Bab 151

1079 Kata
“Beneran aman kan?” Tanya Stevan. Novan mengacungkan jempol. “Aman kok …” Novan mendelikkan mata. “Kayaknya …” “Jangan kayaknya! Nanti malah nggak aman pula. Tiba- tiba abang jemput kamu di sekolah gimana?” “Nggak, nggak. Aman kok. Aku udah bilang bakalan pulang sama Andi, mana mungkin di jemput lagi,” bantah Novan, berusaha meyakinkan. “Yah, semoga aja sih dia mau percaya. Soalnya kita masih lama di sini. Lihat, bahkan dokternya aja belum datang!” Stevan mengeluarkan smartphone. “Ini anak, apa harus aku hubungi dulu ya?” “Kalau bisa, kamu hubungi aja.” “Entar deh.” Stevan menempel smartphone di telinganya, lalu berdecak kesal. “Malah nggak di angkat.” “Kayaknya udah mau datang deh.” Novan menunjuk ke seorang perawat yang masuk ke dalam poli jiwa. “Nomor antrian J-1.” Terdengar panggilan dari dalam poli jiwa. “Oh, untung udah.” **** Papa memberhentikan mobil di luar gerbang sekolah Novan. Papa mengintip dari dalam mobil. Murid- murid berhamburan keluar dari gerbang sekolah. “Hem, nggak ada si abang. Kayaknya emang ada rapat ya,” gumam papa. Meski sudah di bilang kalau ia akan pulang telat dan pulang dengan teman, tapi papa tetap memilih untuk menjemputnya. Lebih aman pulang dengan orangtua daripada dengan teman. Papa melirik jam tangannya. “Hem, nggak apalah kalau masih lama. Kayaknya tunggu di dalam aja dah.” Papa menyalakan mesin mobil dan memarkirkan mobil di parkiran sekolah. “Jemput anak pak?” Tanya seorang guru menghampiri mobil di sebelah papa. “Iya pak, katanya anaknya lagi rapat,” jawab papa. “Oalah. Rapat apa pak? Nama anaknya siapa pak? Kelas berapa?” “Anak baru pak, namanya Novan. Novan Andriansyah, di kelas 11. Katanya sih ada rapat OSIS.” Guru tersebut mengernyitkan alisnya. “Hah? Anda siapanya Novan?” “Ah … saya ayahnya Novan. Kenapa ya pak?” Tanya papa heran. “Oh, nggak apa. Tapi Novan udah pulang daritadi, dia di jemput duluan.” “Hah? Siapa yang jemput pak?” “Dia di jemput sama om-nya sih. Novan nggak ada bilang ke bapak? Saya kira bapak yang suruh om-nya untuk jemput Novan. Kebetula tadi saya yang jaga di meja piket.” Pak Broto menjelaskan. “Om? Seperti apa ya ciri- cirinya? Apa bapak ingat?” “Hem, tinggi, pakaiannya seperti orang kantoran, terus … ah, agak mirip bapak, tapi lebih muda.” Papa mangut- mangut. “Oh, ternyata dia,” gumam papa. “Apa ada di bilang mau pergi kemana?” “Katanya mereka mau kontrol ke rumah sakit. Apa Novan nggak ada bilang ke anda?” Tanya pak Broto. “Oh, begitu. Iya, itu saya yang suruh. Saya lupa karena sibuk kerja tadi, ingatnya tadi pagi Novan izin pulang telat,” ujar papa bohong. “Kalau begitu saya pamit dulu ya pak. Mari.” “Iya pak, mari.” Papa kembali masuk ke dalam mobil. Pak Broto juga masuk ke dalam mobil dan perlahan mobil pak Broto meninggalkan gerbang sekolah. Papa masih diam termangu di mobil. Ia menggebrak setir dan berdecak kesal. “Stevan … Kamu ya …” Gumam papa. Papa menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Papa menyalakan mesin mobil dan perlahan menyetir mobil keluar dari area sekolah. **** Bulu kuduk Novan merinding. Mereka masih menunggu di ruang tunggu depan poli bersama Stevan. Novan mengelus kedua lengannya. “Kenapa?” Tanya Stevan. “Nggak tahu, kok tiba- tiba merinding.” “Kedinginan?” Stevan mendongak. “Tapi di luar panas loh.” “Nggak kedinginan sih.” Novan menelan ludah. “Kok perasaanku nggak enak ya,” gumam Novan pelan. “Loh? Kenapa?” Tanya Stevan. Novan mengedikkan bahu. “Entahlah. Aku nggak tahu kenapa,” jawab Novan. “Apa bakalan ada sesuatu kali ya …” “Sesuatu? Mungkin kamu gugup kali karena udah lama nggak kontrol kan. Biasa itu sih, tenangin aja dulu. Tarik napas, buang.” “Mungkin ya.” Novan mengikuti perintah Stevan dengan menarik napas dan membuangnya perlahan. “Nggak apa, nanti aku temani di dalam. Kata temanku, khusus buat kamu sih, bakalan ada temannya yang tangani, sesama psikiater juga. Biar kamu lebih nyaman.” “Baguslah kalau begitu,” ujar Novan. Ia melirik pada satpam yang masuk ke dalam poli jiwa. “Aku baru sadar, kalau ada satpam ya di dalam poli jiwa. Kayaknya satpam cuma ada di poli jiwa ya?” “Hem, mungkin karena … karena pasien poli jiwa ini lebih beragam. Takutnya nanti malah ada yang mengamuk, daripada ada korban lain, mending sediakan satpam buat relai,” jawab Stevan. “Hem, masuk akal juga sih ya.” “Kayak kamu kemarin sih, kan mengamuk.” “Aku kemarin bukan ngamuk, tapi serangan panik. Bedakan tolong.” “Iya dah iya. Ada bawa obat nggak? Kalau ada dan belum kamu minum, minum aja terus. Gimana obatnya aman kan? Coba mana?” “Hah .. eh …” Novan gelagapan saat Stevan menarik paksa tas sekolahnya dan menggeledah tasnya. Ia terbelak kaget saat menemukan obat yang hanya di minum dua pil saja. “Van …” Stevan melirik Novan dengan tatapan tajam. Novan nyengir lebar. “Kenapa nggak kamu minum hah obatnya?!” “Hah, eh … lupa … hehe …” Novan nyengir lebar. Stevan menghela napas panjang. “Dasar anak ini!” Stevan melempar kembali obat ke dalam tas. “Nanti bakal aku bilang kalau kamu nggak habisin obat. Nggak apa, memang berat buat minum obat di saat kamu merasa dirimu sehat, nggak demam dan flu.” Novan mengangguk setuju. “Tapi, daripada kamu anggap lagi minum obat, mending kamu anggap lagi minum vitamin, jadi nggak terlalu terbebani.” “Sama aja sih, vitamin kalau wajib di minumnya jatuhnya kayak obat juga,” ngeles Novan. Stevan mendengus. “Terserah kamu deh. Memang susah di awal, nggak apa. Nanti kita coba omongin lagi, kali aja ada rekomenadi pengobatan lain yang nggak pakai obat.” “Kalau ada yang begitu, mending pilih itu aja. Kalau bisa sih.” “Aku usahakan sih. Kamu kalau merasa nggak nyaman dengan pengobatan ini, bilang aja. Kita cari yang lain nanti,” ujar Stevan. “Mending hentikan aja semua pengobatan ini,” gumam Novan. Stevan menoleh. “Aku baik- baik aja Van, percayalah. Udah nggak apa- apa lagi kok.” Stevan menggeleng. “Nggak. Belum. Kamu harus. Ingat, harus. Aku akan temani kamu sampai sembuh, atau setidaknya lebih membaik.” Stevan mengelus pundak Novan. “Aku nggak akan ninggalin kamu, tenang aja.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN