bab 120

2087 Kata
“Ya dong!” Dokter Akar mendengus bangga. Ia membusungkan dadanya. “Emang insting saya gak pernah salah!” “Iya deh iya …” “Woi Kar bangun Kar! Kita udah mau sampai!” Rendra menguncangkan badan Kara pelan. Kara terbangun. Ia mengerjapkan mata dan celingak celinguk memperhatikan sekitar. Ia tampak linglung. “Hah heh kenapa?” Tanya Kara bingung. “Udah mau sampai!” “Hah? Masa?!” Tanya Kara tak percaya. Kami mengangguk bersamaan. “Tuh lihat!” Aku menunjuk ke arah papan petunjuk arah di depan sana. Kara menoleh dan mangut- mangut. “Syukurlah kalo memang cepet sampainya.” “Lebih cepet sampai sih kalo dokter Akar yang bawa mobilnya, bukan kamu.” Rendra dan Dudut mangut- mangut. “Kalo Kara yang bawa mah, nanti malah nyasar ke tempat antah berantah lagi,”celetuk Rendra. “Bener! Gak bakalan sampai di tempat sih, malah keliling gak jelas aja jadinya.” Kara mendengus kesal mendengar celotehan kami. “Udahlah, yang penting udah hampir sampai kan. Nah, ini tinggal belok aja, 2 km lagi udah sampai …” Dokter Akar membawa mobil berbelok ke sebelah kiri. Perlahan tapi pasti, pemandangan yang berbeda mulai tampak dari luar sana. Pohon- pohon yang menjulang tinggi perlahan mulai menampakkan sosok gedung di baliknya. Akhirnya, aku bisa lihat pemandangan lain, selain pohon yang berjejer sepanjang jalan. Sebuah jembatan dengan gapura besar menyambut kami. Gapura itu besar dan tinggi, dapat terlihat dengan jelas meski berada di jarak sejauh 20 km. Menurut berita, itu adalah gapura tertinggi dan terbesar di provinsi ini. Bahkan sudah masuk ke dalam rekor MURI sejak tahun 2024 lalu. Tidak hanya besar, gapura ini juga sudah modern. Bukan sekedar gapura biasa. “Konon katanya, gapura ini versi paling modern di masanya. Gapura ini sih katanya di rancang untuk mengatur laju jembatan yang ada di belakang sana, juga menyalakan lampu jalanan yang ada sepanjang 10 km dari gapura. Dan yang lebih uniknya itu, kalau kita lewatin gapura itu …” “Kenapa? Memangnya kenapa kalau kita lewatin gapura itu?” Tanya Dudut penasaran. Dokter Akar menyinggung senyum kecil. “Yah, lihat saja nanti.” Aku mengernyitkan alis. Ah, palingan hanya gapura biasa dan jalanan biasa toh. Apanya yang istimewa coba? Mobil tiba di gapura besar itu. Benar- benar besar dan tinggi, sepertinya truk setinggi apapun tak akan bisa sampai menyentuhnya. Gapura itu berdiri kokoh di sana, seakan menyapa kami dengan segala keramahan dan kemegahannya. Jembatan penghubung ke kota sebelah langsung di bentangkan, lampu- lampu jalanan turut menyinari jalan ini. Itu sudah membuatku takjub, tapi ada lagi yang membuatku takjub. Setiap kali melewati jalanan ini, maka akan terdengar nada- nada yang saling bersahutan satu sama lain. Oke, aku tarik kembali kata- kataku. Ini menakjubkan! Sangat! Aku terperangah dan melirik dokter Akar. Dokter Akar menyinggungkan senyum kecil. “Gimana? Keren kan?”Tanyanya. Aku mengangguk dengan semangat. Dudut di sebelahku lebih terperangah melihatnya. Ia melongo lebar sejak jembatan perlahan mulai terbentang. “Hebat! Ini hebat banget! Kok bisa ada yang beginian?” Dudut tampak sangat takjub dengan semua ini. “Kalo malam bakal lebih keren lagi sih. Setiap nadanya bakal keluarin cahaya yang berbeda, jadi jalanan ini bakal bersinar terang sampai 20 km jauhnya,”jelas dokter Akar. “Banyak orang yang sering datang ke sini malam hari hanya untuk lihat itu. Mereka bakal bawa mobil sepelan mungkin biar bisa menikmatinya. Jalanan ini jadi tempat wisata yang populer sejak awal selesai di dirikan. Walau sekarang gak seramai awal launching sih.” Kami mangut- mangut. “Tapi ini tetap keren. Apalagi di buatnya dari dulu kan, dari jaman tahun 2020-an. Itu hebat!”Ujarku penuh kagum. “Tau apa yang lebih menarik lagi?”Tanya dokter Akar. “Apa?” “Istri saya salah satu anggota tim proyek pembuatan jalanan ini. Tim dia yang punya ide soal jembatan ini.” “Waw. Istri dokter kuli yang buat jalanan ini?”Tanya Dudut dengan polosnya. Dokter Akar terbelak dan menatap Dudut. Kami tergelak melihat Dudut yang tampak kebingungan. Dokter Akar hanya bisa geleng- geleng kepala. “Bukan jadi kuli Dudut. Itu, istri saya bagian dari tim arsitektur yang merancang ini gapura dan jembatan.” Dudut mangut- mangut mendengarnya. “Emang ngerti maksudnya apa?”Tanya Kara. Dudut terdiam sesaat, lalu mengangguk. “Ngerti. Itu, kan istrinya pak Gugun yang ngerancang ini jembatan dan gapura kan, yang bikin gapuranya harus kayak gini dan jembatannya harus gini kan?” Dokter Akar tersenyum kecil mendengarnya. “Bener. Kamu pinter juga ya ternyata.” Dudut tersipu dan cengengesan. “Dudut udah pinter ya.” Kara dan Rendra mengacak- acak rambut Dudut. Dudut menepis tangan mereka. “Ini kita udah masuk ke kotanya, terus kok masih sepi aja?” Tanya Kara. “Yah, pusat kota ini memang agak jauh dari letak gapura ini. Kalo gak pergi ke pusat kota, ya sepi begini memang.” Kami mangut- mangut. “Rumah penduduk juga gak ada di sini?” “Ada, tapi gak banyak. Paling hanya beberapa saja, dan juga agak di dalam letaknya.” Kami mangut- mangut. Mobil terus jalan menyusuri jembatan yang panjang ini. Nada- nada yang di keluarkan terus berbeda sepanjang 10 meter. Nada- nada itu terdengar seperti lantunan lagu yang tak asing. “Ini kayak pernah denger gak sih nadanya, tapi lagu apa ya …?”Gumamku. “Iya juga ya, kayak pernah denger deh …”Timpal Kara. Rendra menompang dagu dan menjentikkan jarinya. “Itu loh, lagu anak- anak. Kan dulu waktu kecil sering di dengerin. Itu, biasanya anak kecil kalo belajar bahasa inggris seringnya pakai lagu ini .. lagu itu loh …” Rendra kembali menjentikkan jarinya berkali- kali. Aku mengernyitkan alis. “Lagu apa?”Tanyaku bingung. “Itu loh, lagu itu .. etdah, apa sih judulnya ..” Rendra mulai bersenandung mengikuti nada yang ada. Giliran Kara kali ini yang menjentikkan jarinya. “Oh aku tau! Twinkle Twinkle kan?” “Nah itu! Twinkle Twinkle Little Star!” “Kalian pintar juga ternyata. Bener, itu lagunya. Kata istri saya, timnya terinspirasi dari game jadul punya dulu, namanya piano tiles. Selalu ada lagu ini di setiap seri piano play. Dulu saya sering main itu sama temen- temen saya, waktu masih sekolah.” “Kirain dokter jaman sekolah dulu kerjaannya belajar mulu, gak ada main game,”celetuk Kara. “Ya, gak mungkinlah. Kan butuh refreshing. Bisa stress saya lama- lama kalo di cekcok sama pelajaran terus.” “Kalau gitu, aku gak usah belajar lagi aja ya dok? Biar gak stress gitu,”celetuk Dudut. “Ya gak gitu Dut. Belajar itu perlu, wajib, harus. Setiap kita pasti butuh dan pernah belajar, tapi ya harus ada jedanya. Otak kelamaan di pakek bisa hangus berasap juga tau.” Dudut memegang kepalanya. “Lah jadi selama ini kalo saya belajar, kepala saya jadi keluar asap gitu dok? Wah, kalo gitu mah Dudut gak mau belajar lagi. Nanti bisa meledak lama- lama!” Dudut meringkuk sambil memegangi kepalanya. “Yah gak gitu Dut. Gak, gak, itu hanya perumpamaan aja, tapi gak mungkin gitu …” “Iya Dut, jangan belajar. Nanti kepalamu meledak!” Kara malah makin menakut- nakutin Dudut, membuatnya meringkuk semakin dalam sambil memegangi kepalanya. Dokter Akar menjitak kepala Kara pelan. “Heh! Jangan di takut- takutin anaknya. Jangan percaya Dut, bohong itu dia. Gak usah kamu peduliin dia, kamu harus tetap belajar. Biar jadi orang pinter, kalo jadi orang pinter, kamu bisa tuh kalahin Mitha, sama robot- robot yang lain.” “Jadi kalo aku jadi pinter, aku bakal jadi lebih kuat gitu ya? Bakal berotot gede gitu?”Tanya Dudut. “Gak perlu kayak gitu, kamu juga udah gede kok badannya Dut,”gumamku pelan. Dokter Akar menatapku tajam. Aku menutup mulutku dan mengalihkan perhatian dengan melihat pemandangan di luar sana. “Hah em … gak gitu sih Dut. Tapi kalo kamu jadi pinter, kan kamu bisa buat robot- robot gede tuh yang bisa ngalahin Mitha. Kamu juga bisa tuh, bawa keluar semua teman- teman kamu di dalam bunker. Kamu bisa tolongin mereka semua, jadi mereka gak perlu lagi terkurung di dalam bunker yang pengap. Kamu pengen kan kayak gitu?” Dudut terperangah dan mengangguk pelan. Dokter Akar tersenyum lebar. Ia mengelus pelan rambut Dudut. “Memang Dudut anak baik.” “Hei lihat! Ada gedung! Udah nampak gedung di sana!” Aku menunjuk keluar. Semua menoleh ke arah yang aku tunjuk. Mereka berkumpul di dekat jendela. “Iya bener, ada gedung!” “Itu gedung apaan kok tinggi banget? Kayaknya lebih tinggi daripada hotel ya,” tanya Dudut. “Ya jelaslah. Banyak kok gedung yang lebih tinggi daripada hotel. Bahkan ada yang tingginya sampai nyaris seribu meter!” Dudut terperangah mendengar jawaban Rendra. “Kalau di lihat, kayaknya gedung itu udah dekat. Mungkin di sana udah ke pusat kota. Oke baiklah. Kalian, pegangan tangan. Kita bakal pergi ke pusat kota sekarang!” ***** Pemandangan di luar sana perlahan berubah, dari yang tadinya hanya nampak pohon- pohon rindang sepanjang jalan, kini mulai nampak gedung- gedung ruko dan beberapa gedung tinggi lainnya. Dudut menatap itu semua dengan penuh takjub. Aku sedikit lega akan hal ini. Akhirnya, aku bisa lagi melihat gedung- gedung, tidak hanya pepohonan rindang seperti di dalam hutan. “Ini kita udah sampai pusat kota belum?”Tanya Rendra. “Harusnya sih udah ya.” “Tapi kok kayaknya daritadi belum ada nampak ada orang- orang di jalan? Bukannya kata dokter di pusat kota itu ramai ya?” “Hem … harusnya sih begitu ya …” Dokter Akar menengadah kepalanya. “Tapi kok sepi banget gini ya, aneh …” Dokter Akar memelankan laju mobil. Kami sudah tiba di pusat kota, tapi memang sangat sepi. Hanya tampak mobil kami yang membelah jalanan. Beberapa mobil memang tampak terparkir rapi di depan toko, tapi mobil itu seperti tak bertuan. Sepertinya sudah lama di tinggalkan karena mobil itu kini mulai berdebu. Toko- toko juga tidak ada yang buka, semuanya tutup. “Kayak kota mati,”gumam Kara. “Jangan- jangan, wabah zombie itu udah sampai ke kota mereka, dan mereka semua udah berubah jadi zombie?”Gumam Rendra. Kami menelan ludah. Kalau memang itu yang terjadi, maka kami tiba di tempat yang salah. “Kita gak tahu. Jangan berspekulasi dulu. Kita masuk lebih dalam aja, mungkin mereka ada di dalam sana.” Dokter Akar membawa mobil berbelok ke kanan dan masuk ke dalam g**g sempit. Entah kemana kami akan di bawa olehnya, dan aku yakin dokter Akar juga tidak tahu harus kemana. Kami berkeliling, memasuki lorong demi lorong yang sepi. Masih tidak nampak ada penampakan sosok seseorang di sana. Dokter Akar menghela napas. Ia memberhentikan mobil mendadak, membuat kami yang tak siap terpental ke belakang. Ia memendamkan kepalanya di balik kemudi setir. Sepertinya dokter Akar sudah lelah. Sudah jalan sejauh ini, tapi tidak menemukan hasil apapun. Kara menepuk pundak dokter Akar pelan. “Udah gak apa dok, kalomau nyerah gak apa. Kita putar balik aja …”Gumam Kara. Dokter Akar langsung menengadahkan kepalanya. Ia menekan klakson berkali- kali. Refleks kami menutup telinga kami karena suara klakson yang nyaring itu. “Dok! Dok, jangan gitu! Berisik! Stop dok!” Pinta Kara. Dokter Akar tidak menggubrisnya, malah semakin dalam menekan klakson dan menimbulkan suara yang sangat nyaring. “Dok, dokter ngapain hidupin klakson?!”Tanya Rendra. “Berisik dok!”Gerutuku. “Justru itu tujuan saya. Kalau ada yang buat berisik, pasti bakalan ada orang yang keluar untuk protes kan?” “Tapi gak gitu dok caranya …” Sekali lagi, dokter Akar tidak menggubris hal itu. Ia kembali menekan klakson dengan kencang. Kara menarik tangan dokter Akar dari klakson. “Dok udah dok! Ini telinga kami keburu rusak sebelum ketemu orang- orang!” Kara memegang erat tangan dokter Akar. Dokter Akar mencoba untuk menepisnya, tapi tidak berhasil karena Kara mencengkramnya dengan kuat. Dokter Akar mendengus kesal. “Ck, kalian ini!” Dokter Akar menepis tangan Kara dengan kuat. Ia kembali menekan klakson dengan kencang, kali ini lebih nyaring dan berkali- kali. “WOI! SIAPA ITU YANG BERISIK HAH?!” Terdengar suara teriakan nyaring yang membelah suara klakson. Kami saling tatap. Suaranya ada, tapi tidak nampak sosok pemilik suara. Kami memperhatikan sekitar. “Mas! Jangan mas!” Terdengar suara halus perempuan di belakang. Kami menoleh. Ada seorang pria gempal di sana, sedang di pegang erat oleh seorang perempuan yang berkulit coklat manis seperti orang India. “HEI! BERISIK KALIAN TAU GAK!” Pria itu membentak kami. Dokter Akar menyinggungkan senyum kecil pada kami. “Kan, udah saya bilang. Pasti ada manusia di sini. Tapi harus di buat ribut dulu, biar mau keluar.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN