bab 141

1220 Kata
Novan sedikit terkejut karena pagi ini ia di bangunkan oleh papa. Tidak biasanya papa naik ke atas hanya untuk mengetuk pintunya. “Bangun. Mandi, siap- siap, terus sarapan,” perintah papa tegas. Kantuk Novan sudah hilang karena melihat wajah papanya. Ia hanya mengangguk pelan. “Baik pa.” Papa mangut- mangut dan turun perlahan. Novan mengintip sampai papa turun. “Tumben,” gumam Novan pelan. Ia menutup pintu kamar dan mengambil handuk. Ia pergi mandi dengan cepat, lalu menyiapkan seragamnya. Ia masih bertanya- tanya kenapa papa yang membangunkannya pagi ini. Biasanya papa sudah pergi lebih dulu, atau sedang sarapan di bawah. Bahkan ibu saja jarang membangunkannya. Novan terbiasa menyiapkan segala sesuatunya sendiri. Selesai memakai seragam, ia memasukkan buku- buku ke dalam dan tak lupa laptop. Hari ini dia butuh membawa laptop. Setelah semua beres, ia turun ke bawah. Semua sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan. Novan bergabung. Ia menarik kursi di sebelah Mikel. “Pagi Mikel,” sapa Novan ramah. Ia mengusap pelan rambut adiknya. Papa berdehem di balik koran. “Pagi papa.” Ibu menaruh piring berisikan roti panggang, sosis goreng, dan telur orak- arik di depannya. “Pagi juga bu.” Ibu mengernyitkan alis. “Wah, tumben. Pagi juga abang.” Ibu menuangkan s**u dan jus jeruk ke gelas di depan Novan, lalu duduk di sebelah papa. Novan memakan sarapannya sambil menyuapi Mikel. “Kel, jangan di mainin makanannya. Makan dulu ya ..” Novan menyuapi telur orak- arik pada Mikel. Mikel mengunyahnya sambil bersenandung riang. Novan melirik jam di smartphone miliknya. Oh, masih pagi. Aman. Tidak ada notifikasi dari Stevan. Biasanya dia sudah memborbardir Novan untuk bersiap dan mengajak pergi bersama. “Novan,” panggil papa. Novan mendongak. “Kamu hari ini biar papa antar ya.” Novan melongo. Tumben sekali. “Hah? Eh, tapi nanti papa telat …” Novan hendak menolaknya. Tidak, baru saja masuk notifikasi kalau Stevan sudah menjemputnya dan sebentar lagi sampai. “Nggak, nggak akan telat. Papa masuknya agak siangan hari ini.” Papa bangkit dari duduk dan menaruh piring kotor di westafel. “Jangan lama sarapannya. Papa ganti baju dulu.” “Hah eh … iya pa …” Novan menghabiskan sarapannya dengan cepat sambil sesekali melirik smartphone yang ia taruh di meja. Stevan Hei, aku udah di depan ni. Cepetan ya. **** Mampus, mampus dah ini! Gerutu Novan dalam hati. Ia belum membalas chat dari Stevan. Ia hendak membalasnya, tapi batal saat mendengar deheman papa dari belakangnya. “Simpan dulu hpnya, pakai sepatu yang bener! Jangan main hp terus!” Papa memperingatkan. Novan mengangguk. Ia mengantongi smartphone dan memakai sepatunya dengan cepat. Duh, dia lupa satu peraturan: tidak boleh buka smartphone di dekat papa kalau tidak yang penting. Bagi papa, family time tidak boleh di ganggu oleh kehadiran smartphone, sesingkat apapun itu waktunya. “Anu pa, Novan balas chat teman dulu ya. Ada perlu sama temen sekolah …” Pinta Novan. “Kan bisa di bilang nanti, kalau udah sampai di sekolah? Kamu nggak akan telat kalau perginya jam segini,” tolak papa. Novan menelan ludah. Baiklah. Tidak berarti tidak. Novan kembali mengantongi smartphone dan ikut masuk ke dalam mobil bersama papa. Ibu keluar membuka pintu gerbang sambil menggendong Mikel. “Kami pergi dulu ya,” pamit papa sambil melambaikan tangan. Ibu dan Mikel membalas lambaian tangannya. “Dadah abang, dadah papa!” “Hati- hati ya pa.” Papa mengangguk dan menyalakan klakson. Perlahan mobil meninggalkan rumah dan keluar dari lorong. Novan melirik keluar kaca mobil. Ia melihat mobil Stevan terparkir di sebrang jalan sana, tapi ia tak melihat sosok Stevan di sana. Ia melirik papa dan diam- diam menarik napas lega. Sepertinya papa focus menyetir sampai tidak sadar kalau ada mobil Stevan terparkir di sana. Atau papa yang tidak tanda dengan mobil Stevan? Entahlah, yang pasti papa tidak mempertanyakan apapun saat itu. **** Berada di mobil yang sama hanya dengan papa itu seperti berada di ruang eksekusi. Sunyi senyap, dingin, dan mencekam. Tidak ada percakapan yang terjadi, bahkan suara radio pun tak ada. Papa tak suka suara radio di mobil. Padahal kalau ia dengan Stevan, pasti selalu menyalakan radio dan mengencangkan volume, lalu bernyanyi dengan suara yang sumbang. Tiga puluh menit di mobil yang menyesakkan d**a. Novan merasa lega saat pintu gerbang sekolah sudah tampak dari kejauhan. Akhirnya, ia bisa bernapas dengan bebas. Papa menghentikan mobil di dekat gerbang. Novan melepas seatbelt dan salim, lalu keluar dari mobil. “Van,” panggil papa pelan. Novan menoleh. “Maaf, papa baru ini antar kamu sekolah.” “Iya pa, nggak apa. Makasih ya pa.” Novan melambaikan tangan. Papa tidak membalasnya. Beliau menutup kaca mobil dan menyalakan klakson, lalu perlahan pergi meninggalkan sekolah. Novan menunggu sampai mobil menjauh, baru masuk ke dalam. Ia mengeluarkan smartphone. Sudah dia duga, Stevan pasti mencarinya. Ada delapan miss call dan spam chat dari Stevan. Stevan Heh Lu dimana Kan udah di bilangin, keluar terus! Kamu ngapain sih hah? Nanti kejebak macet coi! Woi mana nih?! Anjir sia, di telpon nggak di angkat! Angkat cok! Ah udahlah, Duluan yak. Nggak jelas. Telat ngantor aku nanti. Buru- buru Novan menelpon Stevan. Terdengar nada sambung dari sana dan … “Hallo,” sapa Stevan di ujung sana. “Van! Akhirnya! Maaf, maaf, aku nggak balas chat kamu! Maaf, maaf! Tadi aku …” “Iya, nggak apa,” potong Stevan. “Aku tahu kok. Tadi abang kan yang antar kamu?” Novan melongo sesaat. “Kamu lihat?” Tanya Novan. “Iya, sempat. Aku masih tanda mobilnya, kan itu mobil udah dari tahun ke tahun. Makanya begitu tuh mobil lewat, aku sembunyi di dalam. Aku kaget waktu liat ada kamu di dalam sana, udah kayak tawanan.” Terdengar cekikikan Stevan di ujung sana. “s****n!” Novan mendengus kesal. “Sori, sori. Tapi memang beneran kayak tawanan sih, ketimbang bapak yang ngantar anaknya. Jadi aku maklum aja kalau kamu nggak balas chat aku, pasti abang nggak kasih buat cek hp kan,” tebak Stevan. “Dia nggak berubah, selalu begitu.” “Maaf ya Van. Tiba- tiba juga di ajak papa.” “Iya, nggak apa kok. Santai. Eh btw, dia nggak ada ngomong apa- apa gitu? Nggak ada nanya- nanya gitu? Kepo sesuatu gitu?” Tanya Stevan. “Hem, enggak sih. Diam aja di jalan, ya kamu taulah kan sepinya gimana. Nggak ada suara radio, memang sunyi senyap. Tapi tadi waktu udah sampai, papa minta maaf karena baru ini ngantarin aku ke sekolah.” “HAH?!” Teriak Stevan. Novan menjauhkan smartphone dari telinganya. “Beneran selama ini, baru pertama kalinya dia antar kamu ke sekolah?!” “Iya, terakhir kayaknya SD kelas 2 gitu deh. Kayaknya. Seterusnya aku pergi sendiri.” “Terus? Waktu baru pindah kemarin gimana?” “Ya .. sendiri juga. Naik ojek online, baru pulangnya naik angkot, nanyain rute angkot sama ojek online. Daftar sekolah juga pergi sendiri, cuma di suruh kasih tau alamat sekolahnya aja.” “Itu, guru TU nggak heran apa kamu pergi sendiri begitu?” “Ya, heran sih awalnya. Tapi aku bilang aja kalau orangtua lagi kerja, sibuk nggak bisa temenin. Jadi ya, nggak di tanya- tanyain lagi.” “Ya ampun.” Stevan menghela napas. “Emang ya si abang ini. Nggak ngerti lagi aku dah. Ya udah, nanti pulang aku jemput ya. Kabarin aja kayak biasa.” “Oke, oke.” ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN