bab 150

1082 Kata
Stevan tak henti menghentakkan kakinya. Mereka sudah tiba di rumah sakit, tapi masih terjebak di meja resepsionis. Hari ini rumah sakit jauh lebih ramai dari biasanya. Mereka sudah tiba sejak lima belas menit yang lalu, tapi belum juga mendapat nomor antrian. “Ck, ini gimana sih, kok belum juga dapat antrian,” gerutu Stevan sambil melirik jam tangannya lagi. “Coba kamu samperin itu yang di meja resepsionis,” perintah Stevan. “Eh? Tapi …” Novan melirik Stevan. Ia mendelikkan matanya. “Aku lupa. Ya sudah, bentar. Kamu tunggu di sini dulu.” Stevan bangkit dari duduk dan menghampiri meja resepsionis. Tak lama, ia kembali sambil membawa nomor antrian di tangannya. “Nomor berapa?” Novan mendongak, menoleh ke nomor antrian di tangan Stevan. Nomor 60. Novan melirik ke layar telivisi yang menampakkan nomor antrian. Masih di antrian nomor 15. “Hah? Masih nomor segitu?!” Novan terbelak kaget. “Katanya karena dokter lain juga lagi buka praktek, selain dokter umumnya, jadi pasiennya banyak,” jelas Stevan. “Kayaknya masih lama sih ini, kita makan dulu aja gimana? Kamu lapar kan?” “Iya, boleh juga.” Mereka bangkit dari duduk. “Ya udah, ayo ke kantin.” **** Mereka melongo begitu tiba di kantin rumah sakit. Kantin penuh dengan karyawan, perawat, dan pasien yang makan di sana. Mereka mendongak mencari tempat yang kosong, tapi nihil. Semuanya penuh. “Gile, rame banget,” gumam Stevan. Novan mengangguk. “Jadi gimana nih? Nggak ada tempat kosong,” tanya Novan. Stevan diam sesaat, lalu melirik Novan. “Bungkus aja apa?” “Kalau bungkus, mau makan dimana? Masa makan sambil ngantri? Makan di taman juga rame.” “Hem, benar juga sih,” gumam Stevan. “Bentar, kita coba balik ke meja resepsionis. Kalau masih lama, kita cari makan aja di luar, dekat- dekat sini.” “Oke.” Mereka kembali ke meja resepsionis. Tidak jauh beda dengan yang tadi, masih sama ramainya. Mereka melirik layar televisi. Masih nomor 17. “Masih lama. Kita cari makan aja di dekat sini yuk.” Stevan mengeluarkan kunci mobil dan menuju parkiran. Perlahan mobil meninggalkan parkiran rumah sakit. ****** Akhirnya setelah mereka berkeliling, mereka menemukan warteg yang tidak terlalu ramai. Hampir semua tempat makan terdekat sangat ramai, karena sudah memasuki jam makan siang. “Untunglah di sini nggak terlalu rame,” gumam Stevan. “Bu, nasinya pakai telur balado, tempe orek, capcay ya bu. Oh, itu, pakai kuah sop dikit.” Stevan menunjukkan makanan di etalase. Pemilik warteg dengan sigap menaruh pesanan Stevan di dalam piring. “Kamu mau makan apa?” “Ah, aku …” Novan menatap etalase di depannya. “Ayam goreng, tempe orek, kangkung, oh sama sambal terasi.” Novan menunjukkan makanan yang ia sebut. Pemilik warteg menaruh pesanan Novan ke piring dan menaruhnya di atas etalase. “Mau minum apa mas?” “Es jeruk satu, es kepala satu ya mas.” “Baik. Bentar ya mas.” Pemilik warteg pergi ke belakang, menyiapkan minuman mereka. Novan mengambil kerupuk dari kaleng dan makan dengan lahap. Tidak afdol kalau makan di warteg tanpa kerupuk. “Lapar banget bos?” Tanya Stevan. Novan mengangguk. Stevan ikut mengambil kerupuk dan makan dengan lahap. “Kalau bisa sih, makannya jangan lama- lama ya. Takutnya nanti malah kelewatan nomor antriannya.” “Ah, mana mungkin. Masih lama loh nomor kita, masih jauh.” “Ya kali aja kan, mereka sat set jadi cepat selesainya.” **** Ternyata apa yang di katakana oleh Stevan itu benar adanya. Novan tadi sempat kesal Karen Stevan buru- buru mengajaknya kembali ke rumah sakit, tapi kini ia tahu alasannya. Saat mereka tiba, sudah sampai di antrian nomor 58. “Hah? Cepatnya. Kayaknya tadi masih nomor belasan deh,” gumam Novan. “Kan udah aku bilang, mereka kerjanya sat set sat set.” Stevan duduk di bangku yang kosong dan mengeluarkan nomor antrian dari balik case smartphone. Tidak perlu menunggu lama, telah tiba giliran mereka. “Permisi, saya mau temui dokter di poli Jiwa,” ujar Stevan. “Baik. Apa ada berkasnya?” Stevan mengeluarkan berkas dari tasnya dan memberikan pada resepsionis. Ya, selama ini Stevan yang mengurus semua berkas untuk ke psikiater. Novan hanya tinggal pergi saja. Resepsionis mengetik sesuatu di komputer dan tak lama, nomor antrian untuk poli jiwa sudah keluar. “Dokternya baru tiba nanti, setengah jam lagi. Silakan menunggu dulu.” Resepsionis memberikan nomor antrian. “Iya, makasih ya mbak.” Stevan menerima nomor antrian dan terbelak kaget. Novan menyikut Stevan. Seketika Stevan bangkit dari duduk dan masuk ke bagian poli. “Nih.” Stevan memberikan nomor antrian pada Novan. Ia mengambilnya dan tercengang. “Hah?! Nomor 29?!” Novan melirik layar televisi dimana nomor antrian di perlihatkan. “Hah? Kita nomor terakhir?!” ***** Ini nomor antrian terlama yang pernah ia dapat. Yah, dia memang baru beberapa kali sih pergi kontrol. Sepertinya rumah sakit memang sangat ramai hari ini. Novan lebih tercengang lagi karena masih ada pasien lain setelahnya. Ia tidak menyangka pasien poli jiwa sampai 34 pasien. Ternyata banyak juga ya yang perlu ke professional. “Belum datang juga dokternya?” Tanya Novan. Stevan menggeleng sambil melirik jam tangannya. “Ya elah, tuh anak pergi kemana yak, lama banget,” gerutu Stevan. Novan melirik jam tangan Stevan dan terbelak kaget. “Lah? Udah jam segini?” Tanya Novan kaget. Stevan mengangguk. “Ini mah udah waktunya jam pulang sekolah!” “Ya, aman dong. Kenapa memangnya?” “Kenapa pula di tanya?! Kalau papa jemput gimana? Kan papa yang antar jemput! Haduh!” Stevan terbelak dan menepuk jidatnya. “Ya ampun, iya! Aku lupa! Coba deh, coba. Kamu telpon papamu itu, atau kamu chat. Kamu bilang, kamu bakal pulang telat. Bilang gitu kalau kamu ada rapat atau apa, gitu. Terus bilang kalau kamu bakal pulang sama temen.” “Bentar deh, aku coba bilang. Tapi nggak yakin sih bakalan di kasih izin pulang sama temen.” Novan mengeluarkan smartphone dan menelpon papa. Terdengar nada sambung di sana dan … “Hallo? Ada apa bang?” Tanya papa di ujung sana. “Hallo pa. Anu pa, hari ini abang ada rapat. Bakal lebih lama pulangnya dari kemarin. Jadi aku pulang sama temen aja, nggak usah papa jemput,” bohong Novan. “Oalah. Ya udah. Papa juga mau bilang, papa mungkin bakal agak telat jemput kamu sih tadinya. Ya udah dah. Hati- hati.” “Iya pa.” Klik. Novan mematikan telpon. Stevan menatapnya dari kejauhan dengan tatapan cemas. Novan menghampiri dan mengacungkan jempol. “Aman.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN