang tadi di kantin. Kalian tadi kantin kan tadi? Taulah kalian kejadiannya kayak gimana kan? Ceritalah. Kepo aku,” pinta Gilang. “Ck, kamu ini. Kepo banget dah jadi orang,” gerutu Andi. “Ya kan, biar aku nggak ketinggalan info gitu.” Gilang mengguncang lengan Andi, yang langsung di tepis olehnya. Andi berdecak kesal. “Kenapa nih si Gilang kok merengek kayak bocah?” Tanya Iwan yang tiba- tiba datang menghampiri. Ia menarik salah satu bangku yang kosong ke meja Novan. “Eh Wan, kamu tahu nggak soal yang ribut- ribut di kantin tu kenapa?” Tanya Gilang. “Halah. Kukira apaan.” Iwan berdecak kesal. “Ya tau sih, aku di kantin tadi. Katanya ada ribut si Sarah kan, sama satu cewek gitu. Nggak tahu sih ribut karena masalah apaan. Nggak bisa lihat aku dia ribut sama siapa, rame banget yang nonton,” jelas Iwan. “Bukannya kalian tadi ke kantin juga ya? Sama si Karyo kan, sama siapa satu lagi dah, ceweknya si Karyo itu ...” “Eh? Si Karyo dah punya cewek?!” Tanya Gilang antusias. Iwan mengedikkan bahu. “Gak tau sih ceweknya apa bukan, tapi itu loh, yang deket sama dia dari dulu tuh. Halah siapa sih namanya ...” Iwan berusaha mengingat. “Oalah, si Kirana ya? Ck, kirain siapa!” Iwan menjentikkan jarinya. “Nah iya! Itu, si Kirana!” Iwan terdiam sesaat. “Eh, bukannya si Kirana ya yang ribut sama Sarah? Iya nggak sih? Kalo nggak salah tuh orang- orang pada bilang begitu.” “Hah? Kirana ribut sama Sarah? Karena apa? Bah, berani juga ya tuh cewek. Padahal mah, kalo di bandingin dia sama Sarah, ya jelas jauhlah. Bagusan Sarah kemana- mana. Dia mah, nggak ada apa- apanya di banding si Sarah! Dari wajah aja udah nampak jauh beda!” “Sori deh ya kalau aku lebih jelek dari Sarah,” timpal sebuah suara di belakang. Suara yang tak asing. Mereka terbelak kaget dan menoleh. Kirana berdiri tegap di belakang mereka. Ia berkacak pinggang. “Sejak kapan kamu di sini?” Tanya Gilang. “Belum lama. Tapi aku dengar kok semua yang kamu bilang tentangku,” jawab Kirana. Ia menatap tajam Gilang. “Ah, udahlah. Tadinya aku ada perlu sama Novan, tapi nanti saja. Udah malas aku. Oh ya Lang.” Kirana mendekat. “Jangan sok kegantengan. Aku yang jelek aja nggak mau sama kamu, apalagi modelan kayak Sarah.” Kirana mendengus kesal. “Cowok kok mulutnya lambe bener.” Kirana pergi meninggalkan kami. Gilang hanya bisa melongo mendengar perkataan Kirana. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN