Bab 119

1346 Kata
Kara menarik tombol gas semakin kencang. Mobil melaju semakin kencang. Saking kencangnya kami sampai terlempar ke kursi meski sudah memakai seat belt. Aku tidak melepaskan genggamanku dari hand grip. “Kar, hei jangan kenceng- kenceng bawanya …” Pintaku. “Tapi tadi kalian minta bawa kenceng?!” Protes Kara. “Ya tapi jangan kenceng- kenceng banget …” “Kar! Jangan ngebut banget! Kamu mau kita mati di tengah jalan hah?!” Protes dokter Akar. Kara berdecak kesal. “Entah apa mau kalian dah.” Kara pelan- pelan menurunkan kecepatan. Aku menghela napas lega dan mengendurkan peganganku pada hand grip. Baru saja aku mau berasa lega karena mobil sudah melaju lebih pelan dan santai, tapi tiba- tiba entah darimana sosok robot berbentuk katak menempelkan dirinya tepat di kaca mobil di sampingku. Aku tersentak kaget dan teriak kencang hingga semua mata tertuju padaku. Mereka juga tersentak kaget melihat lidah katak itu terjulur dan menyebabkan bercak lender dimana- mana. “Kara! Bawa kenceng cepet! Kar!” Rendra menepuk- nepuk pundak Kara. Kara dengan sigap langsung menekan pedal gas. Mobil melaju kencang, jauh lebih kencang daripada yang tadi. Kara bahkan meliuk- liukkan mobil di jalan yang lurus. Aku kembali berpegangan erat pada hand grip. Katak itu masih menempel di sana, tapi ia tampak sedikit limbung karena mobil yang meliuk- liuk. “Kara hati- hati Kar! Jangan terlalu meliuk- liuk gitu bawanya hei!” Dokter Akar mengingatkan sambil menepuk- nepuk pelan pundak Kara. Kara tidak memperdulikannya. Dia malah membanting setir ke kanan. Aku menahan napas saat ia melakukan itu dan duduk meringkuk tanpa melepaskan genggaman dari hand grip. Mobil yang tiba- tiba banting setir itu ternyata berhasil membuat katak itu oleng dan terlempar jauh ke dalam semak- semak di pinggir jalan. Aku menghela napas panjang melihatnya. Kara memutar balik mobil hingga ada di jalur yang benar dan mulai memelankan laju mobil perlahan. Mobil melaju melewati jalanan lurus ini. **** Kara memberhentikan mobilnya di tempat yang antah berantah. Sekeliling kami tidak ada lagi sawah, hanya ada pepohonan di sisi kanan dan kiri. Kara memberhentikan mobil di pinggir jalan. Ia menghela napas panjang dan menyandarkan kepalanya di setir. “Kok berhenti di sini Kar?” Tanya Dudut. Kara tidak menjawab. Ia hanya mengacungkan tangannya pada Dudut. “Biar Kara istirahat sebentar,” jawab dokter Akar. Dudut mengangguk. Kara berusaha mengatur nafasnya. Ia menarik nafas dalam dan mengeluarkannya dengan kencang. “Aku kira bakalan mati tadi!” Ujar Kara lantang. “Ini masih hidup kan? Kalian gak apa kan? Hidup kalian kan? Ada luka gak?” Kara bertanya beruntun. Ia melepaskan seatbelt dan menoleh pada kami di belakangnya. “Kalian gak luka kan? Dokter gak apa kan? Teh? Ren, kamu ada luka gak? Benjol gitu?” Kara bertanya heboh. Ia mengelus pelan kepala Rendra. Rendra menepis tangannya. “Heh, kami gak apa kok. Tenang Kar tenang. Kami gak apa- apa kok,” jawab Rendra. “Bener kan kalian gak apa? Tadi aku bawanya kenceng ya? Maaf, maaf! Aku gak sengaja!” Kara berkali- kali mengucapkan maaf sambil membungkukkan badannya. “Gak apa kok Kar, tenang. Kami gak apa- apa. Ya kan? Kalian gak apa kan?” Tanya dokter Akar sambil menoleh ke kami semua. Kami mengangguk serempak. “Palingan aku kaget aja sih ya karena kamu bawanya kenceng banget tadi,” ujarku. “Sori Teh! Itu pikiranku udah melayang entah kemana, udah hampir melayang juga nyawa aku bawa mobil tadi. Sori banget, sori!” Kara menjelaskan. Kami mengangguk. “Gak apa kok Kar, kami paham,” ujar dokter Akar. “Yah, aku kalo jadi kamu juga bawanya bakal kenceng juga sih, lebih kenceng malah. Gak mikir apa- apa lagi,” timpal Rendra. Dokter Akar mengangguk. “Tapi kamu hebat sih bawanya, kencang tapi tetap hati- hati. Gak ugal- ugalan,” puji dokter Akar. Dudut mengangguk. “Iya! Keren banget kamu bawanya Kar! Kayak lagi ikut masuk balapan gitu! Nanti kamu bawanya gitu lagi ya?” Pinta Dudut antusias. Rendra menjitak pelan kepala Dudut. Dudut meringis. “Jangan yang enggak- enggak deh Dut, nanti nyawa kita melayang semua kalo bawa kayak gitu lagi,” ujar Rendra. Kara menghela napas lega. Ia berselonjor di kursi pengemudi. “Syukurlah kalian gak apa- apa. Khawatir banget aku tadi, takutnya malah kalian ada yang luka atau apalah,” gumamnya sambil mengelus pelan dadanya. “Tapi serem banget sih memang waktu itu katak nemplok di kaca mobil,” ujar dokter Akar. Aku dan Rendra mangut- mangut. “Apalagi nemploknya pas di deket aku. Duh, rasanya pengen nangis tapi gak bisa nangis aku tuh. Asli sih, takut campur geli, jijik juga lihatnya,” timpalku. “Aku kayaknya kalo di posisi Althea bakalan nangis sih. Mana aku takut banget sama kodok,” ujar Dudut. Ia bergidik dan mengelus pelan kedua lengannya. “Aku sih bukan takut, tapi lebih ke jijik,” timpal Rendra. “Saya udah kenyang deh bedah katak dari jaman sekolah dulu. Udah biasa aja liat kodok, palingan kaget aja tadi liatnya yang nemplok segede itu,” timpal dokter Akar. “Tapi tadi yang katak itu, itu katak beneran apa robot sih?” Tanya Kara. Kami mengedikkan bahu. “Entahlah. Kalo di bilang robot kayaknya itu terlalu real, terlalu nyata. Kalo di bilang emang katak beneran, katak apaan yang gedenya nutupin jendela mobil sepenuhnya?” Tanyaku. “Bisa aja katak beneran sih, yang udah di modifikasi gitu gen di dalamnya,” timpal Rendra. “Tapi bukannya terlalu aneh gak sih kalo itu katak beneran? Bisa gitu di modifikasi jadi sebesar itu?” Tanya Kara. “Mungkin dia pakai senter pembesar yang ada di kartun kucing biru itu,” timpal dokter Akar. “Kucing biru?” Tanya kami berbarengan dan menoleh pada dokter Akar. Dokter Akar tersentak kaget. “Loh? Kalian gak tahu kartun kucing biru? Memangnya waktu kecil gak ada kartun itu?” Tanya dokter Akar. Aku, Kara, dan Rendra saling lirik, lalu menggeleng bersama. Dokter Akar menepuk jidatnya. “Yah, umur kita beda jauh sih. Kayaknya kartun robot kucing biru itu udah gak ada lagi di jaman kalian ya,” gumam dokter Akar. “Itu robot kucing yang hebat, bisa keluarin senter pembesar yang besarin semua barang,” jelas dokter Akar. “Aneh, tapi keren,” gumamku. “Tunggu, selain soal katak aneh yang entah robot atau emang katak asli itu, ada hal lain lagi yang agak aneh menurutku,” gumam Kara. “Apa itu?” “Gimana caranya mereka bisa lacak kita? Maksudku, jadi selama ini mereka itu ngejar kita gitu? Kok bisa? Kan selama ini kita gak ada kasih petunjuk apa- apa, langsung kabur gitu aja. Dan lagi kita gak ada ketemu ro …” Kara terdiam sesaat. Ia menompang dagu. “Tunggu dulu …” Gumamnya. “Kenapa Kar?” Tanya dokter Akar bingung. “Kayaknya aku tahu kenapa mereka bisa tahu jejak kita,” jawab Kara. “Gimana bisa?” Tanya Rendra. “Robot. Lewat sesama robot, mereka bertukar informasi. Selama ini, kemanapun kita pergi, pasti ada robot di sekeliling kita kan? Nah mungkin saya itu si Mitha kirim signal ke semua robot yang ada buat nyari info soal kita,” jelas Kara. “Dan mungkin aja … dia juga ngelacak sampai ke maps yang kita pakai. Makanya sejauh apapun kita pergi, asal maps masih menyala, mereka tetap dapat tahu dimana kita berada.” Kami melotot kaget mendengar hal itu. Itu masuk akal. Pantas saja selama ini, kemana pun kami pergi mereka selalu bisa menemukannya. “Kalau gitu, sekarang kita jangan pakai maps. Jangan nyalakan auto pilot juga,” saran dokter Akar. Kara mengangguk dan mematikan autopilot dan maps. “Terus gimana kita pergi ke tempat selanjutnya? Kita kan gak tahu dimana tempat itu,” tanya Rendra. “Pakai insting,” jawab Kara. Kami melongo. “Insting?” Tanya kami berbarengan. Kara mengangguk. “Setiap mahkluk hidup punya insting kan? Tenang aja. insting aku kuat kok,” jawab Kara penuh percaya diri. “Kita pasti bisa sampai di sana. Tenang, serahkan saja padaku!” Kara menepuk pelan dadanya. Kami saling pandang. Entahlah, sepertinya hanya itu yang bisa kami andalkan saat ini. Semoga saja insting Kara ini tidak menyasarkan kami ke tempat antah berantah. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN